Kamis, 21 Mei 2009

Diare & Malnutrisi Energi Protein (MEP)

.BAB I
PENDAHULUAN



Diare hingga kini masih merupakan salah satu penyakit utama pada bayi dan anak yang merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian di Negara berkembang. Diperkirakan episode diare di Indonesia masih berkisar sekitar 60 juta dengan kematiannya sebanyak 200.000 – 250.000. Sekitar 80% kematian yang berhubungan dengan diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Penyebab utama kematian karena diare adalah dehidrasi sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit melalui tinjanya. Di Negara berkembang prevalensi yang tinggi dari penyakit diare merupakan kombinasi dari sumber air yang tercemar, kurang kalori protein yang menyebabkan turunnya daya tahan badan.
Hasil survey SKRT ( Survei Kesehatan Rumah tangga ) tahun 1986 angka kematian karena diare merupakan 12% di antara seluruh angka kematian kasar yang besarnya 7 / 1000 penduduk. Angka ini merupakan angka tertinggi di antara semua penyebab kematian.
Dari hasil morbiditas oleh DepKes di 8 propinsi pada tahun 1989, 1990 dan 1995 berturut – turut morbiditas diare menunjukan 78,5%, 103% dan 100%, apalagi dengan terjadinya krisis ekonomi, angka kejadian diare menunjukkan kenaikan. Bahkan gangguan kesehatan maupun penyakit yang terkait dengan diare seperti gangguan gizi dan ISPA juga menunjukkan kenaikan yang nyata.
Diare merupakan penyebab penting kekurangan gizi . Hal ini disebabkan karena adanya anoreksia pada penderita diare sehingga ia makan lebih sedikit daripada biasanya dan kemampuan menyerap sari makanan juga berkurang padahal kebutuhan sari makanan meningkat akibat adanya infeksi. Setiap episode diare menyebabkan kekurangan gizi , sehingga bila berkepanjangan akan berdampak terhadap pertumbuhan. Namun pada saat ini sudah tersedia cara pengobatan yang mudah dan efektif yang dapat menurunkan secara bermakna jumlah kematian karena diare sehingga penderita tidak perlu dirawat di RS serta mencegah efek buruk diare pada status gizi anak.



BAB II
I S I

BATASAN
Diare akut diberi batasan sebagai meningkatnya kekerapan , bertambahnya cairan atau bertambah banyaknnya tinja yang dikeluarkan dan tidak lebih dari 1 minggu. Apabila diare berlansung antara 1 sampai 2 minggu maka dikatakan sebagai diare yang berkepanjangan.
Diare dikatakan sebagai keluar tinja berbentuk cair sebanyak 3x atau lebih dalam 24 jam pertama dengan temperature rectal > 38° C, kolik dan muntah. Menurut Cohen MB ( 1996 ) diare akut didefinisikan sebagai keluarnya BAB sekali atau lebih yang berbentuk cair dalam 1 hari dan berlangsung < 14 hari. Shahid NS mengemukakan bahwa diare sebagi episode keluarnya tinja cair sebanyak 3x atau lebih dari sekali keluarnya tinja cair yang berlendir atau berdarah dalam sehari

EPIDEMIOLOGI
Di Negara berkembang, diare akut maupun kronik masih tetap merupakan masalah kesehatan utama. Penelitian WHO mendapatkan bahwa episode diare pada bayi dan balita berkisar antara 2 – 8x / tahun. Sebagian besar diare berlangsung antara 2 – 5 hari, namun sekitar 3 – 20% berlangsung > 5 hari, bahkan dapat > 2 minggu dan menjadi diare kronik.
Misnadiarly menyebutkan bahwa diare dapat terjadi pada anak-anak, dewasa turis atau wisatawan asing maupun domestic. Diare pada turis dan anak sekolah tentunya sangat erat kaitannya dengan pencemaran air dan makanan di restoran, kantin maupun makanan yang dijajakan di jalanan.
Di Indonesia, kematian karena diare sekitar 200.000 – 250.000 setahun, 20% diantaranya disebabkan oleh diare kronik. Selain menyebabkan kesakitan dan kematian, diare akut dan kronik juga merupakan penyebab utama malnutrisi dan penghuni terbanyak rawat mondok di RS.
Berbagai factor mempengaruhi kejadian diare, diantaranya karena factor lingkungan, usia, gizi, kependudukan, pendidikan, keadaan social ekonomi dan perilaku masyarakat.
Berdasarkan cara penyebaran kuman. Cara penularan umumnya adalah orofecal :
1. makanan dan minuman yang terkontaminasi enteropatogen
2. kontak langsung dengan penderita atau barang-barang yang tercemar tinja penderita melalui lalat ( 4F=Food, Feces, Finger, Fly )
Berdasarkan faktor resiko. Faktor resiko yang menaikkan transmisi enteropatogen adalah:
1. tidak tersedia air bersih
2. tercemarnya air oleh tinja
3. kurangnya sarana MCK
4. higiene perorangan dan lingkungan yang buruk
5. penyimpanan makanan yang tidak gigienis
6. cara penyapihan bayi yang tidak baik
Berdasarkan faktor pejamu. Beberapa faktor resiko pada pejamu yang menaikkan kerentanan terhadap enteropatogen antara lain : malnutrisi, BBLR, imunodefisiensi atau imunodepresi serta faktor genetik.
Berdasarkan umur. Kebanyakan episode diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Insiden paling tinggi pada golongan umur 6 – 11 bulan, pada masa diberikan makanan pendamping.
Berdasarkan pengaruh iklim. Di Indonesia, diare yang disebabkan oleh Rotavirus dapat terjadi sepanjang tahun, frekuensinya menaik pada musim kemarau ( Juli – Agustus ), sedangkan puncak diare karena bakteri ada pada musim hujan ( Januari – Februari )
Berdasarkan epidemi dan pandemi. Vibro cholerae 0,1 dan Shigella dysentriae tipe 1 merupakan 2 jenis enteropatogen yang dapat menyebabkan epidemi dan pandemi.


ETIOLOGI
Etiologi diare dapat dibagi dalam beberapa factor, yaitu :
1. Faktor infeksi
a) Infeksi enteral = infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama diare pada anak, meliputi :
- Infeksi bakteri : Aeromonas hidrophilia, Bacillus cereus, Campylobacter jejuni, Clostridium Sp, E-coli, Salmonella spp, Shigella spp, Staphylococcus aureus, Vibria cholera, Yersinia enterocolitica, dsb.
- Infeksi virus : Adenovirus, Rotavirus, Virus Norwalk, Astrovirus, Calicivirus, Coronavirus, Enterovirus ( virus ECHO, Coxsackie, Poliomyelities ), dll.
- Infeksi parasit : Cacing ( Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis ), Protozoa ( Entamoeba histolytica, Giardia Lamblia, Trichomonas hominis ), Jamur ( Candida albicans ), dll.
b) Infeksi parenteral = infeksi di bagian tubuh lain di luar alat pencernaan seperti OMA, tonsilofaringitis, bronkopneumonia, ensefalitis, dsb.
2. Faktor malabsorpsi
a. Malabsorpsi karbohidrat : yang terpenting dan tersering untuk intoleransi laktosa
b. Malabsorpsi lemak
c. Malabsorpsi protein
3. Faktor makanan : makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan
4. Faktor psikologis : rasa takut dan cemas.


PATOFISIOLOGI
Berdasarkan patofisiologinya maka penyebab diare dibagi menjadi :
1. Diare sekretorik, yang dapat disebabkan oleh infeksi virus, kuman pathogen dan a pathogen,hiperperistaltik usus, gangguan psikis, hawa dingin, alergi dan imunodefisiensi SIgA.
Mekanisme : sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus meningkat akibat rangsangan oleh toksin pada mikosa usus atau dinding usus.
2. Diare osmotic, yang dapat disebabkan oleh malabsorpsi makanan, kekurangan kalori protein ( KKP ) atau bagi BBLR dan bayi baru lahir.
Mekanisme : makanan atau zat yang tidak dapat diserap menyebabkan tekanan osmotic dalam rongga usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus yang merangsang usus untuk mengeluarkannya . Jika berupa larutan isotonic, air dan bahan yang larut di dalamnya akan lewat tanpa diabsorpsi.


Mekanisme Patogenesis berdasarkan penyebab
Virus
Virus terbanyak penyebab diare adalah rotavirus ( 30-40% ). Virus masuk ke dalam traktus digestivus bersama makanan dan minuman kemudian berkembang biak dalam usus. Lalu virus masuk dalam epitel vili usus halus dan menyebabkan kerusakan apical vili usus halus dan pemendekan vili . Sel epitel usus halus bagian apical akan diganti oleh sel dari bagian kripta yang belum matang yang berbentuk kuboid atau gepeng, sehingga tidak dapat berfungsi untuk menyerap air dan makanan dengan baik. Akibatnya terjadi diare osmotic karena usus mensekresi air dan elektrolit. Biasanya diare karena virus tidak berlangsung lama dan dapat sembuh tanpa pengobatan . Penyembuhan terjadi bila vili mengalami regenerasi dan epitel vilinya menjadi matang.

Bakteri
Bakteri penyebab diare dibagi menjadi bakteri non infasif ( Vibrio cholerae, E-coli pathogen ) dan bakteri infasif ( Salmonella spp, Shigella spp, EIEC,EHEC, Campylobacter spp ).
Bakteri masuk kedalam traktus digestivus, kemudian berkembang biak dan mengeluarkan toksin yang merangsang epitel usus sehingga terjadi peningkatan aktifitas enzim adenil siklase ( Labile toxin = LT ) atau enzim guanil siklasel ( Stable toxin = ST ). Akibatnya terjadi peningkatan AMP atau GMP yang merangsang sekresi Cl, Na dan H20 dari dalam sel ke lumen usus serta menghambat absorpsi Na, Cl dan H20 dari lumen usus ke dalam sel , sehingga terjadi hiperistaltik akibat hiperosmoler.
Protozoa
Giandia lamblia dan chryptosporidium menempel pada epitel usus halus dan menyebabkan pemendekan vili.
Entamoeba histolitica menginvasi epitel mukosa di kolon atau ileum yang menyebabkan mikroabses dan ulkus.

JENIS – JENIS DIARE
 DIARE AKUT
Definisi = diare yang terjadi secara mendadak dan berlangsung kurang dari 7 hari pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat dengan frekuensi 3x / lebih per hari disertai perubahan tinja menjadi cair, dengan atau tanpa lendir dan darah. Penyebab terpenting diare cair akut di Negara berkembang adalah : rotavirus, ETEC ( Enterotoxigenic E-coli ), Shigella, Campylobacter jejuni dan Cryptosporidium. Di beberapa tempat Vibrio cholerae 01, Salmonella dan EPEC ( enteropatogenik E-coli ) juga merupakan penyebab penting.















Akibat-akibat diare cair akut
- Dehidrasi isotonic : - kehilangan air & Na dalam proporsi sama dengan
keadaan normal dalam cairan ekstraseluler
- konsentrasi Na serum normal (130-150 mmol/L)
- osmolaritas serum normal (275-295 mOsmol/L)
- hypovolemia
- gambaran klinik : extremitas dingin & berkeringat
kesadaran menurun, shock hipovolemik
- Dehidrasi hipertonik: - kekurangan air & Na tetapi proporsi
( hipernatremik ) kekurangan air lebih banyak
- konsentrasi Na serum meningkat (>150 m
Osmol/L)
- osmolaritas serum meningkat (>295 m
Osmol/L)
- gambaran klinik: anak sangat irritable
- Dehidrasi hipotonik: - kekurangan Na secara relatif lebih banyak
- konsentrasi Na serum rendah (<130 mmol/L)
- osmolaritas serum rendah (275 mOsmol/L)
- gambaran klinik: anak letargi, kadang-kadang
kejang.
- Asidosis metabolic: - konsentrasi bikarbonat serum berkurang
( <10 mmol/L )
- pH arteri menurun
- nafas cepat & dalam ( pernafasan kussmaul )
- muntah
- Hipokalemia : - kelemahan otot
- aritmia jantung
- illeus paralitik
- Hipoglikemi: - apatis
- tremor
- berkeringat dan pucat
- kejang sampai koma
- Gangguan gizi
- Gangguan sirkulasi berupa shock hipovolemik.





Penilaian derajat dehidrasi dan tata laksana diare akut
Derajat
Dehidrasi;
% defisit Keadaan
umum Rasa
haus Kelopak/
Air mata Mulut Kulit Urin Rehidrasi Penggantian
cairan
Tanpa
Dehidrasi
<5%BB Baik,
Kompos
mentis Minum
normal Normal Basah Normal Normal 10mg/kg/
setiap diare
2-5 ml/kg
setiap muntah
Ringan
Sedang
(5-10%BB) Rewel,
gelisah Minum
Seperti
kehausan Cekung,
Produksi
kurang Kering Pucat,
Capillary
Refill<2
detik Berkurang CRO
75ml/kg/
3 jam Idem
Berat
(>10%BB) Letargi,
Lemah,
Kesadaran menurun,
Nadi&nafas
cepat Malas minum/
Tidak dapat
minum Sangat cekung,
Tidak ada Sangat kering Pucat,
Capillary
Refill<2
detik Tidak
ada Cairan
Intra vena,
<12 bulan:
30ml/kg/1 jam
70ml/kg/5
jam
>12 bulan:
30ml/kg/½-1 jam
70ml/kg/2½-3 jam idem

Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan tinja
b. Pemeriksaan darah
c. Duodenal intubation

Pengobatan
a. Pengobatan kausal
Pada penderita diare, antibiotika hanya boleh diberikan bila:
- Ditemukan bakteri pathogen pada pemeriksaan mikroskopik / biakan
- Pada pemeriksaan makroskopik ditemukan darah pada tinja
b. Pengobatan simtomatik
- Anti spasmodik atau opium ( papaverin,loperamid,dsb) memperburuk keadaan
- Adsorbents ( kaolin,pectin) tidak ada manfaatnya
- Antiemetik seperti chlorpromazine (largactil ) mencegah muntah dan mengurangi sekresi dan kehilangan cairan bersama tinja. Dosis adekuat ( 1 mg/kg BB/hari ) cukup bermanfaat
- Antipiretik seperti salisilat ( asetosal, aspirin ) dalam dosis rendah ( 25 mg/tahun/x ) selain menurunkan panas juga mengurangi sekresi cairan.
c. Pengobatan cairan
Ada 2 jenis cairan :
 Cairan rehidrasi oral ( CRO ) : oralit, larutan gula garam ( LGG ), air tajin, dll.
 Cairan rehidrasi parenteral ( CRP ) : cairan Ringer Laktat
Pada diare dengan penyakit penyerta ( KKP, jantung, ginjal ), cairan yang dianjurkan adalah Half Strength Darrow Glukose


Pencegahan
1. Pemberian ASI eksklusif 4-6 bulan
2. Sterilisasi botol susu
3. Air bersih & matang untuk minum
4. Mencuci tangan sebelum memberi makan
5. Membung tinja di jamban
6. Imunisasi campak
7. Pemberian makanan seimbang untuk menjaga status gizi yang baik




 DIARE KRONIK
Definisi :
Episod diare yang mula-mula bersifat akut namun karena sesuatu sebab melanjut 14 hari atau lebih.
Faktor resiko Faktor penyebab tersering
- umur < 18 bulan - intoleransi laktosa
- tidak mendapat ASI - alergi terhadap protein susu sapi
- lahir premature - sindrom malabsorpsi
- malnutrisi - bakteri tumbuh lampau
- diare karena antibiotic
- infeksi persisten
Klasifikasi
a. Tinja berair ( watery stools )
- Gastroenteropati alergi ( CMPA / CMPSE )
- Defisiensi disakarida dan malabsorpsi glukosa
- Infeksi usus oleh virus, bakteri dan parasit
b. Tinja berlemak ( fatty stools )
- MEP, BBLR
- Short bowel syndrome
c. Tinja berdarah ( bloody stools )
- Salmonella, Shigella, Disentri amoeba
- Diare sehubungan dengan lesi anal

Manifestasi klinis
- Bila diare hebat dapat terlihat dehidrasi ringan sampai berat, asidosis dan gangguan elektrolit seperti lemah, kembung, muntah.
- Status gizi anak biasanya kurang atau buruk

Pemeriksaan fisik
Perhatian khusus perlu diberikan pada keadaan umum pasien, status hidrasi,kehilangan berat badan,pemeriksaan abdomen,ekskoriasi pantat,finger cubbing,edema perifer dan manifestasi kulit.

Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan tinja
- Pemeriksan darah
- Foto rontgen abdomen

Penatalaksaan
- Atasi dehidrasi, kelainan asam basa & gangguan elektrolit
- Berikan diet sesuai dengan usia & status gizi pasien
- Terapi sesuai dengan penyebabnya

Pencegahan
- Galakkan penggunaan ASI
- Terapi nutrisi yang adekuat pada tiap anak dengan diare akut untuk mencegah terjadinya gangguan gizi untuk memutus lingkaran setan diare – malnutrisi – diare.










BAB III
DIARE PADA MALNUTRISI KRONIK

Hubungan timbal balik antar diare dan Malnutrisi Energi Protein ( MEP ) telah lama dikenal. Disatu pihak, diare dapat menyebabkan terjadinya malnutrisi dan di lain pihak malnutrisi dapat menyebabkan diare.
Berikut ini akan dibahas perubahan morfologis dan fsiologis pada MEP sebagai penyebab diare.

PENYEBAB DIARE PADA MEP
Patogenesis diare pada MEP adalah kompleks & saling berkaitan.
1. infeksi mukosa usus oleh Salmonella, Shigella, E-coli, E-histolytica dan Giardia lamblia
2. intoleransi laktosa dan disakarida
3. bakteri tumbuh lampau pada usus halus
4. atrofi intestinal
5. atrofi pankreas
6. malnutrisi epitel usus dan kolon

AKHLORHIDRIA
Pada MEP terdapat gangguan sekresi HCL sebagai akibat atrofi mukosa lambung. Gangguan sekresi asam bersama dengan peubahan sistem imunitas dan tingginya paparan terhadap kuman pathogen menyebabkan tingginya angka kejadian infeksi usus pada MEP.

ATROFI PANKREAS
Secara mikroskopis terdapat perubahan berupa atrofi sel asinar, kandungan granul zymogen berkurang.Vakuolisasi dan metaplasia epitel, dilatasi duktus pnkreatikus. Perubahan morfologis tersebut menyebabkan sekresi enzim seperti tripsin, kimotripsin, amylase dan lipase menurun sehingga terjadi mal digesti makanan.


ATROFI MUKOSA USUS HALUS
Pada biopsy usus, tampak atrofi vili dan menurunkan indeks mitosis. Terdapat infiltrasi limfosit dan sel plasma pada mukosa dan sub mukosa.

INTOLERANSI LAKTOSA
Sebagian besar anak dengan MEP menunjukkan defisiensi lactase, namun dapat pula terjadi defisiensi sucrose dan maltase.
Patogenesis terjadinya defisiensi disakandase :
a) produksi berkurang akibat defisiensi protein
b) kerusakan mukosa usus halus

ABSORPSI LEMAK
Malabsorpsi lemak pada MEP disebabkan oleh :
1) berkurangnya sekresi lipase pankreas → mengganggu proses digesti infraluminal.
2) infestasi Giardia lamblia mencegah absorpsi lemak
3) atrofi mukosa usus halus → mengurangi luas permukaan absorpsi
4) menurunkan kadar asam empedu terkonyugasi

ABSORPSI PROTEIN
Pelepasan asam amino terganggu akibat berkurangnya aktifitas oligo peptidase pada membrane mukosa usus.

KOLON
Terdapat gangguan fungsi berupa menurunnya kapasitas reabsorpsi air dan elektrolit akibat adanya atrofi mukosa kolon dengan infiltrsi sel plasma.

MALNUTRISI LOKAL EPITEL GIT
Kurangnya bahan makanan dalam lumen menyebabkan malnutrisis epitel usus halus dan kolon sehingga tidak dapat melakukan absorpsi nutrient.

BAKTERI TUMBUH LAMPAU
Kelainan pada mekanisme pertahanan tubuh yang terjadi pada MEP merupakan predisposisi terjadinya Contaminated Small Bowel Syndrome ( CSBS ). Menurunkan produksi asam lambung pd MEP, menyebabkan meningkatnya jumlah bakteri dan jamur dalam lambung dan duodenum.

ASAM EMPEDU
Sebagian besar asam empedu yang diperlukan dalam lumen usus halus berada dalam bentuk tidak terkonjugasi yang mempunyai efek merusak epitel mukosa usus halus dan menghambat absorpsi air dan elektrolit oleh epitel kolon.




















BAB IV

PENILAIAN STATUS GIZI


Penilaian gizi harus dilakukan pada setiap anak diare untuk mengindentifikasi anak yang mempunyai masalah gizi dan mendapatkan keterangan penting dalam membuat anjuran diet. Tujuannya meliputi (1) menentukan apakah pola makan yang biasa diberikan tepat untuk anak tersebut berdasarkan umurnya, (2) mendeteksi gizi buruk bila ada. Keadaan ini dapat berupa marasmus, kwashiorkor atau keduanya ( marasmik – kwashiorkor ).

Malnutrisi Energi Protein ( MEP , Gizi buruk )
A. Marasmus
Kebutuhan energi tidak terpenuhi pada masukan yang kurang, karena itu digunakan cadangan protein sebagai sumber energi. Penghancuran jaringan pada defisiensi kalori tidak saja membantu memenuhi kebutuhan energi tetapi juga memungkinkan sintesis glukosa dan berbagai asam amino. Masukan kalori yang kurang dapat terjadi akibat kesalahan pemberian makan, penyakit metabolic, kelainan congenital, infeksi kronik.
Gejala klinis :
• Tampak sangat kurus kering hingga tulang terbungkus kulit
• Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit
• Wajah seperti orang tua
• Perut dapat membuncit atau mencekung
• Metabolisme basal menurun sehingga akral dingin dan tampak sianosis
• Sering disertai penyakit kronik, diare kronik
B. Kwashiorkor
Bayi dan anak dalam masa pertumbuhan memerlukan protein lebih banyak dibandingkan orang dewasa. Pada anak bila keseimbangan nitrogen yang positif tidak terpenuhi maka setelah beberapa saat akan menderita malnutrisi protein yang berlanjut dengan kwashiorkor. Keseimbangan nitrogen yang negative disebabkan oleh diare kronik, malabsorpsi protein. Karena kekurangan protein dalam diet akan terjadi kekurangan berbagai asam amino esensial yang diperlukan untuk sintesis dan metabolisme. Makin berkurangnya asam amino dalam serum menyebabkan kurangnya produksi albumin oleh hepar yang berakibat timbulnya edema. Perlemakan hati terjadi karena transfer lemak dari hati ke depot terganggu.
Gejala klinis
• Edema, umumnya seluruh tubuh terutama pada kaki
• Wajah membulat dan sembab
• Apatis, cengeng dan rewel
• Pandangan mata sayu
• Rambut tipis, kemerahan seperti rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit
• Pembesaran hati
• Kelainan kulit tahap awal berupa kulit kering dan bersisik, tahap lanjut berupa bercak merah muda meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas ( Crazy pavement dermatosis )
• Sering disertai infeksi, anemia, diare








































PENGOBATAN
Dalam aplikasinya penanganan MEP berat pada tahap awal adalah mengatasi kelainan akut seperti diare, bronkopneumonia atau penyakit infeksi lainnya, gangguan elektrolit dan keseimbangan asam basa.
Dalam keadaan dehidrasi dan asidosis, pedoman pemberian cairan parentral adalah sebagai berikut :
1) Jumlah cairan adalah 200 ml/kgBB/hari untuk kwashiorkor atau marasmik-kwashiorkor, 250 ml/kgBB/hari untuk marasmus
2) Jenis cairan yang dipilih adalah Darrow-glukosa aa dengan kadar glukosa dinaikkan menjadi 10% bila terdapat hipoglikemia
3) Cara pemberian adalah sebanyak 60 ml/kgBB diberikan dalam 4 – 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam waktu 16 – 20 jam berikutnya.
Terapi nutrisi
- Makanan tinggi kalori tinggi protein ( TKTP ) dengan kandungan protein yang dianjurkan adalah 3 – 5 gr/kgBB dan jumlah kalori 150 – 200 kkal/kgBB/hari
- Penambahan vitamin dan mineral khususnya vit A, B komplek dan vit C, asam folat, mineral, kalium,magnesium dan besi
Terapi dietetik
1. Tahap Penyesuaian
BB kurang dari 7 kg
- jenis makanan adalah makanan bayi
- pada awal perawatan makanan utamanya adalah susu yang diencerkan atau susu rendah laktosa
- untuk tambahan kalori diberikan glukosa 2-5% dan tepung 2%
- secara berangsur dapat diberikan buah + biskuit, makanan lunak dan lembek
BB lebih dari 7 kg
- jenis makanan adalah makanan untuk anak berumur > 1 tahun
- dimulai dengan pemberian kalori 50 kkal/kgBB, protein 1 gr/kgBB, cairan 200 ml/kgBB/hari
- bentuk makanan yang diberikan dimulai dengan makanan cair / susu yang diencerkan kemudian secara bertahap dikentalkan
- sebagai tambahan kalori diberikan glukosa 5%
- pada tahap awal makanan cair diberikan lebih sering dengan porsi lebih kecil
- setelah toleransi anak terhadap makanan membaik, dapat dimulai dengan makanan lunak disusul dengan makanan biasa
2. Tahap Penyembuhan
Bila keadaan umum anak, toleransi terhadap makanan dan nafsu makan membaik, pemberian makanan dapat ditingkatkan secara berangsur setiap 1 – 2 hari hingga tercapai konsumsi kalori sebanyak 150 – 200 kkal/kgBB dan protein 3 - 5 gr/kgBB/hari
3. Tahap Lanjutan
Setelah tercapai penyembuhan, pemberian makanan dikembalikan dari jenis makanan TKTP ke makanan dengan kebutuhan nutrient yang baku.
C. Marasmik – kwashiorkor
Kelainan gizi yang menunjukkan gejala klinis campuran antara marasmus dan kwashiorkor dengan gagal tumbuh kembang sebagai gejala klinis umum.
Gambaran klinik :
- Edema yang tidak mencolok - hipotrofi otot
- Dermatosis - jaringan lemak subkutan berkurang
- Perubahan rambut - kerdil
- Hepatomegali - anemia
- Perubahan mental - defisiensi vitamin

PENATALAKSANAAN
1) Terapi nutrisi
- Pemberian makanan TKTP
- Energi 150 kkal/kgBB/hari dan protein 3-5 gr/kgBB/hari ( keduanya diberikan secara bertahap )
- Sebagai tambahan berikan KCl 75.100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis, M9SO4 50% 0,25 ml/kgBB/hari IM dan roboransia
- BIla ditemukan tanda defisiensi vitamin A berikan dosis teraupetik 50.000 SI/kgBB dengan maksimal 400.000 SI
- Senyawa besi atau asam folat bila dijumpai anemia defisiensi besi atau megaloblastik
2) Atasi penyakit penyerta seperti ISPA, Bronkopneumonia, Tuberkulosis, OMA, ISK atau diare
3) Penyuluhan gizi

Scoring System menurut Mc Laren 1967
Gejala klinik Skor

Edema 3
Dermatosis 2
Edema + dermatosis 6
Hair chance 1
Hepatomegali 1
Serumalbumin/total protein
<1,00 / <3,25 7
1,00 – 1,49 / 3,23 – 3,99 6
1,5 – 1,99 / 4 – 4,74 5
4,75 – 2,49 / 4,75- 5,49 4
2,50 – 2,99/ 5,50 – 6,24 3
3 – 3,49/ 6,25 – 6,99 2
3,50 – 3,99 / 7,00 – 7,74 1
> 4,00 / 7,75 0
Penilaian : Skor 0 – 3 : Marasmus
Skor 4 – 8 : Marasmik – kwashiorkor
Skor 9 – 15 : Kwashiorkor


Klasifikasi KEP menurut the Welcome Trust Party, 1970

Derajat malnutrition BB % terhadap BB/u

Edema ( - )
Edema ( + )
80 – 60 %
Undernutrition
Kwashiorkor < 60%
Marasmus
Marasmik - kwashiorkor



Pemberian makanan selama diare pada MEP
Seperti diketahui MEP dapat menyebabkan diare karena adanya malabsorpsi makanan dan infeksi alat pencernaan, sebaliknya diare menyebabkan bartambah beratnya derajat MEP penderita.
Diare yang terjadi pada penderita MEP bersifat lebih lama, lebih berat dan lebih sering. Tidak dibenarkan memantang makanan selama diare dan keadaan anoreksia dapat diperbaiki dengan formula oralt lengkap.

UMUR Jumlah oralit yang diberikan tiap b.a.b
< 1 tahun
1 – 4 tahun
> 5 tahun
dewasa 50 – 100 ml ( ½ gelas )
100 – 200 ml ( 1 gelas )
300 – 400 ml ( 2 gelas )
400 – 600 ml ( 3 gelas )

Makanan yang diberikan harus mengandung cukup kalori, protein, mineral, vitamin dan tidak menimbulkan diare kembali atau malabsorpsi, harus bersih dan terjangkau. Bahan – bahan makanan yang dapat deberi antara lain : ASI, susu formula khusus, buah – buahan, biji – bijian, kacang – kacangan, sayuran.
Pada MEP, pemberian rehidrasi oral yang mengandung kadar Na tinggi ( 90 mEq/l) menyebabkan beratnya edema, sebaliknya keadaan K yang rendah ( 20 mEq/l) memperberat hipokalemi dan dapat berakibat buruk pada jantung ( bradikardi )
Secara teoritis makanan yang mengandung kalori tinggi, susu rendah laktosa dan minuman atau cairan rehidrasi oral yang mengandung rendah natrium dan tinggi kalium akan memberi hasil yang lebih baik.



BAB V
KESIMPULAN


1. Diare hingga kini masih merupakan salah satu penyakit pada bayi dan anak yang merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian di Negara berkembang
2. Penyebab utama kematian karena diare adalah dehidrasi akibat kehilangan cairan dan elektrolit melalui tinja
3. Di Negara berkembang, prevalensi yang tinggi dari penyakit diare merupakan kombinasi dari sumber air yang tercemar, kekurangan kalori dan protein yang menyebabkan turunnya daya tahan
4. Diare merupakan penyebab penting kekurangan gizi sehingga bila berkepanjangan berdampak terhadap pertumbuhan
5. Diare dapat disebabkan oleh karena factor infeksi ( bakteri, virus, parasit ), factor malabsorpsi, alergi, keracunan, imunodefisiensi, dan sebab – sebab lain
6. Menurut waktunya diare dapat dibagi menjadi diare akut dan diare kronik
7. Penatalaksanaan diare akut disesuaikan menurut derajat dehidrasi, pada diare kronik atasi dehidrasi dan terapi sesuai dengan penyebabnya
8. Diare sangat berkaitan dengan MEP karena mempunyai hubungan timbal balik, yaitu MEP dapat menyebabkan diare karena adanya malabsorpsi makanan dan infeksi alat pencernaan. Sebaliknya diare menyebabkan bertambah beratnya derajat MEP
9. Pemberian makanan yang mengandung kalori tinggi, susu rendah laktosa dan minuman / cairan rehidrasi oral yang mengandung rendah natrium dan tinggi kalium memberikan hasil yang baik untuk penatalaksanaan diare pada MEP.





DAFTAR PUSTAKA


1. Staf Pengajar Ilmu Kesehata Anak Fakultas Kedokteran UI, Buku kuliah Ilmu Kesehatan Anak, cetaka ke – 10 volume 1, Percetakan Infomedika, Jakarta, 2002

2. AH. Markum, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, jilid 1, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1991

3. Suharyono, Gastroenterologi Anak Praktis, cetakan ke -4, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI, Jakarta 2003

4. Arief Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke -3 jilid 2, Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI, Jakarta 2003

campak

Campak

Campak bukan merupakan istilah yang aneh di telinga. Rasanya hampir semua orang dewasa pernah mendengar tentang penyakit ini. Nama lain untuk campak adalah morbili, rubeola, measles, dan ada juga yang menyebut tampek.
Campak adalah infeksi menular yang disebabkan oleh virus morbili dan ditandai dengan terjadinya eksantema akut.
Epidemiologi
Penyakit ini sangat mudah menular dimana penularan dapat terjadi melalui:
• Percikan ludah yang mengandung virus (droplet infection)
• Kontak langsung dengan penderita
• Penggunaan peralatan makan dan minum bersama
Penderita dapat menularkan penyakitnya sejak 2-4 hari sebelum timbulnya ruam pada kulit sampai ± 5 hari sejak ruam timbul. Jauhkan penderita dari orang lain yang belum pernah terkena campak, karena tingkat infektivitas campak sangat tinggi. Berada di dalam ruangan yang sama dengan penderita campak (baik yang sudah bergejala maupun belum), sudah cukup untuk memindahkan virus ke tubuh kita.
Seorang wanita yang pernah menderita campak atau pernah mendapat imunisasi campak akan meneruskan daya imunitas pada bayi yang dikandungnya. Kekebalan ini akan bertahan selama tahun pertama setelah anak dilahirkan. Karena itu jarang sekali kita menjumpai bayi (khususnya yang berusia di bawah 5 bulan) yang menderita campak.
Seorang yang pernah terinfeksi campak menjadi kebal seumur hidupnya.
Etiologi
Virus Rubeola
• Virus RNA rantai tunggal
• Termasuk dalam famili paramiksovirus
• Sampai saat ini hanya ada satu serotipe yang diketahui dapat menimbulkan penyakit pada manusia
Faktor risiko
• Daya tahan tubuh yang lemah
• Belum pernah terkena campak
• Belum pernah mendapat vaksinasi campak

Gejala klinis
Gejala dimulai antara 7-20 hari (rata-rata 10-12 hari) sesudah terinfeksi. Gejala awal sulit dibedakan dengan influensa biasa. Dimulai dengan demam tinggi, hidung berair, batuk ringan, sariawan, nyeri menelan, dan mata merah berair. Anak menjadi cengeng dan matanya selalu terpejam akibat radang pada selaput lendir mata (konjungtivitis).
Ruam dapat muncul pada selaput lendir mulut daerah pipi 2-4 hari kemudian. Ruam di daerah ini dikenal dengan istilah bercak Koplik (Koplik's spots). Nama tersebut diambil dari Henry Koplik, nama seorang dokter spesialis anak di Amerika Serikat yang pertama mendeteksi tanda itu. Bercak Koplik seringkali digambarkan seperti garam yang ditabur di atas permadani merah. Gambaran itu memang tepat, karena bercak koplik tampak sebagai titik-titik putih kecil dikelilingi oleh dasar mukosa yang merah. Bercak ini hanya muncul pada masa inkubasi dan cepat menghilang.
3-5 hari setelah gejala pertama (1-2 hari setelah munculnya bercak Koplik), demam menjadi semakin tinggi lalu diikuti dengan munculnya ruam-ruam berwarna kemerahan. Sebagian ruam hanya berupa perubahan warna saja (makula), tapi sebagian lagi berupa lesi yang agak menonjol (papula). Oleh karena itu, erupsi yang terjadi diistilahkan sebagai erupsi makulopapula.
Ruam yang terasa sedikit gatal ini mula-mula muncul di belakang telinga. 1 - 2 hari kemudian ruam akan menyebar ke leher, dada, punggung, perut, dan akhirnya lengan serta tungkai. Pada saat ini ruam di wajah mulai menghilang.
Pada puncak penyakit, penderita tampak sakit berat, ruam sangat luas, dan suhu tubuh dapat mencapai lebih dari 40°C. Batuk dapat bertambah parah. Pada keadaan yang berat, ruam biasanya akan tampak lebih gelap (merah kehitaman).
Dalam 3-5 hari setelah munculnya ruam, suhu tubuh mulai kembali normal. Penderita akan merasa lebih baik dan ruam yang tersisa akan segera mengalami deskuamasi (pengelupasan lapisan tanduk kulit) dan menghilang. Walau demikian, ruam tersebut akan meninggalkan bekas berupa bercak berwarna kehitam-hitaman yang baru menghilang dalam waktu yang cukup lama (± 1 bulan). Bercak ini merupakan tanda khas bahwa seseorang baru saja terkena campak.
Batuk biasanya masih tetap ada sampai beberapa hari kemudian.
Kadang-kadang kadar platelet darah dapat turun sangat rendah (trombositopenia). Akibatnya penderita mudah mengalami perdarahan (ditandai dengan mudah memar).
Pemeriksaan Laboratorium
Serologi
Pada kasus-kasus atipik, dapat dilakukan pemeriksaan serologi untuk memastikannya. Teknik pemeriksaan yang dapat digunakan adalah:
1. Fiksasi komplemen
2. Inhibisi hemaglutinasi
3. Metode antibodi fluoresensi tidak langsung
Patologi anatomi
Pada organ limfoid dijumpai:
• Hiperplasia folikuler yang nyata
• Sentrum germinativum yang besar
• Sel Warthin-Finkeldey
• Sel datia berinti banyak yang tersebar secara acak
• Sel ini memiliki nukleus eosinofilik dan jisim inklusi dalam sitoplasma
• Sel ini merupakan tanda patognomonik campak
Pada bercak Koplik dijumpai:
• Nekrosis
• Neutrofil
• Neovaskularisasi
Diagnosa
Diagnosa biasanya ditegakkan berdasarkan temuan klinis. Pada tahap awal, sulit untuk menegakkan diagnosa campak. Adanya konjungtivitis merupakan petunjuk berharga dalam upaya pengambilan diagnosa. Bila kita berhasil menemukan bercak Koplik, maka diagnosa dini dapat kita tegakkan.
Hal-hal yang membantu penegakan diagnosa:
• Riwayat kontak dengan penderita campak
• Gejala demam, batuk, pilek dan konjungtivitis
• Bercak Koplik (patognomonik)
• Erupsi makulopapula dengan tahap-tahap pemunculan yang khas
• Bercak berwarna kehitaman pada kulit setelah sembuh
Diagnosa banding
• Campak jerman (Rubella)

Glomerulonefritis akut (GNA)

BAB I
PENDAHULUAN



Glomerolunefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap akhir dan tingginya angka morbiditas baik pada anak maupun dewasa. Sebagian besar glomerolunefritis bersifat kronik dengan penyebab yang tidak jelas dan sebagian besar tampaknya bersifat imunologis. Terminologi glomerulonefritis yang dipakai disini adalah untuk menunjukkan bahwa kelainan yang pertama dan utama terjadi di glomerulus, bukan pada struktur jaringan ginjal yang lain. Istilah glomerulonefritis dipergunakan untuk menunjukkan karakteristik gambaran klinis dan kelainan histopatologis yang terjadi.1
Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi glomerolus yang disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis. Istilah akut ( glomerulonefritis akut / GNA) mencerminkan adanya korelasi kliniko-patologis selain menunjukkan adanya gambaran tentang etiologi, patogenesis, perjalanan penyakit dan prognosis.
Glomerulonefritis akut menunjukkan adanya kejadian pasca infeksi dengan etiologi berbagai macam bakteri dan virus. Kuman penyebab tersering adalah streptokokkus β hemolitikus group A yang nefritogenik.1
Kemampuan mengidentifikasi adanya kelainan glomerolus adalah berkat berkembangnya dan meluasnya penggunaan biopsi ginjal per kutan yang mampu menunjukan adanya kelainan dini glomerolus, serta kemajuan teknis pemeriksaan ultrastruktur dan imunopatologis ginjal sehingga mampu mengidentifikasi lokalisasi kelainan secara akurat.





BAB II
ISI


Definisi

Glomerulonefritis akut adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus tertentu, yang sering terjadi ialah akibat infeksi kuman streptokokkus β hemolitikus group A.2,3,4,5


Morfologi Glomerolus

1. Mikroskop Cahaya
Glomerolus yang normal merupakan suatu jaringan vasa kapiler yang terletak diantara arteriol aferen dan arteriol eferen. Kapiler tersebut melekat mengelilingi suatu jaringan penyangga yang disebut mesangium yaitu jaringan ektraseluler yang terdiri dari matriks mesangial dan sel mesangial. Bila sediaan jaringan ginjal yang berukuran 4-8 mm diperiksa dengan mikroskop cahaya, akan tampak dengan jelas adanya lumen kapiler, matriks, dan sel mesangial. Kompleks glomerolus ini dibentuk oleh empat jenis sel yang terdiri dari sel mesangial, sel endotel, sel epitel visceral dan sel epitel parietal. Mesangium (matriks dan sel) terletak ditengah batang gelung glomerolus (tuft).
2. Mikroskop Imunofluoresensi
Dengan teknik ini dapat ditunjukkan adanya antibodi dan atau komplemen pada glomerolus yang sakit. Gambaran ini membuktikan adanya media imun yang berperan dalam penyakit glomerolus1. Gambaran imunofluoresensi linear disepanjang dinding kapiler glomerolus menunjukkan bahwa reaktan imun tersebut (IgG,komplemen) terikat pada struktur endogen antigen golmerolus, sebaliknya imunofluoresen granular dalam glomerolus merupakan suatu deposit komplek imun. Kompleks imun tersebut dapat berasal dari kompleks imun bersirkulasi (circulating immune complex) yang terperangkap dalam glomerolus atau berasal dari ikatan antibodi pada struktur endogen antigen dalam gomerolus (pembentukan kompleks imun in situ).
Bila sediaan jaringan biopsi ginjal berukuran 4-8m dipulas dengan antibodi berlabel fluoresen yang spesifik terhadap imunoglobulin (anti IgG, IgA, IgM) dan komponen komplemen (anti C1q, C3, C4, C5b-9 dll) kemudian dilihat dengan mikroskop fluoresensi, maka eksistens dan lokasi deposit antibodi dan komplemen pada glomerolus yang sakit tersebut akan ditentukan.
Glomerolus normal sama sekali tidak mengandung deposit imun, dalam keadaan sakit, reaktan fluoresen dalam glomerolus tampak sebagai bentukan bersifat granular pada tempat yang berbeda, misalnya pada mesangium atau disepanjang lumen kapiler atau tampak sebagai garis halus dibagian luar dinding kapiler glomerolus.1
3. Mikroskop Elektron
Apabila sebuah kapiler glomerolus dilihat dengan mikroskop elektron, tampak adanya 3 lapisan. Lapisan paling dalam berhadapan dengan lumen kapiler glomerolus terdiri dari sel endotel berfenestra. Lapisan tengah adalah membran basal dan lapisan luar yang berhadapan dengan ruang Bowman ialah sel epitel kapsula Bowman visceral, dengan tonjolan sitoplasma interdigitata (tonjolan kaki, foot processes). Ruang yang terdapat diantara tonjolan kaki disebut slit pores tertutup oleh suatu membran yang sangat tipis yang disebut slit diaphragm. Membran basal golemrolus terdiri atas 3 lapisan yaitu lamina rara interna (disebelah dalam), lamina densa (ditengah) dan lamina rara eksterna (disebelah luar).1
Dengan mikroskop elektron akan mudah ditemukan adanya kelainan membran basal glomerolus seperti laminasi pada sindrom alport, kelainan sel glomerolus seperti fusi tonjolan kaki sel epitel visceral pada proteinuria dan lokasi deposit padat elektron (merupakan komplemen antigen antibodi).





Filtrasi Glomerolus1

Dengan mengalirnya darah dalam kapiler glomerolus, plasma disaring melalui dinding kapiler glomerolus. Hasil ultrafiltrasi tersebut yang bebas sel, mengandung semua substansi plasma (elektrolit, glukosa, fosfat, ureum, kreatini, peptida, protein-protein dengan berat molekul rendah) kecuali protein yang berat molekulnya lebih dari 68.000 (seperti albumin dan globulin). Filtrat dikumpulkan dalam ruang bowman dan masuk ketubulus, yang kemudian mengubah komposisinya sesuai dengan kebutuhan tubuh sebelum meninggalkan ginjal berwarna urin.
Laju filtrasi glomerolus (GFR) atau glomerular filtration rate/GFR merupakan penjumlahan dari seluruh laju filtrasi nefron yang masih berfungsi yang juga disebut Single Nefron Glomerular Filtration Rate (SN GFR). Besarnya SN GFR ditentukan oleh faktor dinding kapiler glomerolus dan gaya starling dalam kapiler tersebut.
SN GFR = Kf (∆P-∆π)

= Kf.Puf



Koefisien ultrafiltrasi (Kf) dipengaruhi oleh luas permukaan kapiler glomerolus yang tersedia untuk filtrasi dan konduksi hidrolik membran basal. Tekanan ultrafiltrasi (Puf) atau gaya starling dalam kapiler ditentukan oleh :
Tekanan hidrostatik dalam kapiler glomerolus (Pg)
Tekanan hidrostatik dalam kapsula bowman/tubulus (Pt)
Tekanan onkotik dalam kapiler glomerolus (πg)
Tekanan onkotik dalam kapsula bowman yang dianggap nol karena ultrafiltrat tidak mengandung protein.
Jadi tekanan ultrafiltrasi (Puf) diglomerolus merupakan selisih perbedaan tekanan hidrostatik dan selisih onkotik
Puf = Pg-Pt-πg-0
= ∆p-∆π



Dengan demikian SN GFR akan bervariasi sesuai dengan proses yang mempengaruhi tekanan hidrostatik kapiler glomerolus, keadaan membran glomerolus, luas permukaan filtrasi. Tekanan hidrostaik kapiler pada manusia tidak pernah diukur.

Kapiler gomerolus :




Arteriol Pg pt Arteriol
aferen eferen


Pt pg







LFG nenonatus sekitar 15-20 ml/hari/1,73 cm2 yang kemudian meningkat 2x lipat pada umur seminggu sehingga sama dengan dewasa pada umur 2 tahun. Perubahan pada hari-hari pertama dapat diterangkan dengan penurunan resistensi pembuluh darah yang menyebabkan peningkatan aliran darah kortek serta peningkatan perfusi glomerolus. Perubahan ini menghasilkan peningkatan luas permukaan (Kf). Peningkatan selanjutnya pada tahun pertama disebabkan pertumbuhan glomerolus yang mempengaruhi Kf diikuti peningkatan tekanan perfusi yang berpengaruh terhadap tekanan hidrostatik glomerolus (Pg).
Sel mesangial glomerolus mengandung saraf semacam aktin yang berhubungan langsung dengan membran basal, reseptor berbagai zat vasoaktif, termasuk vasopresin dan angiotensin II berada pada permukaan sel ini. Hadirnya hormon-hormon ini menyebabkan kontraksi sel mesangial sehingga berkurang luas permukaan kapiler glomerolus dan penurunan SN GFR. Glomerulonefritis merupakan keadaan klinik lain yang potensial untuk mengubah Kf dan tekanan perfusi glomerolus. Dalam berbagai keadaan tadi endapan imun, komponen komplemen, atau zat-zat produk leukosit dapat merusak membran basal sel, menurunkan luas permukaan filtrasi dan atau konduksi hidolik sehingga menyebabkan penurunan SN GFR. Selain itu mediator imun dapat mempengaruhi resistensi pembuluh darah dan tekanan perfusi glomerolus pula.
Tekanan hidrostatik glomerular merupakan tekanan pendorong terjadinya ultrafiltrasi. Bila tekanan pefusi menurun dengan cepat, perubahan resistensi arteriol aferen dan eferen mungkin tidak dapat mengkompensasi dan memelihara ultrafiltrasi.
Secara singkat faktor-faktor yang mempengaruhi filtrasi glomerolus antara lain :
Perubahan aliran darah glomerolus
Perubahan pada tekanan hidrostatik kapiler glomerolus
- perubahan tekanan darah sistemik
- kontriksi arteriol aferen atau eferen
Perubahan pada tekanan hidrostatik kapsula bowman/tubulus
- obtruksi
- edem sekitar ginjal
Perubahan tekanan onkotik plasma
- hipoproteinemia
- dehidrasi
Perubahan permeabilitas kapsula glomerolus
Perubahan luas area filtrasi
- kerusakan glomerolus akibat penyakit ginjal akut / kronik
- nefrektomi parsial


Fisiologi Umum Ginjal

Unit fungsional ginjal adalah nefron (1,2 juta nefron membentuk setiap ginjal manusia). Setiap nefron terdiri dari kapsula bowman, jaringan glomerolus, tubulus proksimal, lengkung henle dan tubulus distal.
Pada permulaan nefron dalam glomerolus darah disaring (protein dan sel tertahan) sedang air dan subtansi terlarut yang lebih kecil diteruskan kedalam tubulus, ditransfer melintasi dinding tubulus dan memasuki darah kembali (resorpsi, reabsorpsi). Fraksi yang tidak diresorpsi tinggal dalam tubulus dan muncul dalam urin terminal (eksresi). Beberapa pelarut urin memasuki lumen nefron dari sel tubula secara sekresi.6

Angka Kejadian

Insiden tidak dapat diketahui dengan tepat, diperkirakan jauh lebih tinggi dari data statistik yang dilaporkan oleh karena banyaknya pasien yang tidak menunjukkan gejala sehingga tidak pernah terdeteksi. Kaplan dkk memperkirakan separuh pasien glomerulonefritis akut pasca streptokokkus pada suatu epidemi tidak terdeteksi.
Glomerulonefritis akut pasca streptokokkus menyerang anak dibawah usia 3 tahun, dengan perbandingan laki-laki : perempuan adalah 2:1 Hasil penelitian multisenter di Indonesia pada tahun 1988 melaporkan adanya 170 pasien dirawat di rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien terbanyak dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian disusul berturut-turut di Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%). Pasien lelaki dan perempuan berbanding 1,3:1 dan terbanyak menyerang anak pada usia antara 6-8 tahun.1


Etiologi

Glomerulonefritis akut sering ditemukan pada anak berumur 3-7 tahun dimana anak pria lebih sering daripada anak perempuan. Biasanya didahului oleh infeksi ekstrarenal terutama pada traktus respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman Streptokokkus β hemolitikus group A strain nefritogenik ( tipe 12,14,16,25,49) dimana tipe 12 dan 25 lebih nefritogenik. Antara terjadinya infeksi bakteri dan timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa laten ± 10 hari. Faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum, alergi mempengaruhi terjadinya GNA. GNA juga dapat disebabkan oleh penyebab lain seperti sifilis, keracunan ( timah hitam, tridin), penyakit amiloid, trombosis vena renalis, purpura anafilaktoid dan lupus eritematosus.1,2,3,4,5






Patogenesis

Berdasarkan hasil penelitian klinis imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab. Berikut hipotesis yang ada : 2,3
terbentuknya komplek antigen-antibodi yang melekat pada membrana basalis glomerolus dan kemudian merusaknya.
proses autoimun kuman streptokokkus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan badan autoimun yang merusak glomerolus.
streptokokkus nefritogen dan membrana basalis glomerolus mempunyai komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrana basalis ginjal.

Berdasarkan hubungannya dengan infeksi streptokokkus, gejala klinis dan pemeriksaan imunofluoresensi ginjal serta penurunan kadar komplemen (C3) serum, jelaslah kiranya bahwa glomerulonefritis akut pasca streptokokkus adalah suatu glomerulonefritis yang bermediakan imunologis. Meskipun secara umum patogenesis glomerolunefritis telah dimengerti, namun mekanisme yang tepat bagaimana terjadinya lesi glomerolus, proteinuria dan hematuria pada glomerulonefritis pasca streptokokkus belumlah jelas benar serta mekanisme yang tepat bagaimana strain streptokokkus nefritogenik menyebabkan pembentukan kompleks masih belum dapat ditentukan.5 Pembentukan kompleks imun bersirkulasi dan pembentukan kompleks imun in situ telah ditetapkan sebagai mekanisme patogenesis glomerulonefritis pasca stretokokkus.1








Manifestasi klinis 1,2,3,4,5

· Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas atas (faringitis) atau kulit (impetigo) oleh kuman streptokokkus dari strain nefritogenik.
· Hematuria yang nyata (kencing berwarna merah daging)
· Edem ringan disekitar mata atau seluruh tubuh. Edem berat dapat terjadi bila ada oliguria dan gagal jantung.
· Hipertensi bahkan terlihat ensefalopati hipertensi yang ditunjukkan degan gejala sakit kepala, muntah, letargi, disorientasi dan kejang.
· Gejala gastroenterologi seperti muntah, tidak nafsu makan, konstipasi / diare.
· Oliguria / anuria.
· Suhu badan tidak terlalu tinggi.


Gambaran laboratorium 1,2,3,4

· Urinalisis menunjukkan adanya urin berkurang, berat jenis meninggi, hematuria makroskopis, protein (+), albumin (+), eritrosit (++), silinder leukosit, hialin.
· LED meningkat
· Hb menurun
· Albumin serum sedikit menurun dan komplemen serum menurun (C3)
· Ureum dan kreatinin darah meningkat
· Peningkatan titer antibodi terhadap antigen streptokokkus (titer anti streptolisin O meningkat, DNA SeB, streptozime)
· Uji fungsi ginjal normal






Patologi 1,5

Makroskopis ginjal tampak agak membesar, pucat dan terdapat titik-titik perdarahan pada korteks. Mikroskopis cahaya tampak hampir semua glomerolus terkena sehingga dapat disebut glomerulonefritis difusa (glomerolus membesar). Tampak proliferasi sel endotel glomerolus yang keras sehingga mengakibatkan lumen kapiler dan ruang simpai bowman menutup serta penambahan matriks mesangium. Disamping itu terdapat pula infiltrasi sel epitel kapsul, infiltrasi sel PMN dan monosit. Pada pemeriksaan mikroskopis elektron akan tampak membrana basalis menebal tidak teratur karena terdapat endapan padat elekktron yang dikenal dengan istilah humps di subepitelium yang mungkin dibentuk oleh globulin gama, komplemen dan antigen streptococcus. Mikroskop imunofluoresen ditemukan endapan IgG dan komplemen pada membrana basalis glomerolus dan pada mesangium bergumpal-gumpal tidak rata.


Diagnosa banding 1

· Glomerulonefritis kronik
Hematuria makroskopis akut, sembab, hipertensi dan gagal ginjal yang dalam perjalanan penyakitnya lebih lambat kearah perbaikan.Dapat berupa glomerulonefritis membranoproliferatif, nefritis lupus, dan glomerulonefritis proliferatif kresenik.
· Nefropati IgA
Hematuria nyata mendadak segera setelah infeksi saluran napas atas terjadi bersamaan pada saat faringitis, sedang hipertensi dan sembab jarang terjadi.






Komplikasi 2,3

Oliguria sampai anuria
dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagai akibat berkurangnya filtrasi glomerolus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia. Bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum diperlukan.
Ensefalopati hipertensi
merupakan gejala serebrum karena hipertensi seperti gangguan penglihatan, pusing, muntah, dan kejang-kejang. Hal ini disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.
Gangguan sirkulasi
berupa dispnea, ortopnea, ronki basah, pembesaran jantung dan meningkatnya tekanan darah yang bukan saja disebabkan oleh spasme pembuluh darah juga karena bertambahnya vulome plasma. Jantung dapat membesar dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang enetap dan kelianan miokardium.
Anemia
karena adanya hipovolemia disamping sintesis eritopoetik yang menurun.


Pengobatan 2,3,4,5

Istirahat mutlak selama 3-4 minggu sampai edem, hipertensi dan hematuria makroskopis membaik
Antibiotik untuk eradikasi kuman streptokokkus dengan penisilin, ampisilin, atau eritromisin selama 10 hari.
Diet rendah protein (1 g/KgBB/Hari) dan rendah garam (1 g/hari)
Bila ada anuria dan muntah berikan IVFD glukosa 10%
Pengobatan terhadap hipertensi, dapat diberikan reserpin mula-mula 0,07 mg/KgBB secara IM kemudian jika 5-10 jam terjadi diuresis berikan secara peroral 0,03 mg/KgBB/hari
Pemberian diuretik dengan furosemid secara IV (1 mg/KgBB/hari)
Bila anuria berlangsung 5-7 hari ureum harus dikeluarkan dari dalam darah, dapat dilakukan dialisis peritoneum, hemodialisis, bilasan lambung dan usus.
Bila gagal jantung dapat diberikan digitalis, sedative, oksigen.
Bila timbul GGA penatalaksanaan sesuai dengan GGA.


Prognosis 1

Sebagian besar pasien akan sembuh sempurna (95 % kasus), tetapi 5% diantaranya mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat dengan pembentukan kresen pada epitel glomerolus. Diuresis akan menjadi normal kembali pada hari ke 7-10 setelah awal penyakit, dengan menghilangnya sembab dan secara bertahap tekanan darah kembali normal. Fungsi ginjal membaik dalam 1 minggu dan menjadi normal dalam waktu 3-4 minggu. Komplemen serum menjadi normal dalam waktu 6-8 minggu. Tetapi kelainan sedimen urin akan tetap terlihat selama berbulan-bulan bahan bertahun-tahun pada sebagian bessar pasien. Kesimpulannya adalah prognosis jangka panjang glomerulonefritis akut baik.













BAB III
PENUTUP



KESIMPULAN

· Glomerulonefritis akut menunjukkan adanya kejadian pasca infeksi dengan etiologi berbagai macam bakteri dan virus. Kuman penyebab tersering adalah streptokokkus β hemolitikus group A yang nefritogenik.
· Glomerolus yang normal merupakan suatu jaringan vasa kapiler yang terletak diantara arteriol aferen dan arteriol eferen. Kompleks glomerolus ini dibentuk oleh empat jenis sel yang terdiri dari sel mesangial, sel endotel, sel epitel visceral dan sel epitel parietal. Mesangium (matriks dan sel) terletak ditengah batang gelung glomerolus (tuft). Glomerolus normal sama sekali tidak mengandung deposit imun.
· Secara singkat faktor-faktor yang mempengaruhi filtrasi glomerolus antara lain :
Perubahan aliran darah glomerolus
Perubahan pada tekanan hidrostatik kapiler glomerolus
Perubahan pada tekanan hidrostatik kapsula bowman/tubulus
Perubahan tekanan onkotik plasma
Perubahan permeabilitas kapsula glomerolus
Perubahan luas area filtrasi
· Glomerulonefritis merupakan keadaan klinik lain yang potensial untuk mengubah Kf dan tekanan perfusi glomerolus.
· Glomerulonefritis akut pasca streptokokkus menyerang anak dibawah usia 3 tahun, dengan perbandingan laki-laki : perempuan adalah 2:1.
· Glomerulonefritis akut sering ditemukan pada anak berumur 3-7 tahun dimana anak pria lebih sering daripada anak perempuan. Biasanya didahului oleh infeksi ekstrarenal terutama pada traktus respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman streptokokkus β hemolitikus group A strain nefritogenik
· Berdasarkan hubungannya dengan infeksi streptokokkus, gejala klinis dan pemeriksaan imunofluoresensi ginjal, jelaslah kiranya bahwa glomerulonefritis akut pasca streptokokkus adalah suatu glomerulonefritis yang bermediakan imunologis.
· Manifestasi Klinis
Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas atas atau kulit oleh kuman streptokokkus dari strain nefritogenik., Hematuria yang nyata (kencing berwarna merah daging), Edem ringan disekitar mata atau seluruh tubuh, Hipertensi, Gejala gastroenterologi seperti muntah, tidak nafsu makan, konstipasi/diare, Oliguria /anuria, Suhu badan tidak terlalu tinggi.
· Laboratorium
Urinalisis menunjukkan adanya urin berkurang, berat jenis meninggi, hematuria makroskopis, protein (+), albumin (+), eritrosit (++), silinder leukosit, hialin. LED meningkat, Hb menurun, Albumin serum sedikit menurun dan komplemen serum menurun (C3), Ureum dan kreatinin darah meningkat, Peningkatan titer antibody terhadap antigen streptokokkus (titer anti streptolisin O meningkat, DNA SeB, streptozime), Uji fungsi ginjal normal.
· Patologi
Makroskopis ginjal tampak membesar. Mikroskop cahaya tampak glomerulonefritis difusa, proliferasi sel endotel glomerolus dan infiltrasi sel epitel kapsul, infiltrasi sel PMN dan monosit. Mikroskop elektron akan tampak humps. Mikroskop imunofluoresen akan tampak endapan IgG dan komplemen.
· Diagnosa banding
Nefropati IgA dan Glomerulonefritis kronik
· Komplikasi
Oliguria sampai anuria, Ensefalopati hipertensi, Gangguan sirkulasi, Anemia.
· Pengobatan
bersifat suportif berupa istirahat, antibiotik, diet rendah protein dan garam, serta pengobatan lain yang sesuai dengan gejala yang ada.
· Prognosis : baik


DAFTAR PUSTAKA



Buku Ajar Nefrologi Anak edisi 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta . 2002.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985.

Kapita Selekta Kedokteran edisi 3. Jakarta. Media Aesculapius. 2000.

Prosedur Tetap Tindakan Medis dan Terapi SMF Kesehatan Anak. Departemen Kesehatan RI Ditjen Pelayanan Medis RS Persahabatn. Jakarta. 2004.

Richard E.Behrman. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Volume 3 edisi 15. Jakarta. EGC. 2000.

Despopoulus Agamemnon. Atlas Berwarna dan Teks Fisiologi edisi 4 revisi. Jakarta. Hipocrates. 1998

Gagal Jantung (Congestive heart failure)

I. PENDAHULUAN
Pandangan baru patofisiologi Gagal Jantung saat ini berbeda dengan patofisiologi yang selama ini dipakai sebagai pegangan dalam memberikan pengobatan. Dahulu, Gagal Jantung dianggap sebagai kegagalan kontraktilitas (bersifat mekanikal) yang menyebabkan abnormalitas hemodinamik. Obat utama yang selalu dipakai selama tenggang waktu tersebut adalah digitalis dan diuretik, namun ternyata obat-obatan tersebut hanya bermanfaat mengurangi gejala sesak napas dan retensi cairan tubuh, tapi sama sekali tidak meningkatkan kualitas hidup dan tidak mengurangi mortalitas seta efek pengobatannya tidak berlangsung lama.
Teori patofisiologi Gagal Jantung yang baru lebih menekankan pada remodelling miokard dan kelainan fungsi neuroendokrin berupa aktivasi adrenergik dan perubahan Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron yang mengakibatkan terjadinya disfungsi ventrikel. Remodelling merupakan proses selular-molekular kompleks yang menimbulkan perubahan pada struktur dan fungsi dan fenotipe otot jantung. Perubahan ini berbentuk hipertrofi, apoptosis dari sel miosit, dan perubahan kuantitas serta komposisi jaringan matriks ekstraselular(2).
Dari beberapa penelitian telah terbukti bahwa obat-obat yang dapat menetralkan efek stress mekanikal pada miokard atau obat yang dapat menghambat angiotensin dan norepinefrin (seperti penyekat ACE, beta-blockers, dan vasodilator) ternyata dapat memperlambat progresifitas disfungsi ventrikel. Selanjutnya pada pemakaian klinis obat-obat tersebut terbukti dapat mengurangi gejala-gejala Gagal Jantung serta berhasil mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat Gagal Jantung. Hal inilah yang menjadi dasar yang rasional pengobatan Gagal Jantung saat ini.
Adapun obat-obat beta-blockers yang dipakai untuk maksud ini antara lain Carvedilol, Bisoprolol, dan Metoprolol. Beberapa kepustakaan juga menyebutkan mengenai adanya efek anti oksidan pada Carvedilol.

II. PEMBAHASAN
1. Definisi
Gagal jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala), ditandai dengan sesak napas dan fatik (saat istirahat atau saat aktifitas ) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung
2. Etiologi dan patofisiologi
Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh gangguan kemampuan jantung berkontraksi atau meningkatnya beban kerja dari jantung. Gagal jantung diikuti oleh meningkatnya volume darah yang abnormal dan cairan intertisial jantung. Karena itu umumnya pembuluh vena, dan kapiler umumnya melebar diisi darah. Istilah gagal jantung termasuk kongesti ke paru dengan gagal jantung kiri, edema perifer dengan gagal jantung kanan. Penyebab gagal jantung kanan antara lain penyakit jantung arterosklerosis, penyakit hipertenisi, penyakit katup jantung, kardiomiopati yang melebar, penyakit jantung kongenital. Disfungsi sistolik kiri akibat penyakit arteri koronaria adalah penyebab utama dari gagal jantung.
Gagal jantung didasari oleh suatu beban miokard yang mengakibatkan remodeling structural, lalu diperberat progresifitaspenyakit tersebut dan menghasilkan sindrom yang disebut gagal jantung. Remodeling ini dipicu dan diperberat oleh mekanisme kompenssasi sehingga fungsi jantung terpelihara relative normal (asimptomatik gagal jantung) yang akan timbul factor presipitasi seperti infeksi, aritmia, infark jantung, anemia, hipertiroid, kehamilan, emosi, garam berlebih, hipertensi, demam reuma, endokarditis infektif. Gagal jantung simptomatik juga akan tampak kalau terjadi kerusakan miokard akibat progresifitas penyakit yang mendasarinya.
Ggn hemodinamik dini
Cardiac performance
SV
Aktifasi reseptor aorta dan sinus karotis
simpatis
Vasokontriksi vena, arteri dan jantung
VR ,EDV ,SW
EDP
Tekanan vena & kapiler paru
Bendungan paru
Pelepasan renin
Angiotensin II
Vasokontriksi renal
GFR
aldosteron
Reabsorbsi Na
Eskresi Na
Eskresi Na
preload
SW
Udema perifer
compensanted
- Redistribusi aliran darah
- Aliran koroner hampir normal
- CO normal
Hipertrofi ventrikel

3. jenis dan istilah dalam gagal jantung
1. Gagal Jantung Kronis :
Kondisi patofisiologi, terdapat kegagalan jantung memompakan darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan. Suatu definisi objektif yang sederhana hamper tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat nilai batas yang tegas pada disfungsi ventrikel.
Etiologinya berkembang secara lambat. Jantung mempunyai waktu untuk berkompensasi (hipertrofi ventrikel), Penderita sanggup mentoleransi penurunan cardiac output.
Guna kepentingan praktis, gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom klinik yang komplek disertai keluhan gagal jantung berupa sesak, fatik, baik dalam keadaan latihan ataupun istirahat , edema, dan tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat
2. Gagal Jantung Akut :
Didefinisikan sebagai serangan akut dari gejala-gejala atau tanda-tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya sakit jantung sebelumnya.
Etiologinya berkembang cepat, ada faktor presipitasi, Perfusi organ-organ tidak adekwat, Bendungan akut vena-vena ke ventrikel, Dekompensasi kordis terjadi secara tiba-tiba
3. Gagal Jantung Kiri dan Kanan.
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena pulmonalis dan paru menyebabkan sesak dan ortopnea. Gagal jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti pada hipertensi pulmonal , tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis. Tetapi karena perubahan biokimia gagal jantung terjadi pada miokard kedua ventrikel, maka retensi cairan pada gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan atau tahunan tidak lagi berbeda.
Maka bila etiologinya mengganggu fungsi ventrikel kiri seperti hipertensi dan penyakit jantung koroner àGAGAL JANTUNG KIRI (Left ventricular failure = LVF). Bila etiologinya lebih mengganggu fungsi ventrikel kanan seperti Infark ventrikel kanan GAGAL JANTUNG KANAN (Right ventricular failure=RVF). Kebanyakan RVF disebabkan oleh LVF.
4. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik.
Disfungsi sistolik : ketidak mampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan , fatik, kemampuan, aktifitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi.
Disfungsi diastolik : gagngguan relaksasi dan gangguan pengisisn ventrikel dan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi > 50%
Diagnosis dibuat dengan Doppler-ekokardiografi aliran darah mitral dan aliran vena pulmonalis. Tidak bisa dibedakan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik saja.
5. Gagal jantung Backward dan Forward.
tekanan atrium kanan
tekanan vena pulmonalis
Pulmonary Hypertension
RVF dan tekanan vena sistemik meningkat
bendungan (kongesti) vena organ-organ
backward heart failure
CO menurun
•forward failure.
Manifestasi gagal jantung
-fatigue, weakness (perfusi keotot skelet ¯ ).
- mental confusion.

LVDP (tekanan ventrikel kiri saat diastole),
4. Manifestasi klinis
Menurut The Framingham criteria for CHF terdapat 2 criteria major atau 1 kriteria major plus 2 kriteria minor :
Criteria major:
1. Paroxysmal nocturnal dyspnoea
2. Neck venin distension
3. Rales
4. Radiographic cardiomegaly
5. Acute pulmonary oedema
6. S3 gallop
7. CVP > 16 cm H2O
8. Hepatojugular reflux
9. Circulation time > 25 seconds
10. Weight loss à 4.5 kg in 5 days in response to treatment of CHF
11. Pulm.oedema, visc. congestion or cardiomegaly at autopsy
Criteria minor:
1. Bilateral ankle oedema
2. Nocturnal cough
3. Dyspnoea on exertion
4. Hepatomegaly
5. Pleural effusion
6. Heart rate ³ 120 bpm
7. FVC decreased by 33% from max. value recorded
Menurut klasifikasi NYHA :
Class I. No limitation: ordinary physical exercise does not cause undue fatigue, dyspnoea or palpitation.
Class II. Slight limitation of physical activity: comfortable at rest but ordinary activity results fatigue, palpitation or dyspnoea.
Class III. Marked limitation of physical activity: comfortable at rest but less than ordinary activity results in symptoms.
Class IV. Unable to carry out any physical activity without discomfort: symptoms of heart failure are present even at rest with increased discomfort with any physical activity.

Gejala klinis:
Pada prinsipnya gejala-gejala CHF timbul akibat menurunnya CO atau terjadinya bendungan vena pulmonalis dan vena sistemik
I. Fatigue, weakness.
Timbul akibat turunnya CO mengakibatkan penghantaran O2 ke otot skelet tidak adekwatà early anaerobic metabolism & acidosis. Juga perubahan di otot skelet sendiri : deconditioning, atrofi, kelainan struktur dan seluler, gangguan elektrolit dan depressi.
II. Dyspnoea.
Meningkatnya tekanan pengisian LV mengakibatkan tekanan atrium kiri meningkat sehingga transudasi cairan ke paru-paru à compliance paru-paru menurun maka usaha bernafas meningkat..Sensasi dyspnoea juga bisa disebabkan oleh menurunnya aliran darah keotot-otot pernapasan. Awalnya dyspnoea hanya terjadi waktu exercise, tapi bila CHF memburuk, dyspnoea juga bisa timbul pada waktu beristrahat.
III. Orthopnoea.
Merupakan kesukaran bernapas yang timbul setelah berbaring telentang (supine) beberapa menit. Pada posisi supine àpooling perifer menurunà venous return (VR) meningkatà tekanan pengisian LV meningkatàbendungan paru.
IV. Paroxysmal Nocturnal Dyspnoea (PND).
Penderita dengan CHF mungkin terbangun dari tidurnya secara mendadak akibat perasaan susah bernapas beberapa jam setelah tidur telentang. PND khas terjadi pada penderita dengan edema perifer. PND timbul akibat bendungan paru yang meningkat, setelah terjadinya mobilisasi cairan secara gradual sewaktu kaki ditinggikan.
V. Cough.
Sering menyertai gejala dyspnoea, orthopnoea dan PND. Batuk disebabkan oleh edema cabang bronchial atau adanya tekanan pada cabang bronkhus akibat pembesaran atrium kiri. (LA enlargement).
VI. Nocturia.
Retensi garam dan air pada CHF àproduksi urine menurun (selama terjaga/ siang hari). Namun pada posisi supine/malam hari terjadi mobilisasi cairan secara gradual sehingga timbullah nocturia.
VII. Anorexia.
CO menurun disertai vasokonstriksi splanchnic àperfusi viscera abdominalis menurun sehinnga timbul gejala-gejala nausea, vomiting dan nyeri perut dan nafsu makan menghilang dan berat badan menurun.Gejala tadi diperburuk dengan adanya edema intestinal yang menyertai peningkatan tekanan vena sistemik. Dan malabsorbsi dan protein-losing enteropathy dapat terjadi bila edema intestinal makin bertambah.
VIII. Right upper quadrant (epigastric) discomfort.
Gagal jantung kananà bendungan sistemik à hepatomegali à distensi capsula hepatis ànyeri perut kanan atas (hipokhondrium kanan) / nyeri epigastrium.
Symptom APE biasanya lebih berat dan timbul lebih cepat dibanding CHF kronis. Penderita mengeluh sesak napas mendadak disertai wheezing dan batuk paroxismal, dengan produksi sputum yang banyak berbusa dan berwarna merah. Transudasi cairan yang banyak kedalam ruang alveolar bisa menimbulkan perasaan kelelap (tenggelam) yang kerap kali disertai dengan anxietas akut dan rasa cemas akan kematian. Keringat banyak dan muka pucat akibat rangsangan simpatis.
Tanda-tanda CHF kronis bervariasi tergantung pada penyakit dasarnya, apakah hanya ada gagal ventrikel kiri saja atau berkombinasi dengan gagal ventrikel kanan
I. Tachycardia.
Terjadi Penurunan SV. HR meningkat disebabkan oleh tonus simpatis meningkat ( melalui perangsangan baroreseptor karotis dan aorta ).
II. Cheyne-Stokes respiration.
Type pernapasan hiperventilasi diselingi periode apnoea, dijumpai pada CHF yang lanjut dengan mekanisme tak jelas, tapi mayoritas biasanya dijumpai pada penderita dengan kelainan serebral yang luas dan menunjukkan adanya peningkatan sensitivitas pada pusat pernapasan untuk
meningkatkan level karbon dioksida.
III. Cyanosis.
Menurunnya pengangkutan O2 kejaringan perifer dan meningkatnya ekstraksi O2 di perifer pada penderita CHF ® Hb menurun secara bermakna ( 5 gr%) ® sianosis.
IV. Pulsus alternans.
Pada CHF berat denyut jantung bisa berubah-ubah ®BP bisa berubah-ubah pula ( perbedaan > 5 mmHg).
V. Rales.
Bersama-sama dengan rhonchi dan wheezing, rales merupakan tanda yang umum dari bendungan paru, tanda ini bisa hilang walaupun terdapat peningkatan LVFP akibat aktivitas drainage limfatik paru ­.
VI. Jugular venous pressure­.
Merupakan refleksi peningkatan tekanan vena sistemik pada gagal jantung kanan (RVF). Kompressi manual pada abdomen ® VR­ ® level dan pulsasi vena jugularis­. (hepato-jugular reflux test).
VII.Precordial palpation.
Kardiomegali akibat CHF ® Impuls apeks kordis berpindah kekiri bawah (pda LVF). Bila ada PH dan RVF ® impuls teraba pada daerah substernal, parasternal kiri atau subxyphoid.
VIII. Heart sounds.
Tidak ada tirotoksikosis, MS, atau pemendekan interval PR (pada EKG) ® S1 melemah (kontraksi ventrikel melemah). Bila ada PH ® S2(P2) mengeras. Bila ada paradoxical splitting S2 ® waktu ejeksi LV memanjang (pada hipertensi yang dihubungkan dengan LVF. Terdengar gallop S3 (ventrikel) dan S4 (atrial) yang kadang-kadang teraba pada palpasi apeks kordis.
IX. Murmurs.
Murmur (bising jantung) yang terdengar sesuai dengan kelainan anatomis yang ada. Bising jantung bisa bersifat organis ataupun fisiologis.
X. Hepatosplenomegaly.
Jika pada gagal jantung kanan (RVF) ® bendungan vena sistemik® hepatomegali dan kadang-kadang dgn splenomegali. Bila ada Insufisiensi trikuspidalis ® teraba pulsasi pada hepar. CHF kronis ® terjadi deposisi progressif jaringan ikat dihepar ® sirosis hepatis (sirosis kardiak) ® ikterus.
XI. Ascites.
Terjadi sekunder akibat hipertensi portal (tekanan vena sistemik meningkat bila ada gagal jantung kanan/RVF).
XII. Peripheral oedema.
Secara primer merupakan tanda dari RVF, tapi bisa juga dijumpai pada gagal jantung kiri/ LVF.
Curiga gagal jantung
Nilai gejala dan tanda5. pemeriksaan penunjang
Penyskit jantung?
EKG/BNP/foto roentgen?

normal
Pertimbangkan diagnosa lain

Evaluasi fungsi jantung dengan EKG atau pencitraan lain
normal


Gagal jantung dengan ekokardiografi
Seleksi tes (angio, monitoring hemodinamik unit, PAC)

Cari tipe dan beratnya






6. Penatalaksanaan
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
ACEI merupakan“first line therapy”.
Efek klinisnya :
- Menghambat “angiotensin-converting enzyme”  meningkatkan
CO (stroke work dan cardiac index), tanpa meningkatkan HR.
Pemberiannya dimulai dengan dosis rendah kemudian dititrasi.

Contra indications/precautions:
- pregnancy
- angioneurotic oedema
- hypotension
- renal vascular disease
- hyperkalemia
Drug Initiating dose Maintenance
• Benazepril 2,5 mg 5-10 mg b.I.d.
• Captopril 6.25 mg t.I.d. 25-50 mg t.I.d.
• Enalapril 2.5 mg daily 10 mg b.I.d.
• Lisinopril 2.5 mg daily 5-20 mg daily
• Quinapril 2.5-5 mg daily 5-10 mg daily
• Perindopril 2 mg daily 4 mg daily
• Ramipril 1.25-2.5 mg daily 2.5-5 mg b.I.d.
• Cilazapril 0.5 mg daily 1-2.5 mg daily
• Fosinopril 10 mg daily 20 mg daily
• Trandolapril 1 mg daily 4 mg daily

Diuretics
menanggulangi kelebihan cairan, bendungan paru atau edema perifer.
Diuretika sebaiknya dikombinasi dengan ACEI bila memungkinkan.
Pemberian diuretika:
- dimulai dengan loop-diuretics (furosemide) atau HCT.
- Bila GFR < 30 ml jangan beri HCT.
Bila tidak memberi respons yang cukup :
- increase dose of diuretic
- combine furosemide and HCT.
Potassium-sparing diuretics: triamterene, amiloride, spironolactone :
- Digunakan hanya bila hipokalemia menetap setelah pemberian
ACEI dan diuretika.
- Mulai dengan dosis rendah selama satu minggu, periksa creatinine dan K
setelah 5-7 hari dan dosis kemudian dititrasi.
Beta-adrenoceptor antagonists
menghambat pengaruh yang jelek dari aktivasi kronis sistim neurohormonal pada miokard ( dalam hal ini SSS). Beta-blockers dianjurkan pada penderita CHF :
- baik yang ringan, sedang maupun yang berat,
- kausa kardiomiopati iskemik maupun non-iskemik,
- fraksi ejeksi LV ;
- NYHA class II-IV.
Hanya diberikan pada penderita yang telah stabil dengan terapi standard (diuretika dan ACEI), ---- kecuali bila ada indikasi kontra. Dimulai dengan dosis yang paling kecil, lalu dititrasi. Saat ini ada 3 jenis obat : Carvedilol (antagonis beta-1, beta-2, dan alfa-1), bisoprolol (antagonis selektif beta-1) dan metoprolol (antagonis- selektif beta-1).
Angiotensin II receptor antagonists (AIIRA)
AIIRA = Angiotensin II receptor blockers (ARB) diberikan pada penderita yang tak dapat mentoleransi ACEI sebagai terapi simptomatik. Tidak jelas apakah ARB sama efektif dengan ACEI dalam hal penurunan mortalitas. Kombinasi dengan ACEI:
- memberi perbaikan bermakna terhadap gejala-gejala CHF,
- mengurangi kekerapan hospitalisasi (akibat perburukan gejala).
Efek batuk lebih kurang dibanding dengan ACEI. Monitoring terhadap fungsi ginjal juga penting seperti halnya dgn ACEI.
Cardiac glycosides
diindikasikan pada atrial fibrillation dengan gejala symptomatic HF, dengan atau tanpa LV dysfunction in order to slow ventricular rate, thereby improving ventricular function and symptoms. kombination digoxin dengan beta-blocker lebih baik dibandingkan dengan pemberian tunggal. Cardiac glycoside yang lain adalah digitoxin yang efek farmakodinamiknya sama dengan digoxin, namun efek farmakokinetiknya berbeda.
Contraindication cardiac glycosides : bradycardia, hypokalemia, and hypercalcemia. Dosis harian DIGOXIN (oral) : 0,25 – 0,375 mg bila serum creatinine dalam batas normal (pada orang tua, dosis lebih rendah  0,0625- 0,125 mg, kadang-kadang 0,25 mg). Tidak perlu “loading dose” bila diberikan pada penderita CHF kronis à dapat dimulai dengan 0,25 mg dua kali sehari selama 2 hari. Sebelum terapi, fungsi renal dan kadar K darah harus selalu diperiksa. Pada renal failure dosis digoxin harus dikurangi.
Vasodilator agents
Vasodilators are classified according to site of their action :
= Predominant arterial dilators : hydralazine, phentolamine, prazosin.
= Mixeed arterial and venous dilators : Na nitroprusside, ACEI.
= Predominant venodilators : nitrates.
Tidak ada peranan spesifik dari vasodilator (khususnya hydralazine,isosorbide dinitrate) pada pengelolaan terapi tambahan bila ada angina pectoris atau hipertensi.
Pada kasus-kasus dengan intoleransi ACEI, ARB merupakan pilihan yang dikombinasi dengan hidralazine-nitrate. Hidralazine-nitrat umumnya diberikan pada penderita NYHA II-IV.Contraindications/precautions adalah hypotension,
Dosis : - Hidralazin : 25 mg (2X sehari) sampai 50 mg (3 kali sehari) plus Isosorbid dinitrat (ISDN) slow release 2x20 mg -3x60 mg.
Alternatif : ISDN 3x 10-20 mg.; Isosorbid mononitrat 10-20 mg (sekali sehari); Nitrogliserine patch 5-10 mg/12 –24 jam.
Anticoagulants/Antithrombotic
Pada CHF berat (NYHA IV), ada kecenderungan peningkatan terjadinya tromboemboli yang berasal dari trombus mural LV. Juga insiden timbulnya trombosis vena dan emboli paru
INDIKASI ANTIKOAGULAN :
Moderate-severe CHF (NYHA III-IV) in Atrial fibrillation (AF). Severe CHF (NYHA IV). CHF with valve disease in AF.

INDIKASI KONTRA :
Keadaan yang cenderung terjadi perdarahan gastrointestinal (ulkus peptik). hipertensi, endokarditis. Kehamilan (trimester I dan III).
JENIS OBAT :
Warfarin, Acenocoumarin, Low molecular weight heparin (LMWH).
Antiarrhythmic drugs
Secara umum, tidak ada indikasi pemberian obat anti-aritmik pada CHF. Indikasinya bersifat individual (bila ada AF, SVT atau takhikardia ventrikel yang menetap). Jenis obat : Sulfas chinidine, beta-blocker, amiodarone.
Contraindication amidaron : Bradycardia, Iodine sensitivity, porphyria, pregnancy, breast-feeding, Pre-existing interstitial lung disease/ severe liver disease, pre-existing thyroid dysfunction (relative)
Dosis amiodarone: oral--- 200 mg (3xsehari), dosis pemeliharaan : 200 mg/hari.
















DAFTAR PUSTAKA

. Dahlan, zul. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai pemerbit FKUI
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi edisi 6. Jakarta : EGC
hhtp:/medicastore.com/med/subkategori_pyk.Php?idktg
marry, richard, pamela C. 2006. farmakologi ulasan bergambar. new bruncwick, New jersey: coolege of pharmacy Rutgers univercsity
http://www.ashanet.org/seattle/events/tsunamirelief/resources/reliefworkers-bahasa-indonesian.pdf


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Micobacterium tuberculosis (TB) telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia, menurut WHO sekitar 8 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta orang per tahun (WHO, 1993). Di negara berkembang kematian ini merupakan 25% dari kematian penyakit yang sebenarnya dapat diadakan pencegahan. Diperkirakan 95% penderita TB berada di negara-negara berkembang Dengan munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia jumlah penderita TB akan meningkat. Kematian wanita karena TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan serta nifas (WHO). WHO mencanangkan keadaan darurat global untuk penyakit TB pada tahun 1993 karena diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB.
Di Indonesia TB kembali muncul sebagai penyebab kematian utama setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan. Penyakit TB paru, masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada semua golongan usia dan nomor I dari golongan infeksi. Antara tahun 1979 ? 1982 telah dilakukan survey prevalensi di 15 propinsi dengan hasil 200-400 penderita tiap 100.000 penduduk.
Diperkirakan setiap tahun 450.000 kasus baru TB dimana sekitar 1/3 penderita terdapat disekitar puskesmas, 1/3 ditemukan di pelayanan rumah sakit/klinik pemerintahd an swasta, praktek swasta dan sisanya belum terjangku unit pelayanan kesehatan. Sedangkan kematian karena TB diperkirakan 175.000 per tahun.
Penyakit TB menyerang sebagian besar kelompok usia kerja produktif, penderita TB kebanyakan dari kelompok sosio ekonomi rendah. Dari 1995-1998, cakupan penderita TB Paru dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy) -atau pengawasan langsung menelan obat jangka pendek/setiap hari- baru mencapai 36% dengan angka kesembuhan 87%. Sebelum strategi DOTS (1969-1994) cakupannya sebesar 56% dengan angka kesembuhan yang dapat dicapai hanya 40-60%. Karena pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak cukup dimasa lalu kemungkinan telah timbul kekebalan kuman TB terhadap OAT (obat anti tuberkulosis) secara meluas atau multi drug resistance (MDR).
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Tuberkulosis (TB) adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, khas ditandai dengan terjadinya pembentukan granuloma dan nekrosis. Infeksi ini paling sering mengenai paru, akan tetapi dapat juga meluas mengenai organ-organ tertentu.

B. ETIOLOGI
Penyakit TBC disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa, Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Jenis bakteri ini pertama kali ditemukan oleh seseorang yang bernama Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, Untuk mengenang jasa beliau maka bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan penyakit TBCpada paru-paru pun dikenal juga sebagai Koch Pulmonum (KP).
C. CARA PENULARAN
Cara penularan TB paru dapat terjadi secara langsung melalui percikan dahak yang mengandung kuman TB, terisap oleh orang sehat melalui jalan napas dan kemudian berkembang biak di paru. Dapat juga terjadi secara tidak langsung bila dahak yang dibatukkan penderita ke lantai atau tanah kemudian mengering dan menyatu dengan debu, lalu beterbangan di udara; bila terisap orang sehat akan dapat menjadi sakit. Berdasarkan cara-cara penularan ini, TB paru juga dimasukkan dalam golongan airbone disease.
Penularan penyakit TBC adalah melalui udara yang tercemar oleh Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan/dikeluarkan oleh si penderita TBC saat batuk dalam bentuk Droplet (percikan Dahak) yang mengandung kuman yang dapat bertahan diudara pada suhu kamar selama beberapa jam. Bakteri ini masuk kedalam paru-paru dan berkumpul hingga berkembang menjadi banyak terutama pada orang yang memiliki daya tahan tubuh rendah tetapi pada seseorang dengan kondisi daya tahan tubuh (Imun) yang baik, bentuk tuberkel ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Bakteri ini dapat mengalami penyebaran melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening sehingga menyebabkan terinfeksinya organ tubuh yang lain seperti otak, ginjal, saluran cerna, tulang, kelenjar getah bening dan lainnya meski yang paling banyak adalah organ paru.
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Masuknya Mikobakterium tuberkulosa ke dalam organ paru menyebabkan infeksi pada paru-paru dapat melalui hirupan udara droplet, dari makanan atau susu yang terkontaminasi kuman tuberkulosis sehingga dapat terjadi infeksi primer pada usus, atau terkadang pada amandel. Melalui kulit yang terdapat luka atau goresan, sehingga TB dapat masuk dan menyebabkan infeksi yang serupa dengan yang ditemkan pada paru dengan lokasi yang paling terpajan seperti wajah, tungkau, atau kaki, lebih jarang pada lengan atau tangan, dimana segeralah terjadi pertumbuhan koloni bakteri yang berbentuk bulat (globular). Dengan reaksi imunologis, sel-sel pada dinding paru berusaha menghambat bakteri TBC ini melalui mekanisme alamianya membentuk jaringan parut. Akibatnya bakteri TBC tersebut akan berdiam/istirahat (dormant) seperti yang tampak sebagai tuberkel pada pemeriksaan X-ray atau photo rontgen.
Lain hal pada orang yang memilki sistem kekebelan tubuh rendah atau kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Sehingga tuberkel yang banyak ini berkumpul membentuk sebuah ruang didalam rongga paru, Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (riak/dahak). Maka orang yang rongga parunya memproduksi sputum dan didapati mikroba tuberkulosa disebut sedang mengalami pertumbuhan tuberkel dan positif terinfeksi TBC.


D. PERKEMBANGAN ALAMIAH TB PARU
1) Tuberkulosis primer
Infeksi primer terjadi sebagian besar pada anak-anak umur di atas 5 tahun. Sumber penularan berasal dari penderita yang mengeluarkan kuman, biasanya dengan kontak erat terus menerus.
Empat minggu setelah kuman TB masuk melalui saluran napas, akan terjadi fokus primer di paru, diikuti dengan pembesaran kelenjar getah bening hilus/regional. Fokus primer yang disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening regional dikenal dengan kompleks primer.
Pada sebagian kecil anak akan menunjukkan gejala-gejala, akan tetapi kebanyakan tanpa gejala, uji tuberkulin menjadi positip. Kadang-kadang dapat terjadi pembesaran kelenjar getah bening yang hebat, sehingga menyebabkan paru kolaps disertai dengan penekanan pada bronkus dan hilus; fenomena ini disebut epituberkulosis; keadaan ini akan menimbulkan reaksi hipersensitif dari parenkim paru sehingga dapat terjadi kavitas atau efusi pleura.
Penyebaran infeksi TB dapat melalui : Percabangan bronkus, menyebar ke paru yang lain, taring, dan juga dapat ke saluran cerna; Sistem limfe, menyebabkan limfadenopati regional atau secara tak langsung melalui duktus limfatikus masuk ke dalam darah, menimbulkan penyebaran miller; Aliran darah, pembuluh balik pulmoner dapat membawa bahan-bahan yang infektif, menyebar jauh terutama ke tulang, ginjal, kelenjar adrenal, otak dan selaput otak.
2) Infeksi post primer
Infeksi post primer diartikan terjadinya TB paru setelah beberapa saat mendapatkan infeksi primer dan telah timbul reaksi hipersensitivitas. Dalam hal ini termasuk kasus-kasus reinfeksi atau reaktivasi dari infeksi yang terjadi beberapa tahun kemudian.
Reaktivasi cenderung terjadi pada usia produktif, biasanya berkisar di antara 15 – 40 tahun. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya reaktivasi ini adalah gangguan pada sistem imunologik tubuh. Tuberkulosis post primer biasanya paling sering terletak pada segmen apikal lobus atas maupun lobus bawah.

E. PATOFISIOLOGI
Tuberkulosis primer terjadi pada individu yang terpapar pertama kali dengan kuman tuberkulosis, sedangkan tuberkulosis paru kronik (reaktivasi atau pasca primer) adalah hasil reaktivasi infeksi tuberkulosis pada suatu fokus dorman yang terjadi beberapa tahun lalu. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap reaktivasi belum dipahami secara keseluruhan.
Organ tubuh yang paling banyak diserang tuberkulosis adalah paru. Beberapa penelitian menunjukkan adanya kenaikan limfosit alveolar, netrofil pada sel bronkoalveolar dan HLA-DR pada pasien tuberkulosis paru.
Patogenesis tuberkulosis dimulai dari masuknya kuman sampai timbulnya berbagai gejala klinis yang digambarkan sebagai berikut:

Bakteri yang terhirup
Bakteri mencapai paru, masuk ke makrofag
Bakteri berkembang dalam makrofag
Mulai terbentuk lesi (causa necrosis)
Bakteri berhenti tumbuh, lesi mengeras
Lesi mencair
Bakteri keluar lewat sputum
Reaktivasi
Menyebar ke darah, organ lain
Kematian
Imunitas menurun
Aktivasi makrofag










M. tuberculosis yang terhirup dan masuk ke paru akan ditelan oleh makrofag alveolar, selanjutnya makrofag akan melakukan 3 fungsi penting, yaitu; 1) menghasilkan ensim proteolitik dan metabolit lain yang mempunyai efek mikobakterisidal; 2) menghasilkan mediator terlarut (sitokin) sebagai respon terhadap M. tuberculosis berupa IL-1, IL-6, TNF (Tumor Necrosis Factor alfa), TGF (Transforming Growth Factor beta) dan 3) memproses dan mempresentasikan antigen mikobakteri pada limfosit T.
Sitokin yang dihasilkan makrofag mempunyai potensi untuk menekan efek imunoregulator dan menyebabkan manifestasi klinis terhadap tuberkulosis. IL-1 merupakan pirogen endogen menyebabkan demam sebagai karakteristik tuberkulosis. IL-6 akan meningkatkan produksi imunoglobulin oleh sel B yang teraktivasi, menyebabkan hiperglobulinemia yang banyak dijumpai pada pasien tuberkulosis. TGF
berfungsi sama dengan IFN untuk meningkatkan produksi metabolit nitrit oksida dan membunuh bakteri serta diperlukan untuk pembentukan granuloma untuk mengatasi infeksi mikobakteri. Selain itu TNF dapat menyebabkan efek patogenesis seperti demam, menurunnya berat badan dan nekrosis jaringan yang merupakan ciri khas tuberkulsois. Pada pasien tuberkulosis TNF juga berperan untuk meningkatkan kerentanan sel T melakukan apoptosis baik secara spontan maupun oleh stimulasi M. tuberculosis secara in vitro. IL-10 menghambat produksi sitokin oleh monosit dan limfosit sedangkan TGF menekan proliferasi sel T dan menghambat fungsi efektor makrofag.
Satu kali batuk dapat menghasilkan 3000 droplet infektan. Beberapanya sampai 10 kuman mycobacterial basil memulai menginfeksi paru-paru (Sherris, 1990). Infektan TB merupakan infeksi laten atau active disease. Bergantung pada populasi, 10-30% infektan individual berkembang langsung untuk menjadi penyakit primer. Perkembangannya, bagaimanapun, infektan TB menghasilkan infeksi laten asimtomatik. Perubahan Skin test dan identifikasi dari Ghon complex pada radiologi dada merupakan rata-rata kasus sebagai indentifikasi.
Pasien seringkali meraskan sehat untuk beberapa tahun, bagaimanapun, yang menunjukkan aktivasi pada penyakit ini terjadi karena stresor imunologik. Seperti yang sering terjadinya reaktivasi sekitar 1% per tahun pada immunocompetent hosts. Terjadi perubahan sekitar 10% pada pasien dengan pengaruh imunologik. Sementara asimtomatik, pasien dengan infeksi laten tidak menularkan. Yang memenuhi syarat seperti INH propilaxis, dengan menurunkan yang signifikan dengan resiko penyakit reaktivasi dikemudian.
Pengobatan ditandai dengan berkurangnya infeksi. Dosis pertama medikamentosa mengurangi produksi basilari sekitar 10 kali lipat. Terapi untuk dua minggu mengurangi produksi basilari sekitar 100 kali lipat. Pasien memerlukan ketiga pemeriksaan sputum negatif untuk dianggak tidak menularkan, dimana diharuskan pengobatan selama empat minggu.

F. GEJALA KLINIS
Gejala penyakit TBC digolongkan menjadi dua bagian, yaitu gejala umum dan gejala khusus. Sulitnya mendeteksi dan menegakkan diagnosa TBC adalah disebabkan gambaran secara klinis dari si penderita yang tidak khas, terutama pada kasus-kasus baru.
1. Gejala umum (Sistemik)
- Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
- Penurunan nafsu makan dan berat badan.
- Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
- Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
2. Gejala khusus (Khas)
- Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.
- Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.
- Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
- Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
Pada penderita usia anak-anak apabila tidak menimbulkan gejala, Maka TBC dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Sekitar 30-50% anak-anak yang terjadi kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah. Gambaran klinis pada anak yang biasanya akan ditemukan :
1. Berat badan tidak naik atau turun selama lebih dari 4 minggu (adanya grafis kenaikan berat badan akan sangat berguna)
2. Kehilangan gairah dan mungkin juga berat badan turun selama 2-3 bulan
3. Selain salah satu dari 1 dan 2 yang dijelaskan diatas disertai dengan mengi atau batuk yang sesekali dapat menyerupai batuk rejan.
4. Demam atau meriang selama lebih dari satu minggu tanpa penyebab yang jelas.
5. Salah satu dari 1,2,3 disertai tanda-tanda cairan, pekak pada salah satu sisi dada.
6. Perut membuncit, terutama bila teraba benjolan dan yang tetap bertahan setelah diberi obat cacing atau obat.
7. Diare kronis dengan buang air besar tinja keputihan yang tidak sembuh setelah diberi obat cacing atau obat untuk giardiasis (dengan metrodinazole)
8. Jalan tinpang, punggung kaku sukar membungkuk
9. Tulang belakang membungkuk, tidak atau kaku saat berjalan
10. Pembengkakan lutut atau pergelangan kaki, tangan, siku atau bahu, iga atau tulang atau sendi yang manapun yang tidak disebabkan cedera.
11. Pembengkakan kelenjar getah bening yang keras atau lembut, tidak nyeri, terkadang dengan beberapa kelenjar getah bening kecil didekatnya dan terkadang melekat tak teratur.
12. Abses kele


G. DIAGNOSIS
Penegakan Diagnosis pada TBC, Apabila seseorang dicurigai menderita atau tertular penyakit TBC, Maka ada beberapa hal pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk memeberikan diagnosa yang tepat antara lain :
- Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.
- Pemeriksaan fisik secara langsung.
- Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
- Pemeriksaan patologi anatomi (PA).
- Rontgen dada (thorax photo).
- dan Uji tuberkulin.
Diagnosis TB berdasarkan letak dari infeksinya yaitu TB paru dan TB ekstra paru.
Diagnosis TB paru:
- Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
- Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
- Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
- Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
- Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.

Diagnosis TB ekstra paru :
- Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
- Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.

H. PENATALAKSANAAN
Pengobatan bagi penderita penyakit TBC akan menjalani proses yang cukup lama, yaitu berkisar dari 6 bulan sampai 9 bulan atau bahkan bisa lebih. Penyakit TBC dapat disembuhkan secara total apabila penderita secara rutin mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan dokter dan memperbaiki daya tahan tubuhnya dengan gizi yang cukup baik.
Selama proses pengobatan, untuk mengetahui perkembangannya yang lebih baik maka disarankan pada penderita untuk menjalani pemeriksaan baik darah, sputum, urine dan X-ray atau rontgen setiap 3 bulannya. Adapun obat-obtan yang umumnya diberikan adalah Isoniazid dan rifampin sebagai pengobatan dasar bagi penderita TBC, namun karena adanya kemungkinan resistensi dengan kedua obat tersebut maka dokter akan memutuskan memberikan tambahan obat seperti pyrazinamide dan streptomycin sulfate atau ethambutol HCL sebagai satu kesatuan yang dikenal 'Triple Drug'.
Pengobatan pada penderita TB akan dijelaskan Non-Farmakologi dan Farmakologi, sebagai berikut.
Non-Farmakologi
- X-Ray Dada : uji diagnostik yang sering digunakan untuk memastikan kecurigaan infeksi.
o Pada TB Primer akan menunjukan abnormalitas pada lapangan paru bagian tengah dan bawah, dan mungkin ditemukan pembesaran kelenjar limfe.
o Reaktivasi kuman TB menunjukan infiltrat pada lapangan paru bagian atas.
o Tuberkulosis Miliar menunjukan diffuse nodules
- Test Kulit Mantoux : tes ini dapat membantu mengidentifikasi seseorang yang terinfeksi M tuberkulosis tetapi tidak mempunya tanda gejala.
o
- Mantoux skin test: This test helps identify people infected with M tuberculosis but who have no symptoms. A doctor must read the test.
o The doctor will inject 5 units of purified protein derivative (PPD) into your skin. If a raised bump of more than 5 mm (0.2 in) appears at the site 48 hours later, the test may be positive.
o This test can often indicate disease when there is none (false positive). Also, it can show no disease when you may in fact have TB (false negative).
- Sputum testing: Sputum testing for acid-fast bacilli is the only test that confirms a TB diagnosis. If sputum (the mucus you cough up) is available, or can be induced, a lab test may give a positive result in up to 30% of people with active disease.
o Sputum or other bodily secretions such as from your stomach or lung fluid can be cultured for growth of mycobacteria to confirm the diagnosis.
o It may take 1-3 weeks to detect growth, but 8-12 weeks to be certain.

Farmakologi
Pengobatan dengan OAT seperti sedikit dijelaskan diatas.


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Penyakit Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis), sebagian besar kuman TB menyerang Paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Gejala penyakit TBC digolongkan menjadi dua bagian, yaitu gejala umum dan gejala khusus. Gejala umum (Sistemik) : Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul; Penurunan nafsu makan dan berat badan; Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah); Perasaan tidak enak (malaise), lemah. Gejala khusus (Khas) : Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak; Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada; Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah; Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang. Penegakan Diagnosis pada TBC, ada beberapa hal pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk memeberikan diagnosa yang tepat antara lain : Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya; Pemeriksaan fisik secara langsung; Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak); Pemeriksaan patologi anatomi (PA); Rontgen dada (thorax photo); dan Uji tuberkulin. Pengobatan TBC berkisar dari 6 bulan sampai 9 bulan atau bahkan bisa lebih. Penyakit TBC dapat disembuhkan secara total apabila penderita secara rutin mengkonsumsi obat-obatan OAT yang diberikan dokter dan memperbaiki daya tahan tubuhnya dengan gizi yang cukup baik.
DAFTAR PUSTAKA

• Sjaifullah Noer, Prof. Dr. H. M. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Ed.ketiga. Balai Penerbit FKUI : Jakarta. 2003
• Jhon Crofton, Norman Horne, Fred Miller, Ahli Bahasa Muherman Harun et al. Tuberkulosis Klinis Ed.2 Cetakan I. Widya Medika : Jakarta. 2002
• Available from Cermin dunia kedokteran with tuberculosis III, II, 2008.Available from Penanggulangan Tuberkulosis