tag:blogger.com,1999:blog-3657146402214550872024-02-20T13:57:20.209-08:00ibnunie's Blogibnu zamsa firmanullahhttp://www.blogger.com/profile/04444679012279299665noreply@blogger.comBlogger10125tag:blogger.com,1999:blog-365714640221455087.post-16825912118441485452009-05-21T11:00:00.001-07:002009-05-21T11:05:45.452-07:00Diare & Malnutrisi Energi Protein (MEP).BAB I<br />PENDAHULUAN<br /><br /><br /><br /> Diare hingga kini masih merupakan salah satu penyakit utama pada bayi dan anak yang merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian di Negara berkembang. Diperkirakan episode diare di Indonesia masih berkisar sekitar 60 juta dengan kematiannya sebanyak 200.000 – 250.000. Sekitar 80% kematian yang berhubungan dengan diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Penyebab utama kematian karena diare adalah dehidrasi sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit melalui tinjanya. Di Negara berkembang prevalensi yang tinggi dari penyakit diare merupakan kombinasi dari sumber air yang tercemar, kurang kalori protein yang menyebabkan turunnya daya tahan badan.<br /> Hasil survey SKRT ( Survei Kesehatan Rumah tangga ) tahun 1986 angka kematian karena diare merupakan 12% di antara seluruh angka kematian kasar yang besarnya 7 / 1000 penduduk. Angka ini merupakan angka tertinggi di antara semua penyebab kematian.<br /> Dari hasil morbiditas oleh DepKes di 8 propinsi pada tahun 1989, 1990 dan 1995 berturut – turut morbiditas diare menunjukan 78,5%, 103% dan 100%, apalagi dengan terjadinya krisis ekonomi, angka kejadian diare menunjukkan kenaikan. Bahkan gangguan kesehatan maupun penyakit yang terkait dengan diare seperti gangguan gizi dan ISPA juga menunjukkan kenaikan yang nyata.<br /> Diare merupakan penyebab penting kekurangan gizi . Hal ini disebabkan karena adanya anoreksia pada penderita diare sehingga ia makan lebih sedikit daripada biasanya dan kemampuan menyerap sari makanan juga berkurang padahal kebutuhan sari makanan meningkat akibat adanya infeksi. Setiap episode diare menyebabkan kekurangan gizi , sehingga bila berkepanjangan akan berdampak terhadap pertumbuhan. Namun pada saat ini sudah tersedia cara pengobatan yang mudah dan efektif yang dapat menurunkan secara bermakna jumlah kematian karena diare sehingga penderita tidak perlu dirawat di RS serta mencegah efek buruk diare pada status gizi anak.<br /><br /><br /><br />BAB II<br />I S I<br /><br />BATASAN<br /> Diare akut diberi batasan sebagai meningkatnya kekerapan , bertambahnya cairan atau bertambah banyaknnya tinja yang dikeluarkan dan tidak lebih dari 1 minggu. Apabila diare berlansung antara 1 sampai 2 minggu maka dikatakan sebagai diare yang berkepanjangan.<br /> Diare dikatakan sebagai keluar tinja berbentuk cair sebanyak 3x atau lebih dalam 24 jam pertama dengan temperature rectal > 38° C, kolik dan muntah. Menurut Cohen MB ( 1996 ) diare akut didefinisikan sebagai keluarnya BAB sekali atau lebih yang berbentuk cair dalam 1 hari dan berlangsung < 14 hari. Shahid NS mengemukakan bahwa diare sebagi episode keluarnya tinja cair sebanyak 3x atau lebih dari sekali keluarnya tinja cair yang berlendir atau berdarah dalam sehari<br /><br />EPIDEMIOLOGI<br /> Di Negara berkembang, diare akut maupun kronik masih tetap merupakan masalah kesehatan utama. Penelitian WHO mendapatkan bahwa episode diare pada bayi dan balita berkisar antara 2 – 8x / tahun. Sebagian besar diare berlangsung antara 2 – 5 hari, namun sekitar 3 – 20% berlangsung > 5 hari, bahkan dapat > 2 minggu dan menjadi diare kronik.<br /> Misnadiarly menyebutkan bahwa diare dapat terjadi pada anak-anak, dewasa turis atau wisatawan asing maupun domestic. Diare pada turis dan anak sekolah tentunya sangat erat kaitannya dengan pencemaran air dan makanan di restoran, kantin maupun makanan yang dijajakan di jalanan.<br /> Di Indonesia, kematian karena diare sekitar 200.000 – 250.000 setahun, 20% diantaranya disebabkan oleh diare kronik. Selain menyebabkan kesakitan dan kematian, diare akut dan kronik juga merupakan penyebab utama malnutrisi dan penghuni terbanyak rawat mondok di RS.<br /> Berbagai factor mempengaruhi kejadian diare, diantaranya karena factor lingkungan, usia, gizi, kependudukan, pendidikan, keadaan social ekonomi dan perilaku masyarakat.<br />Berdasarkan cara penyebaran kuman. Cara penularan umumnya adalah orofecal :<br />1. makanan dan minuman yang terkontaminasi enteropatogen<br />2. kontak langsung dengan penderita atau barang-barang yang tercemar tinja penderita melalui lalat ( 4F=Food, Feces, Finger, Fly )<br />Berdasarkan faktor resiko. Faktor resiko yang menaikkan transmisi enteropatogen adalah:<br />1. tidak tersedia air bersih<br />2. tercemarnya air oleh tinja <br />3. kurangnya sarana MCK<br />4. higiene perorangan dan lingkungan yang buruk<br />5. penyimpanan makanan yang tidak gigienis<br />6. cara penyapihan bayi yang tidak baik<br />Berdasarkan faktor pejamu. Beberapa faktor resiko pada pejamu yang menaikkan kerentanan terhadap enteropatogen antara lain : malnutrisi, BBLR, imunodefisiensi atau imunodepresi serta faktor genetik.<br />Berdasarkan umur. Kebanyakan episode diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Insiden paling tinggi pada golongan umur 6 – 11 bulan, pada masa diberikan makanan pendamping.<br />Berdasarkan pengaruh iklim. Di Indonesia, diare yang disebabkan oleh Rotavirus dapat terjadi sepanjang tahun, frekuensinya menaik pada musim kemarau ( Juli – Agustus ), sedangkan puncak diare karena bakteri ada pada musim hujan ( Januari – Februari )<br />Berdasarkan epidemi dan pandemi. Vibro cholerae 0,1 dan Shigella dysentriae tipe 1 merupakan 2 jenis enteropatogen yang dapat menyebabkan epidemi dan pandemi.<br /><br /><br />ETIOLOGI<br />Etiologi diare dapat dibagi dalam beberapa factor, yaitu :<br />1. Faktor infeksi <br />a) Infeksi enteral = infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama diare pada anak, meliputi :<br />- Infeksi bakteri : Aeromonas hidrophilia, Bacillus cereus, Campylobacter jejuni, Clostridium Sp, E-coli, Salmonella spp, Shigella spp, Staphylococcus aureus, Vibria cholera, Yersinia enterocolitica, dsb.<br />- Infeksi virus : Adenovirus, Rotavirus, Virus Norwalk, Astrovirus, Calicivirus, Coronavirus, Enterovirus ( virus ECHO, Coxsackie, Poliomyelities ), dll.<br />- Infeksi parasit : Cacing ( Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis ), Protozoa ( Entamoeba histolytica, Giardia Lamblia, Trichomonas hominis ), Jamur ( Candida albicans ), dll.<br />b) Infeksi parenteral = infeksi di bagian tubuh lain di luar alat pencernaan seperti OMA, tonsilofaringitis, bronkopneumonia, ensefalitis, dsb.<br />2. Faktor malabsorpsi<br />a. Malabsorpsi karbohidrat : yang terpenting dan tersering untuk intoleransi laktosa<br />b. Malabsorpsi lemak<br />c. Malabsorpsi protein<br />3. Faktor makanan : makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan <br />4. Faktor psikologis : rasa takut dan cemas.<br /><br /><br />PATOFISIOLOGI<br />Berdasarkan patofisiologinya maka penyebab diare dibagi menjadi :<br />1. Diare sekretorik, yang dapat disebabkan oleh infeksi virus, kuman pathogen dan a pathogen,hiperperistaltik usus, gangguan psikis, hawa dingin, alergi dan imunodefisiensi SIgA. <br />Mekanisme : sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus meningkat akibat rangsangan oleh toksin pada mikosa usus atau dinding usus.<br />2. Diare osmotic, yang dapat disebabkan oleh malabsorpsi makanan, kekurangan kalori protein ( KKP ) atau bagi BBLR dan bayi baru lahir.<br />Mekanisme : makanan atau zat yang tidak dapat diserap menyebabkan tekanan osmotic dalam rongga usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus yang merangsang usus untuk mengeluarkannya . Jika berupa larutan isotonic, air dan bahan yang larut di dalamnya akan lewat tanpa diabsorpsi.<br /><br /><br />Mekanisme Patogenesis berdasarkan penyebab<br />Virus<br />Virus terbanyak penyebab diare adalah rotavirus ( 30-40% ). Virus masuk ke dalam traktus digestivus bersama makanan dan minuman kemudian berkembang biak dalam usus. Lalu virus masuk dalam epitel vili usus halus dan menyebabkan kerusakan apical vili usus halus dan pemendekan vili . Sel epitel usus halus bagian apical akan diganti oleh sel dari bagian kripta yang belum matang yang berbentuk kuboid atau gepeng, sehingga tidak dapat berfungsi untuk menyerap air dan makanan dengan baik. Akibatnya terjadi diare osmotic karena usus mensekresi air dan elektrolit. Biasanya diare karena virus tidak berlangsung lama dan dapat sembuh tanpa pengobatan . Penyembuhan terjadi bila vili mengalami regenerasi dan epitel vilinya menjadi matang.<br /><br />Bakteri<br />Bakteri penyebab diare dibagi menjadi bakteri non infasif ( Vibrio cholerae, E-coli pathogen ) dan bakteri infasif ( Salmonella spp, Shigella spp, EIEC,EHEC, Campylobacter spp ).<br />Bakteri masuk kedalam traktus digestivus, kemudian berkembang biak dan mengeluarkan toksin yang merangsang epitel usus sehingga terjadi peningkatan aktifitas enzim adenil siklase ( Labile toxin = LT ) atau enzim guanil siklasel ( Stable toxin = ST ). Akibatnya terjadi peningkatan AMP atau GMP yang merangsang sekresi Cl, Na dan H20 dari dalam sel ke lumen usus serta menghambat absorpsi Na, Cl dan H20 dari lumen usus ke dalam sel , sehingga terjadi hiperistaltik akibat hiperosmoler.<br />Protozoa<br />Giandia lamblia dan chryptosporidium menempel pada epitel usus halus dan menyebabkan pemendekan vili.<br />Entamoeba histolitica menginvasi epitel mukosa di kolon atau ileum yang menyebabkan mikroabses dan ulkus.<br /><br />JENIS – JENIS DIARE<br /> DIARE AKUT<br />Definisi = diare yang terjadi secara mendadak dan berlangsung kurang dari 7 hari pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat dengan frekuensi 3x / lebih per hari disertai perubahan tinja menjadi cair, dengan atau tanpa lendir dan darah. Penyebab terpenting diare cair akut di Negara berkembang adalah : rotavirus, ETEC ( Enterotoxigenic E-coli ), Shigella, Campylobacter jejuni dan Cryptosporidium. Di beberapa tempat Vibrio cholerae 01, Salmonella dan EPEC ( enteropatogenik E-coli ) juga merupakan penyebab penting.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Akibat-akibat diare cair akut <br />- Dehidrasi isotonic : - kehilangan air & Na dalam proporsi sama dengan <br /> keadaan normal dalam cairan ekstraseluler<br /> - konsentrasi Na serum normal (130-150 mmol/L)<br /> - osmolaritas serum normal (275-295 mOsmol/L)<br /> - hypovolemia<br /> - gambaran klinik : extremitas dingin & berkeringat<br /> kesadaran menurun, shock hipovolemik<br />- Dehidrasi hipertonik: - kekurangan air & Na tetapi proporsi <br />( hipernatremik ) kekurangan air lebih banyak<br /> - konsentrasi Na serum meningkat (>150 m<br /> Osmol/L)<br /> - osmolaritas serum meningkat (>295 m<br /> Osmol/L)<br /> - gambaran klinik: anak sangat irritable<br />- Dehidrasi hipotonik: - kekurangan Na secara relatif lebih banyak<br /> - konsentrasi Na serum rendah (<130 mmol/L)<br /> - osmolaritas serum rendah (275 mOsmol/L)<br /> - gambaran klinik: anak letargi, kadang-kadang <br /> kejang.<br />- Asidosis metabolic: - konsentrasi bikarbonat serum berkurang <br /> ( <10 mmol/L )<br /> - pH arteri menurun<br /> - nafas cepat & dalam ( pernafasan kussmaul )<br /> - muntah<br />- Hipokalemia : - kelemahan otot<br /> - aritmia jantung<br /> - illeus paralitik<br />- Hipoglikemi: - apatis<br /> - tremor<br /> - berkeringat dan pucat<br /> - kejang sampai koma<br />- Gangguan gizi <br />- Gangguan sirkulasi berupa shock hipovolemik.<br /><br /><br /><br /><br /><br />Penilaian derajat dehidrasi dan tata laksana diare akut<br />Derajat<br />Dehidrasi;<br />% defisit Keadaan<br />umum Rasa<br />haus Kelopak/<br />Air mata Mulut Kulit Urin Rehidrasi Penggantian<br />cairan<br />Tanpa<br />Dehidrasi<br /><5%BB Baik,<br />Kompos<br />mentis Minum<br />normal Normal Basah Normal Normal 10mg/kg/<br />setiap diare<br />2-5 ml/kg<br />setiap muntah<br />Ringan<br />Sedang<br />(5-10%BB) Rewel,<br />gelisah Minum<br />Seperti<br />kehausan Cekung,<br />Produksi<br />kurang Kering Pucat,<br />Capillary<br />Refill<2<br />detik Berkurang CRO<br />75ml/kg/<br />3 jam Idem<br />Berat<br />(>10%BB) Letargi,<br />Lemah,<br />Kesadaran menurun,<br />Nadi&nafas<br />cepat Malas minum/<br />Tidak dapat<br />minum Sangat cekung,<br />Tidak ada Sangat kering Pucat,<br />Capillary<br />Refill<2<br />detik Tidak<br />ada Cairan<br />Intra vena,<br /><12 bulan:<br />30ml/kg/1 jam<br />70ml/kg/5<br />jam<br />>12 bulan:<br />30ml/kg/½-1 jam<br />70ml/kg/2½-3 jam idem<br /><br />Pemeriksaan laboratorium<br />a. Pemeriksaan tinja <br />b. Pemeriksaan darah<br />c. Duodenal intubation<br /><br />Pengobatan<br />a. Pengobatan kausal <br />Pada penderita diare, antibiotika hanya boleh diberikan bila:<br />- Ditemukan bakteri pathogen pada pemeriksaan mikroskopik / biakan<br />- Pada pemeriksaan makroskopik ditemukan darah pada tinja<br />b. Pengobatan simtomatik<br />- Anti spasmodik atau opium ( papaverin,loperamid,dsb) memperburuk keadaan<br />- Adsorbents ( kaolin,pectin) tidak ada manfaatnya<br />- Antiemetik seperti chlorpromazine (largactil ) mencegah muntah dan mengurangi sekresi dan kehilangan cairan bersama tinja. Dosis adekuat ( 1 mg/kg BB/hari ) cukup bermanfaat<br />- Antipiretik seperti salisilat ( asetosal, aspirin ) dalam dosis rendah ( 25 mg/tahun/x ) selain menurunkan panas juga mengurangi sekresi cairan.<br />c. Pengobatan cairan<br />Ada 2 jenis cairan :<br /> Cairan rehidrasi oral ( CRO ) : oralit, larutan gula garam ( LGG ), air tajin, dll.<br /> Cairan rehidrasi parenteral ( CRP ) : cairan Ringer Laktat<br />Pada diare dengan penyakit penyerta ( KKP, jantung, ginjal ), cairan yang dianjurkan adalah Half Strength Darrow Glukose<br /><br /><br />Pencegahan<br />1. Pemberian ASI eksklusif 4-6 bulan<br />2. Sterilisasi botol susu<br />3. Air bersih & matang untuk minum<br />4. Mencuci tangan sebelum memberi makan<br />5. Membung tinja di jamban<br />6. Imunisasi campak<br />7. Pemberian makanan seimbang untuk menjaga status gizi yang baik<br /><br /><br /><br /><br /> DIARE KRONIK<br />Definisi :<br />Episod diare yang mula-mula bersifat akut namun karena sesuatu sebab melanjut 14 hari atau lebih.<br />Faktor resiko Faktor penyebab tersering<br />- umur < 18 bulan - intoleransi laktosa<br />- tidak mendapat ASI - alergi terhadap protein susu sapi<br />- lahir premature - sindrom malabsorpsi<br />- malnutrisi - bakteri tumbuh lampau<br /> - diare karena antibiotic<br /> - infeksi persisten<br />Klasifikasi<br />a. Tinja berair ( watery stools )<br />- Gastroenteropati alergi ( CMPA / CMPSE )<br />- Defisiensi disakarida dan malabsorpsi glukosa<br />- Infeksi usus oleh virus, bakteri dan parasit<br />b. Tinja berlemak ( fatty stools )<br />- MEP, BBLR<br />- Short bowel syndrome<br />c. Tinja berdarah ( bloody stools )<br />- Salmonella, Shigella, Disentri amoeba<br />- Diare sehubungan dengan lesi anal<br /><br />Manifestasi klinis<br />- Bila diare hebat dapat terlihat dehidrasi ringan sampai berat, asidosis dan gangguan elektrolit seperti lemah, kembung, muntah.<br />- Status gizi anak biasanya kurang atau buruk<br /><br />Pemeriksaan fisik<br />Perhatian khusus perlu diberikan pada keadaan umum pasien, status hidrasi,kehilangan berat badan,pemeriksaan abdomen,ekskoriasi pantat,finger cubbing,edema perifer dan manifestasi kulit.<br /><br />Pemeriksaan laboratorium<br />- Pemeriksaan tinja <br />- Pemeriksan darah<br />- Foto rontgen abdomen<br /><br />Penatalaksaan<br />- Atasi dehidrasi, kelainan asam basa & gangguan elektrolit<br />- Berikan diet sesuai dengan usia & status gizi pasien<br />- Terapi sesuai dengan penyebabnya<br /><br />Pencegahan<br />- Galakkan penggunaan ASI<br />- Terapi nutrisi yang adekuat pada tiap anak dengan diare akut untuk mencegah terjadinya gangguan gizi untuk memutus lingkaran setan diare – malnutrisi – diare.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB III<br />DIARE PADA MALNUTRISI KRONIK<br /><br /> Hubungan timbal balik antar diare dan Malnutrisi Energi Protein ( MEP ) telah lama dikenal. Disatu pihak, diare dapat menyebabkan terjadinya malnutrisi dan di lain pihak malnutrisi dapat menyebabkan diare.<br />Berikut ini akan dibahas perubahan morfologis dan fsiologis pada MEP sebagai penyebab diare.<br /><br />PENYEBAB DIARE PADA MEP<br />Patogenesis diare pada MEP adalah kompleks & saling berkaitan.<br />1. infeksi mukosa usus oleh Salmonella, Shigella, E-coli, E-histolytica dan Giardia lamblia<br />2. intoleransi laktosa dan disakarida<br />3. bakteri tumbuh lampau pada usus halus<br />4. atrofi intestinal<br />5. atrofi pankreas<br />6. malnutrisi epitel usus dan kolon<br /><br />AKHLORHIDRIA<br />Pada MEP terdapat gangguan sekresi HCL sebagai akibat atrofi mukosa lambung. Gangguan sekresi asam bersama dengan peubahan sistem imunitas dan tingginya paparan terhadap kuman pathogen menyebabkan tingginya angka kejadian infeksi usus pada MEP.<br /><br />ATROFI PANKREAS<br />Secara mikroskopis terdapat perubahan berupa atrofi sel asinar, kandungan granul zymogen berkurang.Vakuolisasi dan metaplasia epitel, dilatasi duktus pnkreatikus. Perubahan morfologis tersebut menyebabkan sekresi enzim seperti tripsin, kimotripsin, amylase dan lipase menurun sehingga terjadi mal digesti makanan.<br /><br /><br />ATROFI MUKOSA USUS HALUS<br />Pada biopsy usus, tampak atrofi vili dan menurunkan indeks mitosis. Terdapat infiltrasi limfosit dan sel plasma pada mukosa dan sub mukosa.<br /><br />INTOLERANSI LAKTOSA<br />Sebagian besar anak dengan MEP menunjukkan defisiensi lactase, namun dapat pula terjadi defisiensi sucrose dan maltase.<br />Patogenesis terjadinya defisiensi disakandase :<br />a) produksi berkurang akibat defisiensi protein<br />b) kerusakan mukosa usus halus<br /><br />ABSORPSI LEMAK<br />Malabsorpsi lemak pada MEP disebabkan oleh :<br />1) berkurangnya sekresi lipase pankreas → mengganggu proses digesti infraluminal.<br />2) infestasi Giardia lamblia mencegah absorpsi lemak<br />3) atrofi mukosa usus halus → mengurangi luas permukaan absorpsi<br />4) menurunkan kadar asam empedu terkonyugasi<br /><br />ABSORPSI PROTEIN<br />Pelepasan asam amino terganggu akibat berkurangnya aktifitas oligo peptidase pada membrane mukosa usus.<br /><br />KOLON<br />Terdapat gangguan fungsi berupa menurunnya kapasitas reabsorpsi air dan elektrolit akibat adanya atrofi mukosa kolon dengan infiltrsi sel plasma.<br /><br />MALNUTRISI LOKAL EPITEL GIT<br />Kurangnya bahan makanan dalam lumen menyebabkan malnutrisis epitel usus halus dan kolon sehingga tidak dapat melakukan absorpsi nutrient.<br /><br />BAKTERI TUMBUH LAMPAU<br />Kelainan pada mekanisme pertahanan tubuh yang terjadi pada MEP merupakan predisposisi terjadinya Contaminated Small Bowel Syndrome ( CSBS ). Menurunkan produksi asam lambung pd MEP, menyebabkan meningkatnya jumlah bakteri dan jamur dalam lambung dan duodenum.<br /><br />ASAM EMPEDU<br />Sebagian besar asam empedu yang diperlukan dalam lumen usus halus berada dalam bentuk tidak terkonjugasi yang mempunyai efek merusak epitel mukosa usus halus dan menghambat absorpsi air dan elektrolit oleh epitel kolon.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB IV<br /><br />PENILAIAN STATUS GIZI<br /><br /><br /> Penilaian gizi harus dilakukan pada setiap anak diare untuk mengindentifikasi anak yang mempunyai masalah gizi dan mendapatkan keterangan penting dalam membuat anjuran diet. Tujuannya meliputi (1) menentukan apakah pola makan yang biasa diberikan tepat untuk anak tersebut berdasarkan umurnya, (2) mendeteksi gizi buruk bila ada. Keadaan ini dapat berupa marasmus, kwashiorkor atau keduanya ( marasmik – kwashiorkor ).<br /><br /> Malnutrisi Energi Protein ( MEP , Gizi buruk )<br />A. Marasmus<br />Kebutuhan energi tidak terpenuhi pada masukan yang kurang, karena itu digunakan cadangan protein sebagai sumber energi. Penghancuran jaringan pada defisiensi kalori tidak saja membantu memenuhi kebutuhan energi tetapi juga memungkinkan sintesis glukosa dan berbagai asam amino. Masukan kalori yang kurang dapat terjadi akibat kesalahan pemberian makan, penyakit metabolic, kelainan congenital, infeksi kronik.<br />Gejala klinis :<br />• Tampak sangat kurus kering hingga tulang terbungkus kulit<br />• Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit<br />• Wajah seperti orang tua<br />• Perut dapat membuncit atau mencekung <br />• Metabolisme basal menurun sehingga akral dingin dan tampak sianosis <br />• Sering disertai penyakit kronik, diare kronik<br />B. Kwashiorkor<br />Bayi dan anak dalam masa pertumbuhan memerlukan protein lebih banyak dibandingkan orang dewasa. Pada anak bila keseimbangan nitrogen yang positif tidak terpenuhi maka setelah beberapa saat akan menderita malnutrisi protein yang berlanjut dengan kwashiorkor. Keseimbangan nitrogen yang negative disebabkan oleh diare kronik, malabsorpsi protein. Karena kekurangan protein dalam diet akan terjadi kekurangan berbagai asam amino esensial yang diperlukan untuk sintesis dan metabolisme. Makin berkurangnya asam amino dalam serum menyebabkan kurangnya produksi albumin oleh hepar yang berakibat timbulnya edema. Perlemakan hati terjadi karena transfer lemak dari hati ke depot terganggu.<br />Gejala klinis<br />• Edema, umumnya seluruh tubuh terutama pada kaki<br />• Wajah membulat dan sembab<br />• Apatis, cengeng dan rewel<br />• Pandangan mata sayu<br />• Rambut tipis, kemerahan seperti rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit<br />• Pembesaran hati<br />• Kelainan kulit tahap awal berupa kulit kering dan bersisik, tahap lanjut berupa bercak merah muda meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas ( Crazy pavement dermatosis )<br />• Sering disertai infeksi, anemia, diare<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />PENGOBATAN<br />Dalam aplikasinya penanganan MEP berat pada tahap awal adalah mengatasi kelainan akut seperti diare, bronkopneumonia atau penyakit infeksi lainnya, gangguan elektrolit dan keseimbangan asam basa. <br /> Dalam keadaan dehidrasi dan asidosis, pedoman pemberian cairan parentral adalah sebagai berikut :<br />1) Jumlah cairan adalah 200 ml/kgBB/hari untuk kwashiorkor atau marasmik-kwashiorkor, 250 ml/kgBB/hari untuk marasmus<br />2) Jenis cairan yang dipilih adalah Darrow-glukosa aa dengan kadar glukosa dinaikkan menjadi 10% bila terdapat hipoglikemia<br />3) Cara pemberian adalah sebanyak 60 ml/kgBB diberikan dalam 4 – 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam waktu 16 – 20 jam berikutnya.<br />Terapi nutrisi<br />- Makanan tinggi kalori tinggi protein ( TKTP ) dengan kandungan protein yang dianjurkan adalah 3 – 5 gr/kgBB dan jumlah kalori 150 – 200 kkal/kgBB/hari<br />- Penambahan vitamin dan mineral khususnya vit A, B komplek dan vit C, asam folat, mineral, kalium,magnesium dan besi<br />Terapi dietetik<br />1. Tahap Penyesuaian<br />BB kurang dari 7 kg<br />- jenis makanan adalah makanan bayi<br />- pada awal perawatan makanan utamanya adalah susu yang diencerkan atau susu rendah laktosa<br />- untuk tambahan kalori diberikan glukosa 2-5% dan tepung 2%<br />- secara berangsur dapat diberikan buah + biskuit, makanan lunak dan lembek<br />BB lebih dari 7 kg<br />- jenis makanan adalah makanan untuk anak berumur > 1 tahun<br />- dimulai dengan pemberian kalori 50 kkal/kgBB, protein 1 gr/kgBB, cairan 200 ml/kgBB/hari<br />- bentuk makanan yang diberikan dimulai dengan makanan cair / susu yang diencerkan kemudian secara bertahap dikentalkan<br />- sebagai tambahan kalori diberikan glukosa 5%<br />- pada tahap awal makanan cair diberikan lebih sering dengan porsi lebih kecil<br />- setelah toleransi anak terhadap makanan membaik, dapat dimulai dengan makanan lunak disusul dengan makanan biasa<br />2. Tahap Penyembuhan<br />Bila keadaan umum anak, toleransi terhadap makanan dan nafsu makan membaik, pemberian makanan dapat ditingkatkan secara berangsur setiap 1 – 2 hari hingga tercapai konsumsi kalori sebanyak 150 – 200 kkal/kgBB dan protein 3 - 5 gr/kgBB/hari<br />3. Tahap Lanjutan<br />Setelah tercapai penyembuhan, pemberian makanan dikembalikan dari jenis makanan TKTP ke makanan dengan kebutuhan nutrient yang baku.<br />C. Marasmik – kwashiorkor<br />Kelainan gizi yang menunjukkan gejala klinis campuran antara marasmus dan kwashiorkor dengan gagal tumbuh kembang sebagai gejala klinis umum.<br />Gambaran klinik :<br />- Edema yang tidak mencolok - hipotrofi otot<br />- Dermatosis - jaringan lemak subkutan berkurang<br />- Perubahan rambut - kerdil<br />- Hepatomegali - anemia<br />- Perubahan mental - defisiensi vitamin<br /><br />PENATALAKSANAAN<br />1) Terapi nutrisi<br />- Pemberian makanan TKTP<br />- Energi 150 kkal/kgBB/hari dan protein 3-5 gr/kgBB/hari ( keduanya diberikan secara bertahap )<br />- Sebagai tambahan berikan KCl 75.100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis, M9SO4 50% 0,25 ml/kgBB/hari IM dan roboransia<br />- BIla ditemukan tanda defisiensi vitamin A berikan dosis teraupetik 50.000 SI/kgBB dengan maksimal 400.000 SI<br />- Senyawa besi atau asam folat bila dijumpai anemia defisiensi besi atau megaloblastik<br />2) Atasi penyakit penyerta seperti ISPA, Bronkopneumonia, Tuberkulosis, OMA, ISK atau diare<br />3) Penyuluhan gizi<br /><br />Scoring System menurut Mc Laren 1967<br /> Gejala klinik Skor<br /><br />Edema 3<br />Dermatosis 2<br />Edema + dermatosis 6<br />Hair chance 1<br />Hepatomegali 1<br />Serumalbumin/total protein <br /><1,00 / <3,25 7<br />1,00 – 1,49 / 3,23 – 3,99 6<br />1,5 – 1,99 / 4 – 4,74 5<br />4,75 – 2,49 / 4,75- 5,49 4<br />2,50 – 2,99/ 5,50 – 6,24 3<br />3 – 3,49/ 6,25 – 6,99 2<br />3,50 – 3,99 / 7,00 – 7,74 1<br />> 4,00 / 7,75 0<br />Penilaian : Skor 0 – 3 : Marasmus<br /> Skor 4 – 8 : Marasmik – kwashiorkor<br /> Skor 9 – 15 : Kwashiorkor<br /><br /><br />Klasifikasi KEP menurut the Welcome Trust Party, 1970<br /><br /> Derajat malnutrition BB % terhadap BB/u<br /><br />Edema ( - )<br />Edema ( + )<br /> 80 – 60 %<br /> Undernutrition<br /> Kwashiorkor < 60%<br /> Marasmus<br /> Marasmik - kwashiorkor <br /><br /><br /><br />Pemberian makanan selama diare pada MEP<br /> Seperti diketahui MEP dapat menyebabkan diare karena adanya malabsorpsi makanan dan infeksi alat pencernaan, sebaliknya diare menyebabkan bartambah beratnya derajat MEP penderita.<br /> Diare yang terjadi pada penderita MEP bersifat lebih lama, lebih berat dan lebih sering. Tidak dibenarkan memantang makanan selama diare dan keadaan anoreksia dapat diperbaiki dengan formula oralt lengkap.<br /><br />UMUR Jumlah oralit yang diberikan tiap b.a.b<br />< 1 tahun<br />1 – 4 tahun<br />> 5 tahun<br />dewasa 50 – 100 ml ( ½ gelas )<br />100 – 200 ml ( 1 gelas )<br />300 – 400 ml ( 2 gelas )<br />400 – 600 ml ( 3 gelas )<br /><br /> Makanan yang diberikan harus mengandung cukup kalori, protein, mineral, vitamin dan tidak menimbulkan diare kembali atau malabsorpsi, harus bersih dan terjangkau. Bahan – bahan makanan yang dapat deberi antara lain : ASI, susu formula khusus, buah – buahan, biji – bijian, kacang – kacangan, sayuran.<br /> Pada MEP, pemberian rehidrasi oral yang mengandung kadar Na tinggi ( 90 mEq/l) menyebabkan beratnya edema, sebaliknya keadaan K yang rendah ( 20 mEq/l) memperberat hipokalemi dan dapat berakibat buruk pada jantung ( bradikardi )<br /> Secara teoritis makanan yang mengandung kalori tinggi, susu rendah laktosa dan minuman atau cairan rehidrasi oral yang mengandung rendah natrium dan tinggi kalium akan memberi hasil yang lebih baik.<br /><br /><br /><br />BAB V<br />KESIMPULAN<br /><br /><br />1. Diare hingga kini masih merupakan salah satu penyakit pada bayi dan anak yang merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian di Negara berkembang<br />2. Penyebab utama kematian karena diare adalah dehidrasi akibat kehilangan cairan dan elektrolit melalui tinja<br />3. Di Negara berkembang, prevalensi yang tinggi dari penyakit diare merupakan kombinasi dari sumber air yang tercemar, kekurangan kalori dan protein yang menyebabkan turunnya daya tahan<br />4. Diare merupakan penyebab penting kekurangan gizi sehingga bila berkepanjangan berdampak terhadap pertumbuhan<br />5. Diare dapat disebabkan oleh karena factor infeksi ( bakteri, virus, parasit ), factor malabsorpsi, alergi, keracunan, imunodefisiensi, dan sebab – sebab lain<br />6. Menurut waktunya diare dapat dibagi menjadi diare akut dan diare kronik<br />7. Penatalaksanaan diare akut disesuaikan menurut derajat dehidrasi, pada diare kronik atasi dehidrasi dan terapi sesuai dengan penyebabnya<br />8. Diare sangat berkaitan dengan MEP karena mempunyai hubungan timbal balik, yaitu MEP dapat menyebabkan diare karena adanya malabsorpsi makanan dan infeksi alat pencernaan. Sebaliknya diare menyebabkan bertambah beratnya derajat MEP<br />9. Pemberian makanan yang mengandung kalori tinggi, susu rendah laktosa dan minuman / cairan rehidrasi oral yang mengandung rendah natrium dan tinggi kalium memberikan hasil yang baik untuk penatalaksanaan diare pada MEP.<br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /><br />1. Staf Pengajar Ilmu Kesehata Anak Fakultas Kedokteran UI, Buku kuliah Ilmu Kesehatan Anak, cetaka ke – 10 volume 1, Percetakan Infomedika, Jakarta, 2002<br /><br />2. AH. Markum, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, jilid 1, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1991<br /><br />3. Suharyono, Gastroenterologi Anak Praktis, cetakan ke -4, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI, Jakarta 2003<br /><br />4. Arief Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke -3 jilid 2, Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI, Jakarta 2003ibnu zamsa firmanullahhttp://www.blogger.com/profile/04444679012279299665noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-365714640221455087.post-60386637716446579962009-05-21T10:47:00.000-07:002009-05-21T10:58:48.063-07:00campak<div align="justify"><span style="font-family:times new roman;">Campak<br /><br />Campak bukan merupakan istilah yang aneh di telinga. Rasanya hampir semua orang dewasa pernah mendengar tentang penyakit ini. Nama lain untuk campak adalah morbili, rubeola, measles, dan ada juga yang menyebut tampek.<br />Campak adalah infeksi menular yang disebabkan oleh virus morbili dan ditandai dengan terjadinya eksantema akut.<br />Epidemiologi<br />Penyakit ini sangat mudah menular dimana penularan dapat terjadi melalui:<br />• Percikan ludah yang mengandung virus (droplet infection)<br />• Kontak langsung dengan penderita<br />• Penggunaan peralatan makan dan minum bersama<br />Penderita dapat menularkan penyakitnya sejak 2-4 hari sebelum timbulnya ruam pada kulit sampai ± 5 hari sejak ruam timbul. Jauhkan penderita dari orang lain yang belum pernah terkena campak, karena tingkat infektivitas campak sangat tinggi. Berada di dalam ruangan yang sama dengan penderita campak (baik yang sudah bergejala maupun belum), sudah cukup untuk memindahkan virus ke tubuh kita.<br />Seorang wanita yang pernah menderita campak atau pernah mendapat imunisasi campak akan meneruskan daya imunitas pada bayi yang dikandungnya. Kekebalan ini akan bertahan selama tahun pertama setelah anak dilahirkan. Karena itu jarang sekali kita menjumpai bayi (khususnya yang berusia di bawah 5 bulan) yang menderita campak.<br />Seorang yang pernah terinfeksi campak menjadi kebal seumur hidupnya.<br />Etiologi<br />Virus Rubeola<br />• Virus RNA rantai tunggal<br />• Termasuk dalam famili paramiksovirus<br />• Sampai saat ini hanya ada satu serotipe yang diketahui dapat menimbulkan penyakit pada manusia<br />Faktor risiko<br />• Daya tahan tubuh yang lemah<br />• Belum pernah terkena campak<br />• Belum pernah mendapat vaksinasi campak<br /><br />Gejala klinis<br />Gejala dimulai antara 7-20 hari (rata-rata 10-12 hari) sesudah terinfeksi. Gejala awal sulit dibedakan dengan influensa biasa. Dimulai dengan demam tinggi, hidung berair, batuk ringan, sariawan, nyeri menelan, dan mata merah berair. Anak menjadi cengeng dan matanya selalu terpejam akibat radang pada selaput lendir mata (konjungtivitis).<br />Ruam dapat muncul pada selaput lendir mulut daerah pipi 2-4 hari kemudian. Ruam di daerah ini dikenal dengan istilah bercak Koplik (Koplik's spots). Nama tersebut diambil dari Henry Koplik, nama seorang dokter spesialis anak di Amerika Serikat yang pertama mendeteksi tanda itu. Bercak Koplik seringkali digambarkan seperti garam yang ditabur di atas permadani merah. Gambaran itu memang tepat, karena bercak koplik tampak sebagai titik-titik putih kecil dikelilingi oleh dasar mukosa yang merah. Bercak ini hanya muncul pada masa inkubasi dan cepat menghilang.<br />3-5 hari setelah gejala pertama (1-2 hari setelah munculnya bercak Koplik), demam menjadi semakin tinggi lalu diikuti dengan munculnya ruam-ruam berwarna kemerahan. Sebagian ruam hanya berupa perubahan warna saja (makula), tapi sebagian lagi berupa lesi yang agak menonjol (papula). Oleh karena itu, erupsi yang terjadi diistilahkan sebagai erupsi makulopapula.<br />Ruam yang terasa sedikit gatal ini mula-mula muncul di belakang telinga. 1 - 2 hari kemudian ruam akan menyebar ke leher, dada, punggung, perut, dan akhirnya lengan serta tungkai. Pada saat ini ruam di wajah mulai menghilang.<br />Pada puncak penyakit, penderita tampak sakit berat, ruam sangat luas, dan suhu tubuh dapat mencapai lebih dari 40°C. Batuk dapat bertambah parah. Pada keadaan yang berat, ruam biasanya akan tampak lebih gelap (merah kehitaman).<br />Dalam 3-5 hari setelah munculnya ruam, suhu tubuh mulai kembali normal. Penderita akan merasa lebih baik dan ruam yang tersisa akan segera mengalami deskuamasi (pengelupasan lapisan tanduk kulit) dan menghilang. Walau demikian, ruam tersebut akan meninggalkan bekas berupa bercak berwarna kehitam-hitaman yang baru menghilang dalam waktu yang cukup lama (± 1 bulan). Bercak ini merupakan tanda khas bahwa seseorang baru saja terkena campak.<br />Batuk biasanya masih tetap ada sampai beberapa hari kemudian.<br />Kadang-kadang kadar platelet darah dapat turun sangat rendah (trombositopenia). Akibatnya penderita mudah mengalami perdarahan (ditandai dengan mudah memar).<br />Pemeriksaan Laboratorium<br />Serologi<br />Pada kasus-kasus atipik, dapat dilakukan pemeriksaan serologi untuk memastikannya. Teknik pemeriksaan yang dapat digunakan adalah:<br />1. Fiksasi komplemen<br />2. Inhibisi hemaglutinasi<br />3. Metode antibodi fluoresensi tidak langsung<br />Patologi anatomi<br />Pada organ limfoid dijumpai:<br />• Hiperplasia folikuler yang nyata<br />• Sentrum germinativum yang besar<br />• Sel Warthin-Finkeldey<br />• Sel datia berinti banyak yang tersebar secara acak<br />• Sel ini memiliki nukleus eosinofilik dan jisim inklusi dalam sitoplasma<br />• Sel ini merupakan tanda patognomonik campak<br />Pada bercak Koplik dijumpai:<br />• Nekrosis<br />• Neutrofil<br />• Neovaskularisasi<br />Diagnosa<br />Diagnosa biasanya ditegakkan berdasarkan temuan klinis. Pada tahap awal, sulit untuk menegakkan diagnosa campak. Adanya konjungtivitis merupakan petunjuk berharga dalam upaya pengambilan diagnosa. Bila kita berhasil menemukan bercak Koplik, maka diagnosa dini dapat kita tegakkan.<br />Hal-hal yang membantu penegakan diagnosa:<br />• Riwayat kontak dengan penderita campak<br />• Gejala demam, batuk, pilek dan konjungtivitis<br />• Bercak Koplik (patognomonik)<br />• Erupsi makulopapula dengan tahap-tahap pemunculan yang khas<br />• Bercak berwarna kehitaman pada kulit setelah sembuh<br />Diagnosa banding<br />• Campak jerman (Rubella) </span></div>ibnu zamsa firmanullahhttp://www.blogger.com/profile/04444679012279299665noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-365714640221455087.post-34390309199768735592009-05-21T10:44:00.000-07:002009-05-21T10:46:36.519-07:00Glomerulonefritis akut (GNA)<div align="left"><span style="font-family:times new roman;font-size:85%;">BAB I<br />PENDAHULUAN<br /><br /><br /><br />Glomerolunefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap akhir dan tingginya angka morbiditas baik pada anak maupun dewasa. Sebagian besar glomerolunefritis bersifat kronik dengan penyebab yang tidak jelas dan sebagian besar tampaknya bersifat imunologis. Terminologi glomerulonefritis yang dipakai disini adalah untuk menunjukkan bahwa kelainan yang pertama dan utama terjadi di glomerulus, bukan pada struktur jaringan ginjal yang lain. Istilah glomerulonefritis dipergunakan untuk menunjukkan karakteristik gambaran klinis dan kelainan histopatologis yang terjadi.1<br />Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi glomerolus yang disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis. Istilah akut ( glomerulonefritis akut / GNA) mencerminkan adanya korelasi kliniko-patologis selain menunjukkan adanya gambaran tentang etiologi, patogenesis, perjalanan penyakit dan prognosis.<br />Glomerulonefritis akut menunjukkan adanya kejadian pasca infeksi dengan etiologi berbagai macam bakteri dan virus. Kuman penyebab tersering adalah streptokokkus β hemolitikus group A yang nefritogenik.1<br />Kemampuan mengidentifikasi adanya kelainan glomerolus adalah berkat berkembangnya dan meluasnya penggunaan biopsi ginjal per kutan yang mampu menunjukan adanya kelainan dini glomerolus, serta kemajuan teknis pemeriksaan ultrastruktur dan imunopatologis ginjal sehingga mampu mengidentifikasi lokalisasi kelainan secara akurat.<br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB II<br />ISI<br /><br /><br />Definisi<br /><br />Glomerulonefritis akut adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus tertentu, yang sering terjadi ialah akibat infeksi kuman streptokokkus β hemolitikus group A.2,3,4,5<br /><br /><br />Morfologi Glomerolus<br /><br />1. Mikroskop Cahaya<br />Glomerolus yang normal merupakan suatu jaringan vasa kapiler yang terletak diantara arteriol aferen dan arteriol eferen. Kapiler tersebut melekat mengelilingi suatu jaringan penyangga yang disebut mesangium yaitu jaringan ektraseluler yang terdiri dari matriks mesangial dan sel mesangial. Bila sediaan jaringan ginjal yang berukuran 4-8 mm diperiksa dengan mikroskop cahaya, akan tampak dengan jelas adanya lumen kapiler, matriks, dan sel mesangial. Kompleks glomerolus ini dibentuk oleh empat jenis sel yang terdiri dari sel mesangial, sel endotel, sel epitel visceral dan sel epitel parietal. Mesangium (matriks dan sel) terletak ditengah batang gelung glomerolus (tuft).<br />2. Mikroskop Imunofluoresensi<br />Dengan teknik ini dapat ditunjukkan adanya antibodi dan atau komplemen pada glomerolus yang sakit. Gambaran ini membuktikan adanya media imun yang berperan dalam penyakit glomerolus1. Gambaran imunofluoresensi linear disepanjang dinding kapiler glomerolus menunjukkan bahwa reaktan imun tersebut (IgG,komplemen) terikat pada struktur endogen antigen golmerolus, sebaliknya imunofluoresen granular dalam glomerolus merupakan suatu deposit komplek imun. Kompleks imun tersebut dapat berasal dari kompleks imun bersirkulasi (circulating immune complex) yang terperangkap dalam glomerolus atau berasal dari ikatan antibodi pada struktur endogen antigen dalam gomerolus (pembentukan kompleks imun in situ).<br />Bila sediaan jaringan biopsi ginjal berukuran 4-8m dipulas dengan antibodi berlabel fluoresen yang spesifik terhadap imunoglobulin (anti IgG, IgA, IgM) dan komponen komplemen (anti C1q, C3, C4, C5b-9 dll) kemudian dilihat dengan mikroskop fluoresensi, maka eksistens dan lokasi deposit antibodi dan komplemen pada glomerolus yang sakit tersebut akan ditentukan.<br />Glomerolus normal sama sekali tidak mengandung deposit imun, dalam keadaan sakit, reaktan fluoresen dalam glomerolus tampak sebagai bentukan bersifat granular pada tempat yang berbeda, misalnya pada mesangium atau disepanjang lumen kapiler atau tampak sebagai garis halus dibagian luar dinding kapiler glomerolus.1<br />3. Mikroskop Elektron<br />Apabila sebuah kapiler glomerolus dilihat dengan mikroskop elektron, tampak adanya 3 lapisan. Lapisan paling dalam berhadapan dengan lumen kapiler glomerolus terdiri dari sel endotel berfenestra. Lapisan tengah adalah membran basal dan lapisan luar yang berhadapan dengan ruang Bowman ialah sel epitel kapsula Bowman visceral, dengan tonjolan sitoplasma interdigitata (tonjolan kaki, foot processes). Ruang yang terdapat diantara tonjolan kaki disebut slit pores tertutup oleh suatu membran yang sangat tipis yang disebut slit diaphragm. Membran basal golemrolus terdiri atas 3 lapisan yaitu lamina rara interna (disebelah dalam), lamina densa (ditengah) dan lamina rara eksterna (disebelah luar).1<br />Dengan mikroskop elektron akan mudah ditemukan adanya kelainan membran basal glomerolus seperti laminasi pada sindrom alport, kelainan sel glomerolus seperti fusi tonjolan kaki sel epitel visceral pada proteinuria dan lokasi deposit padat elektron (merupakan komplemen antigen antibodi).<br /><br /><br /><br /><br /><br />Filtrasi Glomerolus1<br /><br />Dengan mengalirnya darah dalam kapiler glomerolus, plasma disaring melalui dinding kapiler glomerolus. Hasil ultrafiltrasi tersebut yang bebas sel, mengandung semua substansi plasma (elektrolit, glukosa, fosfat, ureum, kreatini, peptida, protein-protein dengan berat molekul rendah) kecuali protein yang berat molekulnya lebih dari 68.000 (seperti albumin dan globulin). Filtrat dikumpulkan dalam ruang bowman dan masuk ketubulus, yang kemudian mengubah komposisinya sesuai dengan kebutuhan tubuh sebelum meninggalkan ginjal berwarna urin.<br />Laju filtrasi glomerolus (GFR) atau glomerular filtration rate/GFR merupakan penjumlahan dari seluruh laju filtrasi nefron yang masih berfungsi yang juga disebut Single Nefron Glomerular Filtration Rate (SN GFR). Besarnya SN GFR ditentukan oleh faktor dinding kapiler glomerolus dan gaya starling dalam kapiler tersebut.<br />SN GFR = Kf (∆P-∆π)<br /><br /> = Kf.Puf <br /><br /><br /><br />Koefisien ultrafiltrasi (Kf) dipengaruhi oleh luas permukaan kapiler glomerolus yang tersedia untuk filtrasi dan konduksi hidrolik membran basal. Tekanan ultrafiltrasi (Puf) atau gaya starling dalam kapiler ditentukan oleh :<br />Tekanan hidrostatik dalam kapiler glomerolus (Pg)<br />Tekanan hidrostatik dalam kapsula bowman/tubulus (Pt)<br />Tekanan onkotik dalam kapiler glomerolus (πg)<br />Tekanan onkotik dalam kapsula bowman yang dianggap nol karena ultrafiltrat tidak mengandung protein.<br />Jadi tekanan ultrafiltrasi (Puf) diglomerolus merupakan selisih perbedaan tekanan hidrostatik dan selisih onkotik<br />Puf = Pg-Pt-πg-0<br /> = ∆p-∆π <br /><br /><br /> <br />Dengan demikian SN GFR akan bervariasi sesuai dengan proses yang mempengaruhi tekanan hidrostatik kapiler glomerolus, keadaan membran glomerolus, luas permukaan filtrasi. Tekanan hidrostaik kapiler pada manusia tidak pernah diukur.<br /><br />Kapiler gomerolus :<br /><br /><br /><br /><br />Arteriol Pg pt Arteriol<br />aferen eferen<br /> <br /> <br /> Pt pg <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />LFG nenonatus sekitar 15-20 ml/hari/1,73 cm2 yang kemudian meningkat 2x lipat pada umur seminggu sehingga sama dengan dewasa pada umur 2 tahun. Perubahan pada hari-hari pertama dapat diterangkan dengan penurunan resistensi pembuluh darah yang menyebabkan peningkatan aliran darah kortek serta peningkatan perfusi glomerolus. Perubahan ini menghasilkan peningkatan luas permukaan (Kf). Peningkatan selanjutnya pada tahun pertama disebabkan pertumbuhan glomerolus yang mempengaruhi Kf diikuti peningkatan tekanan perfusi yang berpengaruh terhadap tekanan hidrostatik glomerolus (Pg).<br />Sel mesangial glomerolus mengandung saraf semacam aktin yang berhubungan langsung dengan membran basal, reseptor berbagai zat vasoaktif, termasuk vasopresin dan angiotensin II berada pada permukaan sel ini. Hadirnya hormon-hormon ini menyebabkan kontraksi sel mesangial sehingga berkurang luas permukaan kapiler glomerolus dan penurunan SN GFR. Glomerulonefritis merupakan keadaan klinik lain yang potensial untuk mengubah Kf dan tekanan perfusi glomerolus. Dalam berbagai keadaan tadi endapan imun, komponen komplemen, atau zat-zat produk leukosit dapat merusak membran basal sel, menurunkan luas permukaan filtrasi dan atau konduksi hidolik sehingga menyebabkan penurunan SN GFR. Selain itu mediator imun dapat mempengaruhi resistensi pembuluh darah dan tekanan perfusi glomerolus pula.<br />Tekanan hidrostatik glomerular merupakan tekanan pendorong terjadinya ultrafiltrasi. Bila tekanan pefusi menurun dengan cepat, perubahan resistensi arteriol aferen dan eferen mungkin tidak dapat mengkompensasi dan memelihara ultrafiltrasi.<br />Secara singkat faktor-faktor yang mempengaruhi filtrasi glomerolus antara lain :<br />Perubahan aliran darah glomerolus<br />Perubahan pada tekanan hidrostatik kapiler glomerolus<br />- perubahan tekanan darah sistemik<br />- kontriksi arteriol aferen atau eferen<br />Perubahan pada tekanan hidrostatik kapsula bowman/tubulus<br />- obtruksi<br />- edem sekitar ginjal<br />Perubahan tekanan onkotik plasma<br />- hipoproteinemia<br />- dehidrasi<br />Perubahan permeabilitas kapsula glomerolus<br />Perubahan luas area filtrasi<br />- kerusakan glomerolus akibat penyakit ginjal akut / kronik<br />- nefrektomi parsial<br /><br /><br />Fisiologi Umum Ginjal<br /><br />Unit fungsional ginjal adalah nefron (1,2 juta nefron membentuk setiap ginjal manusia). Setiap nefron terdiri dari kapsula bowman, jaringan glomerolus, tubulus proksimal, lengkung henle dan tubulus distal.<br />Pada permulaan nefron dalam glomerolus darah disaring (protein dan sel tertahan) sedang air dan subtansi terlarut yang lebih kecil diteruskan kedalam tubulus, ditransfer melintasi dinding tubulus dan memasuki darah kembali (resorpsi, reabsorpsi). Fraksi yang tidak diresorpsi tinggal dalam tubulus dan muncul dalam urin terminal (eksresi). Beberapa pelarut urin memasuki lumen nefron dari sel tubula secara sekresi.6<br /><br />Angka Kejadian<br /><br />Insiden tidak dapat diketahui dengan tepat, diperkirakan jauh lebih tinggi dari data statistik yang dilaporkan oleh karena banyaknya pasien yang tidak menunjukkan gejala sehingga tidak pernah terdeteksi. Kaplan dkk memperkirakan separuh pasien glomerulonefritis akut pasca streptokokkus pada suatu epidemi tidak terdeteksi.<br />Glomerulonefritis akut pasca streptokokkus menyerang anak dibawah usia 3 tahun, dengan perbandingan laki-laki : perempuan adalah 2:1 Hasil penelitian multisenter di Indonesia pada tahun 1988 melaporkan adanya 170 pasien dirawat di rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien terbanyak dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian disusul berturut-turut di Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%). Pasien lelaki dan perempuan berbanding 1,3:1 dan terbanyak menyerang anak pada usia antara 6-8 tahun.1<br /><br /><br />Etiologi<br /><br />Glomerulonefritis akut sering ditemukan pada anak berumur 3-7 tahun dimana anak pria lebih sering daripada anak perempuan. Biasanya didahului oleh infeksi ekstrarenal terutama pada traktus respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman Streptokokkus β hemolitikus group A strain nefritogenik ( tipe 12,14,16,25,49) dimana tipe 12 dan 25 lebih nefritogenik. Antara terjadinya infeksi bakteri dan timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa laten ± 10 hari. Faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum, alergi mempengaruhi terjadinya GNA. GNA juga dapat disebabkan oleh penyebab lain seperti sifilis, keracunan ( timah hitam, tridin), penyakit amiloid, trombosis vena renalis, purpura anafilaktoid dan lupus eritematosus.1,2,3,4,5<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Patogenesis<br /><br />Berdasarkan hasil penelitian klinis imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab. Berikut hipotesis yang ada : 2,3<br />terbentuknya komplek antigen-antibodi yang melekat pada membrana basalis glomerolus dan kemudian merusaknya.<br />proses autoimun kuman streptokokkus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan badan autoimun yang merusak glomerolus.<br />streptokokkus nefritogen dan membrana basalis glomerolus mempunyai komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrana basalis ginjal.<br /><br />Berdasarkan hubungannya dengan infeksi streptokokkus, gejala klinis dan pemeriksaan imunofluoresensi ginjal serta penurunan kadar komplemen (C3) serum, jelaslah kiranya bahwa glomerulonefritis akut pasca streptokokkus adalah suatu glomerulonefritis yang bermediakan imunologis. Meskipun secara umum patogenesis glomerolunefritis telah dimengerti, namun mekanisme yang tepat bagaimana terjadinya lesi glomerolus, proteinuria dan hematuria pada glomerulonefritis pasca streptokokkus belumlah jelas benar serta mekanisme yang tepat bagaimana strain streptokokkus nefritogenik menyebabkan pembentukan kompleks masih belum dapat ditentukan.5 Pembentukan kompleks imun bersirkulasi dan pembentukan kompleks imun in situ telah ditetapkan sebagai mekanisme patogenesis glomerulonefritis pasca stretokokkus.1<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Manifestasi klinis 1,2,3,4,5<br /><br />· Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas atas (faringitis) atau kulit (impetigo) oleh kuman streptokokkus dari strain nefritogenik.<br />· Hematuria yang nyata (kencing berwarna merah daging)<br />· Edem ringan disekitar mata atau seluruh tubuh. Edem berat dapat terjadi bila ada oliguria dan gagal jantung.<br />· Hipertensi bahkan terlihat ensefalopati hipertensi yang ditunjukkan degan gejala sakit kepala, muntah, letargi, disorientasi dan kejang.<br />· Gejala gastroenterologi seperti muntah, tidak nafsu makan, konstipasi / diare.<br />· Oliguria / anuria.<br />· Suhu badan tidak terlalu tinggi.<br /><br /><br />Gambaran laboratorium 1,2,3,4<br /><br />· Urinalisis menunjukkan adanya urin berkurang, berat jenis meninggi, hematuria makroskopis, protein (+), albumin (+), eritrosit (++), silinder leukosit, hialin.<br />· LED meningkat<br />· Hb menurun<br />· Albumin serum sedikit menurun dan komplemen serum menurun (C3)<br />· Ureum dan kreatinin darah meningkat<br />· Peningkatan titer antibodi terhadap antigen streptokokkus (titer anti streptolisin O meningkat, DNA SeB, streptozime)<br />· Uji fungsi ginjal normal<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Patologi 1,5<br /><br />Makroskopis ginjal tampak agak membesar, pucat dan terdapat titik-titik perdarahan pada korteks. Mikroskopis cahaya tampak hampir semua glomerolus terkena sehingga dapat disebut glomerulonefritis difusa (glomerolus membesar). Tampak proliferasi sel endotel glomerolus yang keras sehingga mengakibatkan lumen kapiler dan ruang simpai bowman menutup serta penambahan matriks mesangium. Disamping itu terdapat pula infiltrasi sel epitel kapsul, infiltrasi sel PMN dan monosit. Pada pemeriksaan mikroskopis elektron akan tampak membrana basalis menebal tidak teratur karena terdapat endapan padat elekktron yang dikenal dengan istilah humps di subepitelium yang mungkin dibentuk oleh globulin gama, komplemen dan antigen streptococcus. Mikroskop imunofluoresen ditemukan endapan IgG dan komplemen pada membrana basalis glomerolus dan pada mesangium bergumpal-gumpal tidak rata.<br /><br /><br />Diagnosa banding 1<br /><br />· Glomerulonefritis kronik<br />Hematuria makroskopis akut, sembab, hipertensi dan gagal ginjal yang dalam perjalanan penyakitnya lebih lambat kearah perbaikan.Dapat berupa glomerulonefritis membranoproliferatif, nefritis lupus, dan glomerulonefritis proliferatif kresenik.<br />· Nefropati IgA<br />Hematuria nyata mendadak segera setelah infeksi saluran napas atas terjadi bersamaan pada saat faringitis, sedang hipertensi dan sembab jarang terjadi.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Komplikasi 2,3<br /><br />Oliguria sampai anuria<br />dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagai akibat berkurangnya filtrasi glomerolus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia. Bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum diperlukan.<br />Ensefalopati hipertensi<br />merupakan gejala serebrum karena hipertensi seperti gangguan penglihatan, pusing, muntah, dan kejang-kejang. Hal ini disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.<br />Gangguan sirkulasi<br />berupa dispnea, ortopnea, ronki basah, pembesaran jantung dan meningkatnya tekanan darah yang bukan saja disebabkan oleh spasme pembuluh darah juga karena bertambahnya vulome plasma. Jantung dapat membesar dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang enetap dan kelianan miokardium.<br />Anemia<br />karena adanya hipovolemia disamping sintesis eritopoetik yang menurun.<br /><br /><br />Pengobatan 2,3,4,5<br /><br />Istirahat mutlak selama 3-4 minggu sampai edem, hipertensi dan hematuria makroskopis membaik<br />Antibiotik untuk eradikasi kuman streptokokkus dengan penisilin, ampisilin, atau eritromisin selama 10 hari.<br />Diet rendah protein (1 g/KgBB/Hari) dan rendah garam (1 g/hari)<br />Bila ada anuria dan muntah berikan IVFD glukosa 10%<br />Pengobatan terhadap hipertensi, dapat diberikan reserpin mula-mula 0,07 mg/KgBB secara IM kemudian jika 5-10 jam terjadi diuresis berikan secara peroral 0,03 mg/KgBB/hari<br />Pemberian diuretik dengan furosemid secara IV (1 mg/KgBB/hari)<br />Bila anuria berlangsung 5-7 hari ureum harus dikeluarkan dari dalam darah, dapat dilakukan dialisis peritoneum, hemodialisis, bilasan lambung dan usus.<br />Bila gagal jantung dapat diberikan digitalis, sedative, oksigen.<br />Bila timbul GGA penatalaksanaan sesuai dengan GGA.<br /><br /><br />Prognosis 1<br /><br />Sebagian besar pasien akan sembuh sempurna (95 % kasus), tetapi 5% diantaranya mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat dengan pembentukan kresen pada epitel glomerolus. Diuresis akan menjadi normal kembali pada hari ke 7-10 setelah awal penyakit, dengan menghilangnya sembab dan secara bertahap tekanan darah kembali normal. Fungsi ginjal membaik dalam 1 minggu dan menjadi normal dalam waktu 3-4 minggu. Komplemen serum menjadi normal dalam waktu 6-8 minggu. Tetapi kelainan sedimen urin akan tetap terlihat selama berbulan-bulan bahan bertahun-tahun pada sebagian bessar pasien. Kesimpulannya adalah prognosis jangka panjang glomerulonefritis akut baik.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB III<br />PENUTUP<br /><br /><br /><br />KESIMPULAN<br /><br />· Glomerulonefritis akut menunjukkan adanya kejadian pasca infeksi dengan etiologi berbagai macam bakteri dan virus. Kuman penyebab tersering adalah streptokokkus β hemolitikus group A yang nefritogenik.<br />· Glomerolus yang normal merupakan suatu jaringan vasa kapiler yang terletak diantara arteriol aferen dan arteriol eferen. Kompleks glomerolus ini dibentuk oleh empat jenis sel yang terdiri dari sel mesangial, sel endotel, sel epitel visceral dan sel epitel parietal. Mesangium (matriks dan sel) terletak ditengah batang gelung glomerolus (tuft). Glomerolus normal sama sekali tidak mengandung deposit imun.<br />· Secara singkat faktor-faktor yang mempengaruhi filtrasi glomerolus antara lain :<br />Perubahan aliran darah glomerolus<br />Perubahan pada tekanan hidrostatik kapiler glomerolus<br />Perubahan pada tekanan hidrostatik kapsula bowman/tubulus<br />Perubahan tekanan onkotik plasma<br />Perubahan permeabilitas kapsula glomerolus<br />Perubahan luas area filtrasi<br />· Glomerulonefritis merupakan keadaan klinik lain yang potensial untuk mengubah Kf dan tekanan perfusi glomerolus.<br />· Glomerulonefritis akut pasca streptokokkus menyerang anak dibawah usia 3 tahun, dengan perbandingan laki-laki : perempuan adalah 2:1.<br />· Glomerulonefritis akut sering ditemukan pada anak berumur 3-7 tahun dimana anak pria lebih sering daripada anak perempuan. Biasanya didahului oleh infeksi ekstrarenal terutama pada traktus respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman streptokokkus β hemolitikus group A strain nefritogenik<br />· Berdasarkan hubungannya dengan infeksi streptokokkus, gejala klinis dan pemeriksaan imunofluoresensi ginjal, jelaslah kiranya bahwa glomerulonefritis akut pasca streptokokkus adalah suatu glomerulonefritis yang bermediakan imunologis.<br />· Manifestasi Klinis<br />Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas atas atau kulit oleh kuman streptokokkus dari strain nefritogenik., Hematuria yang nyata (kencing berwarna merah daging), Edem ringan disekitar mata atau seluruh tubuh, Hipertensi, Gejala gastroenterologi seperti muntah, tidak nafsu makan, konstipasi/diare, Oliguria /anuria, Suhu badan tidak terlalu tinggi.<br />· Laboratorium<br />Urinalisis menunjukkan adanya urin berkurang, berat jenis meninggi, hematuria makroskopis, protein (+), albumin (+), eritrosit (++), silinder leukosit, hialin. LED meningkat, Hb menurun, Albumin serum sedikit menurun dan komplemen serum menurun (C3), Ureum dan kreatinin darah meningkat, Peningkatan titer antibody terhadap antigen streptokokkus (titer anti streptolisin O meningkat, DNA SeB, streptozime), Uji fungsi ginjal normal.<br />· Patologi<br />Makroskopis ginjal tampak membesar. Mikroskop cahaya tampak glomerulonefritis difusa, proliferasi sel endotel glomerolus dan infiltrasi sel epitel kapsul, infiltrasi sel PMN dan monosit. Mikroskop elektron akan tampak humps. Mikroskop imunofluoresen akan tampak endapan IgG dan komplemen.<br />· Diagnosa banding<br />Nefropati IgA dan Glomerulonefritis kronik<br />· Komplikasi<br />Oliguria sampai anuria, Ensefalopati hipertensi, Gangguan sirkulasi, Anemia.<br />· Pengobatan<br />bersifat suportif berupa istirahat, antibiotik, diet rendah protein dan garam, serta pengobatan lain yang sesuai dengan gejala yang ada.<br />· Prognosis : baik<br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /><br /><br />Buku Ajar Nefrologi Anak edisi 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta . 2002.<br /><br />Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985.<br /><br />Kapita Selekta Kedokteran edisi 3. Jakarta. Media Aesculapius. 2000.<br /><br />Prosedur Tetap Tindakan Medis dan Terapi SMF Kesehatan Anak. Departemen Kesehatan RI Ditjen Pelayanan Medis RS Persahabatn. Jakarta. 2004.<br /><br />Richard E.Behrman. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Volume 3 edisi 15. Jakarta. EGC. 2000.<br /><br />Despopoulus Agamemnon. Atlas Berwarna dan Teks Fisiologi edisi 4 revisi. Jakarta. Hipocrates. 1998</span></div>ibnu zamsa firmanullahhttp://www.blogger.com/profile/04444679012279299665noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-365714640221455087.post-18119160211889054282009-05-21T10:37:00.000-07:002009-05-21T10:41:47.942-07:00Gagal Jantung (Congestive heart failure)<div align="justify"><span style="font-family:times new roman;font-size:85%;">I. PENDAHULUAN<br />Pandangan baru patofisiologi Gagal Jantung saat ini berbeda dengan patofisiologi yang selama ini dipakai sebagai pegangan dalam memberikan pengobatan. Dahulu, Gagal Jantung dianggap sebagai kegagalan kontraktilitas (bersifat mekanikal) yang menyebabkan abnormalitas hemodinamik. Obat utama yang selalu dipakai selama tenggang waktu tersebut adalah digitalis dan diuretik, namun ternyata obat-obatan tersebut hanya bermanfaat mengurangi gejala sesak napas dan retensi cairan tubuh, tapi sama sekali tidak meningkatkan kualitas hidup dan tidak mengurangi mortalitas seta efek pengobatannya tidak berlangsung lama.<br />Teori patofisiologi Gagal Jantung yang baru lebih menekankan pada remodelling miokard dan kelainan fungsi neuroendokrin berupa aktivasi adrenergik dan perubahan Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron yang mengakibatkan terjadinya disfungsi ventrikel. Remodelling merupakan proses selular-molekular kompleks yang menimbulkan perubahan pada struktur dan fungsi dan fenotipe otot jantung. Perubahan ini berbentuk hipertrofi, apoptosis dari sel miosit, dan perubahan kuantitas serta komposisi jaringan matriks ekstraselular(2).<br />Dari beberapa penelitian telah terbukti bahwa obat-obat yang dapat menetralkan efek stress mekanikal pada miokard atau obat yang dapat menghambat angiotensin dan norepinefrin (seperti penyekat ACE, beta-blockers, dan vasodilator) ternyata dapat memperlambat progresifitas disfungsi ventrikel. Selanjutnya pada pemakaian klinis obat-obat tersebut terbukti dapat mengurangi gejala-gejala Gagal Jantung serta berhasil mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat Gagal Jantung. Hal inilah yang menjadi dasar yang rasional pengobatan Gagal Jantung saat ini.<br />Adapun obat-obat beta-blockers yang dipakai untuk maksud ini antara lain Carvedilol, Bisoprolol, dan Metoprolol. Beberapa kepustakaan juga menyebutkan mengenai adanya efek anti oksidan pada Carvedilol.<br /><br />II. PEMBAHASAN<br />1. Definisi<br />Gagal jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala), ditandai dengan sesak napas dan fatik (saat istirahat atau saat aktifitas ) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung<br />2. Etiologi dan patofisiologi<br />Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh gangguan kemampuan jantung berkontraksi atau meningkatnya beban kerja dari jantung. Gagal jantung diikuti oleh meningkatnya volume darah yang abnormal dan cairan intertisial jantung. Karena itu umumnya pembuluh vena, dan kapiler umumnya melebar diisi darah. Istilah gagal jantung termasuk kongesti ke paru dengan gagal jantung kiri, edema perifer dengan gagal jantung kanan. Penyebab gagal jantung kanan antara lain penyakit jantung arterosklerosis, penyakit hipertenisi, penyakit katup jantung, kardiomiopati yang melebar, penyakit jantung kongenital. Disfungsi sistolik kiri akibat penyakit arteri koronaria adalah penyebab utama dari gagal jantung.<br />Gagal jantung didasari oleh suatu beban miokard yang mengakibatkan remodeling structural, lalu diperberat progresifitaspenyakit tersebut dan menghasilkan sindrom yang disebut gagal jantung. Remodeling ini dipicu dan diperberat oleh mekanisme kompenssasi sehingga fungsi jantung terpelihara relative normal (asimptomatik gagal jantung) yang akan timbul factor presipitasi seperti infeksi, aritmia, infark jantung, anemia, hipertiroid, kehamilan, emosi, garam berlebih, hipertensi, demam reuma, endokarditis infektif. Gagal jantung simptomatik juga akan tampak kalau terjadi kerusakan miokard akibat progresifitas penyakit yang mendasarinya.<br />Ggn hemodinamik dini<br />Cardiac performance <br />SV<br />Aktifasi reseptor aorta dan sinus karotis<br />simpatis<br />Vasokontriksi vena, arteri dan jantung<br />VR ,EDV ,SW<br />EDP<br />Tekanan vena & kapiler paru<br />Bendungan paru<br />Pelepasan renin<br />Angiotensin II<br />Vasokontriksi renal<br />GFR<br />aldosteron<br />Reabsorbsi Na<br />Eskresi Na<br />Eskresi Na<br />preload<br />SW<br />Udema perifer<br />compensanted<br />- Redistribusi aliran darah<br />- Aliran koroner hampir normal<br />- CO normal<br />Hipertrofi ventrikel<br /><br />3. jenis dan istilah dalam gagal jantung<br />1. Gagal Jantung Kronis :<br />Kondisi patofisiologi, terdapat kegagalan jantung memompakan darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan. Suatu definisi objektif yang sederhana hamper tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat nilai batas yang tegas pada disfungsi ventrikel.<br />Etiologinya berkembang secara lambat. Jantung mempunyai waktu untuk berkompensasi (hipertrofi ventrikel), Penderita sanggup mentoleransi penurunan cardiac output.<br />Guna kepentingan praktis, gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom klinik yang komplek disertai keluhan gagal jantung berupa sesak, fatik, baik dalam keadaan latihan ataupun istirahat , edema, dan tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat<br />2. Gagal Jantung Akut :<br />Didefinisikan sebagai serangan akut dari gejala-gejala atau tanda-tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya sakit jantung sebelumnya.<br />Etiologinya berkembang cepat, ada faktor presipitasi, Perfusi organ-organ tidak adekwat, Bendungan akut vena-vena ke ventrikel, Dekompensasi kordis terjadi secara tiba-tiba<br />3. Gagal Jantung Kiri dan Kanan.<br />Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena pulmonalis dan paru menyebabkan sesak dan ortopnea. Gagal jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti pada hipertensi pulmonal , tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis. Tetapi karena perubahan biokimia gagal jantung terjadi pada miokard kedua ventrikel, maka retensi cairan pada gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan atau tahunan tidak lagi berbeda.<br />Maka bila etiologinya mengganggu fungsi ventrikel kiri seperti hipertensi dan penyakit jantung koroner àGAGAL JANTUNG KIRI (Left ventricular failure = LVF). Bila etiologinya lebih mengganggu fungsi ventrikel kanan seperti Infark ventrikel kanan GAGAL JANTUNG KANAN (Right ventricular failure=RVF). Kebanyakan RVF disebabkan oleh LVF.<br />4. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik.<br />Disfungsi sistolik : ketidak mampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan , fatik, kemampuan, aktifitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi.<br />Disfungsi diastolik : gagngguan relaksasi dan gangguan pengisisn ventrikel dan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi > 50%<br />Diagnosis dibuat dengan Doppler-ekokardiografi aliran darah mitral dan aliran vena pulmonalis. Tidak bisa dibedakan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik saja.<br />5. Gagal jantung Backward dan Forward.<br />tekanan atrium kanan<br />tekanan vena pulmonalis<br />Pulmonary Hypertension<br />RVF dan tekanan vena sistemik meningkat<br />bendungan (kongesti) vena organ-organ<br />backward heart failure<br />CO menurun<br />•forward failure.<br />Manifestasi gagal jantung<br />-fatigue, weakness (perfusi keotot skelet ¯ ).<br />- mental confusion.<br /><br />LVDP (tekanan ventrikel kiri saat diastole), <br />4. Manifestasi klinis<br />Menurut The Framingham criteria for CHF terdapat 2 criteria major atau 1 kriteria major plus 2 kriteria minor :<br />Criteria major:<br />1. Paroxysmal nocturnal dyspnoea<br />2. Neck venin distension<br />3. Rales<br />4. Radiographic cardiomegaly<br />5. Acute pulmonary oedema<br />6. S3 gallop<br />7. CVP > 16 cm H2O<br />8. Hepatojugular reflux<br />9. Circulation time > 25 seconds<br />10. Weight loss à 4.5 kg in 5 days in response to treatment of CHF<br />11. Pulm.oedema, visc. congestion or cardiomegaly at autopsy<br />Criteria minor:<br />1. Bilateral ankle oedema<br />2. Nocturnal cough<br />3. Dyspnoea on exertion<br />4. Hepatomegaly<br />5. Pleural effusion<br />6. Heart rate ³ 120 bpm<br />7. FVC decreased by 33% from max. value recorded<br />Menurut klasifikasi NYHA :<br />Class I. No limitation: ordinary physical exercise does not cause undue fatigue, dyspnoea or palpitation.<br />Class II. Slight limitation of physical activity: comfortable at rest but ordinary activity results fatigue, palpitation or dyspnoea.<br />Class III. Marked limitation of physical activity: comfortable at rest but less than ordinary activity results in symptoms.<br />Class IV. Unable to carry out any physical activity without discomfort: symptoms of heart failure are present even at rest with increased discomfort with any physical activity.<br /><br />Gejala klinis:<br />Pada prinsipnya gejala-gejala CHF timbul akibat menurunnya CO atau terjadinya bendungan vena pulmonalis dan vena sistemik<br />I. Fatigue, weakness.<br />Timbul akibat turunnya CO mengakibatkan penghantaran O2 ke otot skelet tidak adekwatà early anaerobic metabolism & acidosis. Juga perubahan di otot skelet sendiri : deconditioning, atrofi, kelainan struktur dan seluler, gangguan elektrolit dan depressi.<br />II. Dyspnoea.<br />Meningkatnya tekanan pengisian LV mengakibatkan tekanan atrium kiri meningkat sehingga transudasi cairan ke paru-paru à compliance paru-paru menurun maka usaha bernafas meningkat..Sensasi dyspnoea juga bisa disebabkan oleh menurunnya aliran darah keotot-otot pernapasan. Awalnya dyspnoea hanya terjadi waktu exercise, tapi bila CHF memburuk, dyspnoea juga bisa timbul pada waktu beristrahat.<br />III. Orthopnoea.<br />Merupakan kesukaran bernapas yang timbul setelah berbaring telentang (supine) beberapa menit. Pada posisi supine àpooling perifer menurunà venous return (VR) meningkatà tekanan pengisian LV meningkatàbendungan paru.<br />IV. Paroxysmal Nocturnal Dyspnoea (PND).<br />Penderita dengan CHF mungkin terbangun dari tidurnya secara mendadak akibat perasaan susah bernapas beberapa jam setelah tidur telentang. PND khas terjadi pada penderita dengan edema perifer. PND timbul akibat bendungan paru yang meningkat, setelah terjadinya mobilisasi cairan secara gradual sewaktu kaki ditinggikan.<br />V. Cough.<br /> Sering menyertai gejala dyspnoea, orthopnoea dan PND. Batuk disebabkan oleh edema cabang bronchial atau adanya tekanan pada cabang bronkhus akibat pembesaran atrium kiri. (LA enlargement).<br />VI. Nocturia.<br /> Retensi garam dan air pada CHF àproduksi urine menurun (selama terjaga/ siang hari). Namun pada posisi supine/malam hari terjadi mobilisasi cairan secara gradual sehingga timbullah nocturia.<br />VII. Anorexia.<br /> CO menurun disertai vasokonstriksi splanchnic àperfusi viscera abdominalis menurun sehinnga timbul gejala-gejala nausea, vomiting dan nyeri perut dan nafsu makan menghilang dan berat badan menurun.Gejala tadi diperburuk dengan adanya edema intestinal yang menyertai peningkatan tekanan vena sistemik. Dan malabsorbsi dan protein-losing enteropathy dapat terjadi bila edema intestinal makin bertambah.<br />VIII. Right upper quadrant (epigastric) discomfort.<br />Gagal jantung kananà bendungan sistemik à hepatomegali à distensi capsula hepatis ànyeri perut kanan atas (hipokhondrium kanan) / nyeri epigastrium.<br />Symptom APE biasanya lebih berat dan timbul lebih cepat dibanding CHF kronis. Penderita mengeluh sesak napas mendadak disertai wheezing dan batuk paroxismal, dengan produksi sputum yang banyak berbusa dan berwarna merah. Transudasi cairan yang banyak kedalam ruang alveolar bisa menimbulkan perasaan kelelap (tenggelam) yang kerap kali disertai dengan anxietas akut dan rasa cemas akan kematian. Keringat banyak dan muka pucat akibat rangsangan simpatis.<br />Tanda-tanda CHF kronis bervariasi tergantung pada penyakit dasarnya, apakah hanya ada gagal ventrikel kiri saja atau berkombinasi dengan gagal ventrikel kanan<br />I. Tachycardia.<br />Terjadi Penurunan SV. HR meningkat disebabkan oleh tonus simpatis meningkat ( melalui perangsangan baroreseptor karotis dan aorta ).<br />II. Cheyne-Stokes respiration.<br />Type pernapasan hiperventilasi diselingi periode apnoea, dijumpai pada CHF yang lanjut dengan mekanisme tak jelas, tapi mayoritas biasanya dijumpai pada penderita dengan kelainan serebral yang luas dan menunjukkan adanya peningkatan sensitivitas pada pusat pernapasan untuk<br /> meningkatkan level karbon dioksida.<br />III. Cyanosis.<br />Menurunnya pengangkutan O2 kejaringan perifer dan meningkatnya ekstraksi O2 di perifer pada penderita CHF ® Hb menurun secara bermakna ( 5 gr%) ® sianosis.<br />IV. Pulsus alternans.<br />Pada CHF berat denyut jantung bisa berubah-ubah ®BP bisa berubah-ubah pula ( perbedaan > 5 mmHg).<br />V. Rales.<br />Bersama-sama dengan rhonchi dan wheezing, rales merupakan tanda yang umum dari bendungan paru, tanda ini bisa hilang walaupun terdapat peningkatan LVFP akibat aktivitas drainage limfatik paru ­.<br />VI. Jugular venous pressure­.<br />Merupakan refleksi peningkatan tekanan vena sistemik pada gagal jantung kanan (RVF). Kompressi manual pada abdomen ® VR­ ® level dan pulsasi vena jugularis­. (hepato-jugular reflux test).<br />VII.Precordial palpation.<br />Kardiomegali akibat CHF ® Impuls apeks kordis berpindah kekiri bawah (pda LVF). Bila ada PH dan RVF ® impuls teraba pada daerah substernal, parasternal kiri atau subxyphoid.<br />VIII. Heart sounds.<br />Tidak ada tirotoksikosis, MS, atau pemendekan interval PR (pada EKG) ® S1 melemah (kontraksi ventrikel melemah). Bila ada PH ® S2(P2) mengeras. Bila ada paradoxical splitting S2 ® waktu ejeksi LV memanjang (pada hipertensi yang dihubungkan dengan LVF. Terdengar gallop S3 (ventrikel) dan S4 (atrial) yang kadang-kadang teraba pada palpasi apeks kordis.<br />IX. Murmurs.<br />Murmur (bising jantung) yang terdengar sesuai dengan kelainan anatomis yang ada. Bising jantung bisa bersifat organis ataupun fisiologis.<br />X. Hepatosplenomegaly.<br />Jika pada gagal jantung kanan (RVF) ® bendungan vena sistemik® hepatomegali dan kadang-kadang dgn splenomegali. Bila ada Insufisiensi trikuspidalis ® teraba pulsasi pada hepar. CHF kronis ® terjadi deposisi progressif jaringan ikat dihepar ® sirosis hepatis (sirosis kardiak) ® ikterus.<br />XI. Ascites.<br />Terjadi sekunder akibat hipertensi portal (tekanan vena sistemik meningkat bila ada gagal jantung kanan/RVF).<br />XII. Peripheral oedema.<br />Secara primer merupakan tanda dari RVF, tapi bisa juga dijumpai pada gagal jantung kiri/ LVF.<br />Curiga gagal jantung<br />Nilai gejala dan tanda5. pemeriksaan penunjang<br />Penyskit jantung?<br />EKG/BNP/foto roentgen?<br /> <br />normal<br />Pertimbangkan diagnosa lain<br /><br />Evaluasi fungsi jantung dengan EKG atau pencitraan lain<br />normal<br /><br /><br />Gagal jantung dengan ekokardiografi<br />Seleksi tes (angio, monitoring hemodinamik unit, PAC)<br /><br />Cari tipe dan beratnya<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />6. Penatalaksanaan<br />Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)<br />ACEI merupakan“first line therapy”.<br /> Efek klinisnya :<br /> - Menghambat “angiotensin-converting enzyme” meningkatkan<br /> CO (stroke work dan cardiac index), tanpa meningkatkan HR.<br /> Pemberiannya dimulai dengan dosis rendah kemudian dititrasi.<br /><br /> Contra indications/precautions:<br /> - pregnancy<br /> - angioneurotic oedema<br /> - hypotension<br /> - renal vascular disease<br /> - hyperkalemia<br />Drug Initiating dose Maintenance<br />• Benazepril 2,5 mg 5-10 mg b.I.d.<br />• Captopril 6.25 mg t.I.d. 25-50 mg t.I.d.<br />• Enalapril 2.5 mg daily 10 mg b.I.d.<br />• Lisinopril 2.5 mg daily 5-20 mg daily<br />• Quinapril 2.5-5 mg daily 5-10 mg daily<br />• Perindopril 2 mg daily 4 mg daily<br />• Ramipril 1.25-2.5 mg daily 2.5-5 mg b.I.d.<br />• Cilazapril 0.5 mg daily 1-2.5 mg daily<br />• Fosinopril 10 mg daily 20 mg daily<br />• Trandolapril 1 mg daily 4 mg daily<br /><br />Diuretics<br />menanggulangi kelebihan cairan, bendungan paru atau edema perifer.<br />Diuretika sebaiknya dikombinasi dengan ACEI bila memungkinkan.<br /> Pemberian diuretika:<br /> - dimulai dengan loop-diuretics (furosemide) atau HCT.<br /> - Bila GFR < 30 ml jangan beri HCT.<br /> Bila tidak memberi respons yang cukup :<br /> - increase dose of diuretic<br /> - combine furosemide and HCT.<br /> Potassium-sparing diuretics: triamterene, amiloride, spironolactone :<br /> - Digunakan hanya bila hipokalemia menetap setelah pemberian<br /> ACEI dan diuretika.<br /> - Mulai dengan dosis rendah selama satu minggu, periksa creatinine dan K<br /> setelah 5-7 hari dan dosis kemudian dititrasi.<br />Beta-adrenoceptor antagonists<br />menghambat pengaruh yang jelek dari aktivasi kronis sistim neurohormonal pada miokard ( dalam hal ini SSS). Beta-blockers dianjurkan pada penderita CHF :<br /> - baik yang ringan, sedang maupun yang berat,<br /> - kausa kardiomiopati iskemik maupun non-iskemik,<br /> - fraksi ejeksi LV ;<br /> - NYHA class II-IV.<br /> Hanya diberikan pada penderita yang telah stabil dengan terapi standard (diuretika dan ACEI), ---- kecuali bila ada indikasi kontra. Dimulai dengan dosis yang paling kecil, lalu dititrasi. Saat ini ada 3 jenis obat : Carvedilol (antagonis beta-1, beta-2, dan alfa-1), bisoprolol (antagonis selektif beta-1) dan metoprolol (antagonis- selektif beta-1).<br />Angiotensin II receptor antagonists (AIIRA)<br />AIIRA = Angiotensin II receptor blockers (ARB) diberikan pada penderita yang tak dapat mentoleransi ACEI sebagai terapi simptomatik. Tidak jelas apakah ARB sama efektif dengan ACEI dalam hal penurunan mortalitas. Kombinasi dengan ACEI:<br /> - memberi perbaikan bermakna terhadap gejala-gejala CHF,<br /> - mengurangi kekerapan hospitalisasi (akibat perburukan gejala).<br /> Efek batuk lebih kurang dibanding dengan ACEI. Monitoring terhadap fungsi ginjal juga penting seperti halnya dgn ACEI.<br />Cardiac glycosides<br />diindikasikan pada atrial fibrillation dengan gejala symptomatic HF, dengan atau tanpa LV dysfunction in order to slow ventricular rate, thereby improving ventricular function and symptoms. kombination digoxin dengan beta-blocker lebih baik dibandingkan dengan pemberian tunggal. Cardiac glycoside yang lain adalah digitoxin yang efek farmakodinamiknya sama dengan digoxin, namun efek farmakokinetiknya berbeda.<br />Contraindication cardiac glycosides : bradycardia, hypokalemia, and hypercalcemia. Dosis harian DIGOXIN (oral) : 0,25 – 0,375 mg bila serum creatinine dalam batas normal (pada orang tua, dosis lebih rendah 0,0625- 0,125 mg, kadang-kadang 0,25 mg). Tidak perlu “loading dose” bila diberikan pada penderita CHF kronis à dapat dimulai dengan 0,25 mg dua kali sehari selama 2 hari. Sebelum terapi, fungsi renal dan kadar K darah harus selalu diperiksa. Pada renal failure dosis digoxin harus dikurangi.<br />Vasodilator agents<br />Vasodilators are classified according to site of their action :<br /> = Predominant arterial dilators : hydralazine, phentolamine, prazosin.<br /> = Mixeed arterial and venous dilators : Na nitroprusside, ACEI.<br /> = Predominant venodilators : nitrates.<br />Tidak ada peranan spesifik dari vasodilator (khususnya hydralazine,isosorbide dinitrate) pada pengelolaan terapi tambahan bila ada angina pectoris atau hipertensi.<br />Pada kasus-kasus dengan intoleransi ACEI, ARB merupakan pilihan yang dikombinasi dengan hidralazine-nitrate. Hidralazine-nitrat umumnya diberikan pada penderita NYHA II-IV.Contraindications/precautions adalah hypotension,<br />Dosis : - Hidralazin : 25 mg (2X sehari) sampai 50 mg (3 kali sehari) plus Isosorbid dinitrat (ISDN) slow release 2x20 mg -3x60 mg.<br />Alternatif : ISDN 3x 10-20 mg.; Isosorbid mononitrat 10-20 mg (sekali sehari); Nitrogliserine patch 5-10 mg/12 –24 jam.<br />Anticoagulants/Antithrombotic<br />Pada CHF berat (NYHA IV), ada kecenderungan peningkatan terjadinya tromboemboli yang berasal dari trombus mural LV. Juga insiden timbulnya trombosis vena dan emboli paru<br />INDIKASI ANTIKOAGULAN :<br /> Moderate-severe CHF (NYHA III-IV) in Atrial fibrillation (AF). Severe CHF (NYHA IV). CHF with valve disease in AF.<br /><br />INDIKASI KONTRA :<br /> Keadaan yang cenderung terjadi perdarahan gastrointestinal (ulkus peptik). hipertensi, endokarditis. Kehamilan (trimester I dan III).<br />JENIS OBAT :<br />Warfarin, Acenocoumarin, Low molecular weight heparin (LMWH).<br />Antiarrhythmic drugs<br />Secara umum, tidak ada indikasi pemberian obat anti-aritmik pada CHF. Indikasinya bersifat individual (bila ada AF, SVT atau takhikardia ventrikel yang menetap). Jenis obat : Sulfas chinidine, beta-blocker, amiodarone.<br />Contraindication amidaron : Bradycardia, Iodine sensitivity, porphyria, pregnancy, breast-feeding, Pre-existing interstitial lung disease/ severe liver disease, pre-existing thyroid dysfunction (relative)<br />Dosis amiodarone: oral--- 200 mg (3xsehari), dosis pemeliharaan : 200 mg/hari.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />. Dahlan, zul. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai pemerbit FKUI<br />Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi edisi 6. Jakarta : EGC<br />hhtp:/medicastore.com/med/subkategori_pyk.Php?idktg<br />marry, richard, pamela C. 2006. farmakologi ulasan bergambar. new bruncwick, New jersey: coolege of pharmacy Rutgers univercsity<br />http://www.ashanet.org/seattle/events/tsunamirelief/resources/reliefworkers-bahasa-indonesian.pdf<br /><br /><br /> </span></div>ibnu zamsa firmanullahhttp://www.blogger.com/profile/04444679012279299665noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-365714640221455087.post-51226198765467685572009-05-21T10:30:00.001-07:002009-05-21T10:34:56.042-07:00<div align="justify"><span style="font-family:times new roman;font-size:85%;">BAB I<br />PENDAHULUAN<br /><br />A. LATAR BELAKANG<br />Micobacterium tuberculosis (TB) telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia, menurut WHO sekitar 8 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta orang per tahun (WHO, 1993). Di negara berkembang kematian ini merupakan 25% dari kematian penyakit yang sebenarnya dapat diadakan pencegahan. Diperkirakan 95% penderita TB berada di negara-negara berkembang Dengan munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia jumlah penderita TB akan meningkat. Kematian wanita karena TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan serta nifas (WHO). WHO mencanangkan keadaan darurat global untuk penyakit TB pada tahun 1993 karena diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB.<br />Di Indonesia TB kembali muncul sebagai penyebab kematian utama setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan. Penyakit TB paru, masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada semua golongan usia dan nomor I dari golongan infeksi. Antara tahun 1979 ? 1982 telah dilakukan survey prevalensi di 15 propinsi dengan hasil 200-400 penderita tiap 100.000 penduduk.<br />Diperkirakan setiap tahun 450.000 kasus baru TB dimana sekitar 1/3 penderita terdapat disekitar puskesmas, 1/3 ditemukan di pelayanan rumah sakit/klinik pemerintahd an swasta, praktek swasta dan sisanya belum terjangku unit pelayanan kesehatan. Sedangkan kematian karena TB diperkirakan 175.000 per tahun.<br />Penyakit TB menyerang sebagian besar kelompok usia kerja produktif, penderita TB kebanyakan dari kelompok sosio ekonomi rendah. Dari 1995-1998, cakupan penderita TB Paru dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy) -atau pengawasan langsung menelan obat jangka pendek/setiap hari- baru mencapai 36% dengan angka kesembuhan 87%. Sebelum strategi DOTS (1969-1994) cakupannya sebesar 56% dengan angka kesembuhan yang dapat dicapai hanya 40-60%. Karena pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak cukup dimasa lalu kemungkinan telah timbul kekebalan kuman TB terhadap OAT (obat anti tuberkulosis) secara meluas atau multi drug resistance (MDR).</span></div><div align="justify"><span style="font-family:times new roman;font-size:85%;"></span> </div><div align="justify"><span style="font-family:times new roman;font-size:85%;">BAB II<br />PEMBAHASAN<br /><br />A. DEFINISI<br />Tuberkulosis (TB) adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, khas ditandai dengan terjadinya pembentukan granuloma dan nekrosis. Infeksi ini paling sering mengenai paru, akan tetapi dapat juga meluas mengenai organ-organ tertentu.<br /><br />B. ETIOLOGI<br />Penyakit TBC disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa, Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Jenis bakteri ini pertama kali ditemukan oleh seseorang yang bernama Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, Untuk mengenang jasa beliau maka bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan penyakit TBCpada paru-paru pun dikenal juga sebagai Koch Pulmonum (KP).<br />C. CARA PENULARAN<br />Cara penularan TB paru dapat terjadi secara langsung melalui percikan dahak yang mengandung kuman TB, terisap oleh orang sehat melalui jalan napas dan kemudian berkembang biak di paru. Dapat juga terjadi secara tidak langsung bila dahak yang dibatukkan penderita ke lantai atau tanah kemudian mengering dan menyatu dengan debu, lalu beterbangan di udara; bila terisap orang sehat akan dapat menjadi sakit. Berdasarkan cara-cara penularan ini, TB paru juga dimasukkan dalam golongan airbone disease.<br />Penularan penyakit TBC adalah melalui udara yang tercemar oleh Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan/dikeluarkan oleh si penderita TBC saat batuk dalam bentuk Droplet (percikan Dahak) yang mengandung kuman yang dapat bertahan diudara pada suhu kamar selama beberapa jam. Bakteri ini masuk kedalam paru-paru dan berkumpul hingga berkembang menjadi banyak terutama pada orang yang memiliki daya tahan tubuh rendah tetapi pada seseorang dengan kondisi daya tahan tubuh (Imun) yang baik, bentuk tuberkel ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Bakteri ini dapat mengalami penyebaran melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening sehingga menyebabkan terinfeksinya organ tubuh yang lain seperti otak, ginjal, saluran cerna, tulang, kelenjar getah bening dan lainnya meski yang paling banyak adalah organ paru.<br />Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.<br />Masuknya Mikobakterium tuberkulosa ke dalam organ paru menyebabkan infeksi pada paru-paru dapat melalui hirupan udara droplet, dari makanan atau susu yang terkontaminasi kuman tuberkulosis sehingga dapat terjadi infeksi primer pada usus, atau terkadang pada amandel. Melalui kulit yang terdapat luka atau goresan, sehingga TB dapat masuk dan menyebabkan infeksi yang serupa dengan yang ditemkan pada paru dengan lokasi yang paling terpajan seperti wajah, tungkau, atau kaki, lebih jarang pada lengan atau tangan, dimana segeralah terjadi pertumbuhan koloni bakteri yang berbentuk bulat (globular). Dengan reaksi imunologis, sel-sel pada dinding paru berusaha menghambat bakteri TBC ini melalui mekanisme alamianya membentuk jaringan parut. Akibatnya bakteri TBC tersebut akan berdiam/istirahat (dormant) seperti yang tampak sebagai tuberkel pada pemeriksaan X-ray atau photo rontgen.<br />Lain hal pada orang yang memilki sistem kekebelan tubuh rendah atau kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Sehingga tuberkel yang banyak ini berkumpul membentuk sebuah ruang didalam rongga paru, Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (riak/dahak). Maka orang yang rongga parunya memproduksi sputum dan didapati mikroba tuberkulosa disebut sedang mengalami pertumbuhan tuberkel dan positif terinfeksi TBC.<br /><br /><br />D. PERKEMBANGAN ALAMIAH TB PARU<br />1) Tuberkulosis primer<br />Infeksi primer terjadi sebagian besar pada anak-anak umur di atas 5 tahun. Sumber penularan berasal dari penderita yang mengeluarkan kuman, biasanya dengan kontak erat terus menerus.<br />Empat minggu setelah kuman TB masuk melalui saluran napas, akan terjadi fokus primer di paru, diikuti dengan pembesaran kelenjar getah bening hilus/regional. Fokus primer yang disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening regional dikenal dengan kompleks primer.<br />Pada sebagian kecil anak akan menunjukkan gejala-gejala, akan tetapi kebanyakan tanpa gejala, uji tuberkulin menjadi positip. Kadang-kadang dapat terjadi pembesaran kelenjar getah bening yang hebat, sehingga menyebabkan paru kolaps disertai dengan penekanan pada bronkus dan hilus; fenomena ini disebut epituberkulosis; keadaan ini akan menimbulkan reaksi hipersensitif dari parenkim paru sehingga dapat terjadi kavitas atau efusi pleura.<br />Penyebaran infeksi TB dapat melalui : Percabangan bronkus, menyebar ke paru yang lain, taring, dan juga dapat ke saluran cerna; Sistem limfe, menyebabkan limfadenopati regional atau secara tak langsung melalui duktus limfatikus masuk ke dalam darah, menimbulkan penyebaran miller; Aliran darah, pembuluh balik pulmoner dapat membawa bahan-bahan yang infektif, menyebar jauh terutama ke tulang, ginjal, kelenjar adrenal, otak dan selaput otak.<br />2) Infeksi post primer<br />Infeksi post primer diartikan terjadinya TB paru setelah beberapa saat mendapatkan infeksi primer dan telah timbul reaksi hipersensitivitas. Dalam hal ini termasuk kasus-kasus reinfeksi atau reaktivasi dari infeksi yang terjadi beberapa tahun kemudian.<br />Reaktivasi cenderung terjadi pada usia produktif, biasanya berkisar di antara 15 – 40 tahun. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya reaktivasi ini adalah gangguan pada sistem imunologik tubuh. Tuberkulosis post primer biasanya paling sering terletak pada segmen apikal lobus atas maupun lobus bawah.<br /><br />E. PATOFISIOLOGI<br />Tuberkulosis primer terjadi pada individu yang terpapar pertama kali dengan kuman tuberkulosis, sedangkan tuberkulosis paru kronik (reaktivasi atau pasca primer) adalah hasil reaktivasi infeksi tuberkulosis pada suatu fokus dorman yang terjadi beberapa tahun lalu. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap reaktivasi belum dipahami secara keseluruhan.<br />Organ tubuh yang paling banyak diserang tuberkulosis adalah paru. Beberapa penelitian menunjukkan adanya kenaikan limfosit alveolar, netrofil pada sel bronkoalveolar dan HLA-DR pada pasien tuberkulosis paru.<br />Patogenesis tuberkulosis dimulai dari masuknya kuman sampai timbulnya berbagai gejala klinis yang digambarkan sebagai berikut:<br /><br />Bakteri yang terhirup<br />Bakteri mencapai paru, masuk ke makrofag<br />Bakteri berkembang dalam makrofag<br />Mulai terbentuk lesi (causa necrosis)<br />Bakteri berhenti tumbuh, lesi mengeras<br />Lesi mencair<br />Bakteri keluar lewat sputum<br />Reaktivasi<br />Menyebar ke darah, organ lain<br />Kematian<br />Imunitas menurun<br />Aktivasi makrofag<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />M. tuberculosis yang terhirup dan masuk ke paru akan ditelan oleh makrofag alveolar, selanjutnya makrofag akan melakukan 3 fungsi penting, yaitu; 1) menghasilkan ensim proteolitik dan metabolit lain yang mempunyai efek mikobakterisidal; 2) menghasilkan mediator terlarut (sitokin) sebagai respon terhadap M. tuberculosis berupa IL-1, IL-6, TNF (Tumor Necrosis Factor alfa), TGF (Transforming Growth Factor beta) dan 3) memproses dan mempresentasikan antigen mikobakteri pada limfosit T.<br />Sitokin yang dihasilkan makrofag mempunyai potensi untuk menekan efek imunoregulator dan menyebabkan manifestasi klinis terhadap tuberkulosis. IL-1 merupakan pirogen endogen menyebabkan demam sebagai karakteristik tuberkulosis. IL-6 akan meningkatkan produksi imunoglobulin oleh sel B yang teraktivasi, menyebabkan hiperglobulinemia yang banyak dijumpai pada pasien tuberkulosis. TGF<br />berfungsi sama dengan IFN untuk meningkatkan produksi metabolit nitrit oksida dan membunuh bakteri serta diperlukan untuk pembentukan granuloma untuk mengatasi infeksi mikobakteri. Selain itu TNF dapat menyebabkan efek patogenesis seperti demam, menurunnya berat badan dan nekrosis jaringan yang merupakan ciri khas tuberkulsois. Pada pasien tuberkulosis TNF juga berperan untuk meningkatkan kerentanan sel T melakukan apoptosis baik secara spontan maupun oleh stimulasi M. tuberculosis secara in vitro. IL-10 menghambat produksi sitokin oleh monosit dan limfosit sedangkan TGF menekan proliferasi sel T dan menghambat fungsi efektor makrofag.<br />Satu kali batuk dapat menghasilkan 3000 droplet infektan. Beberapanya sampai 10 kuman mycobacterial basil memulai menginfeksi paru-paru (Sherris, 1990). Infektan TB merupakan infeksi laten atau active disease. Bergantung pada populasi, 10-30% infektan individual berkembang langsung untuk menjadi penyakit primer. Perkembangannya, bagaimanapun, infektan TB menghasilkan infeksi laten asimtomatik. Perubahan Skin test dan identifikasi dari Ghon complex pada radiologi dada merupakan rata-rata kasus sebagai indentifikasi.<br />Pasien seringkali meraskan sehat untuk beberapa tahun, bagaimanapun, yang menunjukkan aktivasi pada penyakit ini terjadi karena stresor imunologik. Seperti yang sering terjadinya reaktivasi sekitar 1% per tahun pada immunocompetent hosts. Terjadi perubahan sekitar 10% pada pasien dengan pengaruh imunologik. Sementara asimtomatik, pasien dengan infeksi laten tidak menularkan. Yang memenuhi syarat seperti INH propilaxis, dengan menurunkan yang signifikan dengan resiko penyakit reaktivasi dikemudian.<br />Pengobatan ditandai dengan berkurangnya infeksi. Dosis pertama medikamentosa mengurangi produksi basilari sekitar 10 kali lipat. Terapi untuk dua minggu mengurangi produksi basilari sekitar 100 kali lipat. Pasien memerlukan ketiga pemeriksaan sputum negatif untuk dianggak tidak menularkan, dimana diharuskan pengobatan selama empat minggu.<br /><br />F. GEJALA KLINIS<br />Gejala penyakit TBC digolongkan menjadi dua bagian, yaitu gejala umum dan gejala khusus. Sulitnya mendeteksi dan menegakkan diagnosa TBC adalah disebabkan gambaran secara klinis dari si penderita yang tidak khas, terutama pada kasus-kasus baru.<br />1. Gejala umum (Sistemik)<br />- Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.<br />- Penurunan nafsu makan dan berat badan.<br />- Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).<br />- Perasaan tidak enak (malaise), lemah.<br />2. Gejala khusus (Khas)<br />- Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.<br />- Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.<br />- Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.<br />- Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.<br />Pada penderita usia anak-anak apabila tidak menimbulkan gejala, Maka TBC dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Sekitar 30-50% anak-anak yang terjadi kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah. Gambaran klinis pada anak yang biasanya akan ditemukan :<br />1. Berat badan tidak naik atau turun selama lebih dari 4 minggu (adanya grafis kenaikan berat badan akan sangat berguna)<br />2. Kehilangan gairah dan mungkin juga berat badan turun selama 2-3 bulan<br />3. Selain salah satu dari 1 dan 2 yang dijelaskan diatas disertai dengan mengi atau batuk yang sesekali dapat menyerupai batuk rejan.<br />4. Demam atau meriang selama lebih dari satu minggu tanpa penyebab yang jelas.<br />5. Salah satu dari 1,2,3 disertai tanda-tanda cairan, pekak pada salah satu sisi dada.<br />6. Perut membuncit, terutama bila teraba benjolan dan yang tetap bertahan setelah diberi obat cacing atau obat.<br />7. Diare kronis dengan buang air besar tinja keputihan yang tidak sembuh setelah diberi obat cacing atau obat untuk giardiasis (dengan metrodinazole)<br />8. Jalan tinpang, punggung kaku sukar membungkuk<br />9. Tulang belakang membungkuk, tidak atau kaku saat berjalan<br />10. Pembengkakan lutut atau pergelangan kaki, tangan, siku atau bahu, iga atau tulang atau sendi yang manapun yang tidak disebabkan cedera.<br />11. Pembengkakan kelenjar getah bening yang keras atau lembut, tidak nyeri, terkadang dengan beberapa kelenjar getah bening kecil didekatnya dan terkadang melekat tak teratur.<br />12. Abses kele<br /><br /><br />G. DIAGNOSIS<br />Penegakan Diagnosis pada TBC, Apabila seseorang dicurigai menderita atau tertular penyakit TBC, Maka ada beberapa hal pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk memeberikan diagnosa yang tepat antara lain :<br />- Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.<br />- Pemeriksaan fisik secara langsung.<br />- Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).<br />- Pemeriksaan patologi anatomi (PA).<br />- Rontgen dada (thorax photo).<br />- dan Uji tuberkulin.<br />Diagnosis TB berdasarkan letak dari infeksinya yaitu TB paru dan TB ekstra paru.<br />Diagnosis TB paru:<br />- Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).<br />- Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.<br />- Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.<br />- Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.<br />- Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.<br /><br />Diagnosis TB ekstra paru :<br />- Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.<br />- Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.<br /><br />H. PENATALAKSANAAN<br />Pengobatan bagi penderita penyakit TBC akan menjalani proses yang cukup lama, yaitu berkisar dari 6 bulan sampai 9 bulan atau bahkan bisa lebih. Penyakit TBC dapat disembuhkan secara total apabila penderita secara rutin mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan dokter dan memperbaiki daya tahan tubuhnya dengan gizi yang cukup baik.<br />Selama proses pengobatan, untuk mengetahui perkembangannya yang lebih baik maka disarankan pada penderita untuk menjalani pemeriksaan baik darah, sputum, urine dan X-ray atau rontgen setiap 3 bulannya. Adapun obat-obtan yang umumnya diberikan adalah Isoniazid dan rifampin sebagai pengobatan dasar bagi penderita TBC, namun karena adanya kemungkinan resistensi dengan kedua obat tersebut maka dokter akan memutuskan memberikan tambahan obat seperti pyrazinamide dan streptomycin sulfate atau ethambutol HCL sebagai satu kesatuan yang dikenal 'Triple Drug'.<br />Pengobatan pada penderita TB akan dijelaskan Non-Farmakologi dan Farmakologi, sebagai berikut.<br />Non-Farmakologi<br />- X-Ray Dada : uji diagnostik yang sering digunakan untuk memastikan kecurigaan infeksi.<br />o Pada TB Primer akan menunjukan abnormalitas pada lapangan paru bagian tengah dan bawah, dan mungkin ditemukan pembesaran kelenjar limfe.<br />o Reaktivasi kuman TB menunjukan infiltrat pada lapangan paru bagian atas.<br />o Tuberkulosis Miliar menunjukan diffuse nodules<br />- Test Kulit Mantoux : tes ini dapat membantu mengidentifikasi seseorang yang terinfeksi M tuberkulosis tetapi tidak mempunya tanda gejala.<br />o <br />- Mantoux skin test: This test helps identify people infected with M tuberculosis but who have no symptoms. A doctor must read the test.<br />o The doctor will inject 5 units of purified protein derivative (PPD) into your skin. If a raised bump of more than 5 mm (0.2 in) appears at the site 48 hours later, the test may be positive.<br />o This test can often indicate disease when there is none (false positive). Also, it can show no disease when you may in fact have TB (false negative).<br />- Sputum testing: Sputum testing for acid-fast bacilli is the only test that confirms a TB diagnosis. If sputum (the mucus you cough up) is available, or can be induced, a lab test may give a positive result in up to 30% of people with active disease.<br />o Sputum or other bodily secretions such as from your stomach or lung fluid can be cultured for growth of mycobacteria to confirm the diagnosis.<br />o It may take 1-3 weeks to detect growth, but 8-12 weeks to be certain.<br /><br />Farmakologi<br /> Pengobatan dengan OAT seperti sedikit dijelaskan diatas.<br /><br /><br />BAB III<br />PENUTUP<br /><br />A. KESIMPULAN<br />Penyakit Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis), sebagian besar kuman TB menyerang Paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Gejala penyakit TBC digolongkan menjadi dua bagian, yaitu gejala umum dan gejala khusus. Gejala umum (Sistemik) : Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul; Penurunan nafsu makan dan berat badan; Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah); Perasaan tidak enak (malaise), lemah. Gejala khusus (Khas) : Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak; Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada; Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah; Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang. Penegakan Diagnosis pada TBC, ada beberapa hal pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk memeberikan diagnosa yang tepat antara lain : Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya; Pemeriksaan fisik secara langsung; Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak); Pemeriksaan patologi anatomi (PA); Rontgen dada (thorax photo); dan Uji tuberkulin. Pengobatan TBC berkisar dari 6 bulan sampai 9 bulan atau bahkan bisa lebih. Penyakit TBC dapat disembuhkan secara total apabila penderita secara rutin mengkonsumsi obat-obatan OAT yang diberikan dokter dan memperbaiki daya tahan tubuhnya dengan gizi yang cukup baik.<br /> </span></div><div align="justify"><span style="font-family:times new roman;font-size:85%;">DAFTAR PUSTAKA<br /><br />• Sjaifullah Noer, Prof. Dr. H. M. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Ed.ketiga. Balai Penerbit FKUI : Jakarta. 2003<br />• Jhon Crofton, Norman Horne, Fred Miller, Ahli Bahasa Muherman Harun et al. Tuberkulosis Klinis Ed.2 Cetakan I. Widya Medika : Jakarta. 2002<br />• Available from Cermin dunia kedokteran with tuberculosis III, II, 2008.Available from Penanggulangan Tuberkulosis</span></div>ibnu zamsa firmanullahhttp://www.blogger.com/profile/04444679012279299665noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-365714640221455087.post-12364869640438084952009-05-19T19:41:00.000-07:002009-05-19T19:46:52.720-07:00<p align="justify"><span style="font-size:78%;">BAB I<br />PENDAHULUAN<br /><br />Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai Negara di seluruh dunia. Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu aktivitas bahkan kegiatan harian. Produktivitas menurun akibat bolos kerja atau sekolah dan dapat menimbulkan kecacatan sehingga menambah penurunan produktivitas serta menurunkan kualitas hidup. 1<br /><br />Istilah asma berasal dari bahasa Yunani asthma yang berarti “sengal-sengal”. Dalam pengertian klinik, asma dapat kita artikan sebagai batuk yang disertai sesak napas berulang dengan atau tanpa disertai mengi. 1<br /><br />Penyebab asma dapat berasal dari gangguan pada saluran pernapasan yang kita kenal sebagai asma bronkial dan bisa juga berasal dari jantung yang kita kenal sebagai asma jantung. Istilah bronkial sendiri merujuk pada bronkus. Istilah tersebut berasal dari bahasa Inggris, “bronchial.” Dengan demikian, asma bronkial dapat dipahami sebagai asma yang penyebabnya berkaitan dengan bronkus. 1 <br /><br />Pada penderita asma bronkial terjadi penyempitan bronkus secara berulang-ulang. Di antara masa serangan tersebut, terdapat fungsi dimana fungsi ventilasi paru mendekati keadaan normal. 1<br /><br />Serangan asma dapat berupa serangan sesak napas ekspiratoir yang paroksismal, berulang-ulang dengan mengi (“wheezing”) dan batuk yang disebabkan oleh konstriksi atau spasme otot bronkus, inflamasi mukosa bronkus dan produksi lendir kental yang berlebihan. 2<br /><br />Asma merupakan penyakit familiar yang diturunkan secara poligenik dan multifaktorial. Telah ditemukan hubungan antara asma dan lokus histokompatibiltas (HLA) dan tanda genetik pada molekul imunoglobulin G (IgG). 2 <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB II<br />ISI<br /><br />Definisi<br /><br />Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam hari atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.<br /><br />Secara khas, sebagian besar serangan berlangsung singkat selama beberapa menit hingga beberapa jam setelah itu, pasien tampak mengalami kesembuhan klinik yang total. Namun demikian, ada suatu fase ketika pasien mengalami obstruksi jalan napas dengan derajat tertentu setiap harinya. Fase ini dapat ringan dengan atau tanpa disertai episode yang berat atau yang lebih serius lagi, dengan obstruksi hebat yang berlangsung selama berhari-hari atau berminggu-minggu. Keadaan semacam ini dikenal sebagai status asmatikus. Pada beberapa keadaan yang jarang terdapat, serangan asma yang akut dapat berakhir dengan kematian. 3<br /><br />Etiologi<br /><br /> Dari sudut etiologik, asma merupakan penyakit heterogenosa. Klasifikasi asma dibuat berdasarkan rangsangan utama yang membangkitkan atau rangsangan yang berkaitan dengan episode akut. 3 Berdasarkan stimuli yang menyebabkan asma, dua kategori timbal balik dapat dipisahkan :<br />1. Asma ekstrinsik imunologik<br />Ditemukan kurang dari 10% dari semua kasus. Biasanya terlihat pada anak-anak, umumnya tidak berat dan lebih mudah ditangani daripada bentuk intrinsik. Kebanyakan penderita adalah atopik dan mempunyai riwayat keluarga yang jelas dari semua bentuk alergi dan mungkin asma bronkial.<br />2. Asma intrinsik imunologik<br />Dapat terjadi pada segala usia dan ada kecenderungan untuk lebih sering kambuh dan berat. Lebih sering berkembang ke status asmatikus.<br />Banyak penderita mempunyai kedua bentuk asma diatas. Penting untuk ditekankan bahwa perbedaan ini sering hanya merupakan perkiraan saja dan jawaban terhadap subklasifikasi yang diberikan biasanya dapat dibangkitkan oleh lebih dari satu jenis rangsangan. Dengan mengingat hal ini, dapat diperoleh dua kelompok besar, yaitu alergi dan idiosinkrasi. 3<br /><br /> Asma alergik seringkali disertai dengan riwayat pribadi dan atau keluarga mengenai penyakit alergi, seperti rinitis, urtikaria dan ekzema. Reaksi kulit wheal and flare yang positif terhadap penyuntikan intradermal ekstrak antigen yang terbawa udara, peningkatan kadar IgE dalam serum dan respons positif terhadap tes provokasi yang meliputi inhalasi antigen spesifik. 3<br /><br /> Idiosinkrasi disebut sebagai bagian dari populasi pasien asma yang akan memperlihatkan riwayat alergi pribadi atau keluarga negative, uji kulit negatif, dan kadar IgE serum normal. Oleh sebab itu tidak dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme imunologik yang sudah jelas. Banyak pasien kelompok ini akan menderita kompleks gejala yang khusus berdasarkan gangguan saluran napas bagian atas. Gejala awal mungkin hanya berupa gejala flu biasa, tetapi setelah beberapa hari pasien mulai mengalami mengi paroksismal dan dispnea yang dapat berlangsung selama berhari-hari samapai berbulan-bulan. 3<br /> <br />Faktor risiko<br /><br />Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu dan faktor lingkungan. Interaksi faktor genetik atau pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan :<br />· Pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan genetik asma<br />· Baik faktor lingkungan maupun faktor pejamu atau genetik masing-masing meningkatkan risiko asma<br /><br />Disini faktor pejamu termasuk predisposisi yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopik), hiperreaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras. Fenotip yang berkaitan dengan asma dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif (hiperreaktivitas bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya.<br /><br /> Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan atau predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu allergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status ekonomi dan besarnya keluarga. Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja dipertimbangkan sebagai penyebab utama asma dengan pengertian faktor lingkungan tersebut pada awalnya mensensitisasi jalan napas dan mempertahankan kondisi asma tetap aktif dengan mencetuskan serangan asma atau menyebabkan menetapnya gejala.<br /> <br />Epidemiologi<br /><br />Penyakit asma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan diperkirakan 4 hingga 5% populasi penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh penyakit ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia dini. Sekitar separuh kasus timbul sebelum usia 10 tahun dan sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Pada usia kanak-kanak terdapat predisposisi laki-laki : perempuan = 2 : 1 yang kemudian menjadi sama pada usia 30 tahun. 3<br /><br />Asma merupakan 10 besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu tergambar dari data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke 5 dari 10 penyebab kesakitan bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke 4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di Indonesia sekitar 13 per 1.000 penduduk, dibandingkan bronkitis kronik 11 per 1.000 penduduk dan obstruksi paru 2 per 1.000 penduduk. 1<br /><br />Kira-kira 2–20% populasi anak dilaporkan pernah menderita asma. Belum ada penyelidikan menyeluruh mengenai angka kejadian asma pada anak di Indonesia, namun diperkirakan berkisar antara 5–10%. Dilaporkan di beberapa negara angka kejadian asma meningkat, misalnya di Jepang. Australia dan Taiwan. Di poliklinik Subbagian Paru Anak FKUI-RSCM Jakarta, lebih dari 50% kunjungan merupakan penderita asma. Jumlah kunjungan di poliklinik Subbagian Paru Anak berkisar antara 12.000–13.000 atau rata-rata 12.324 kunjungan pertahun. Pada tahun 1985 yang perlu mendapat perawatan karena serangan asma yang berat ada 5 anak, 2 anak di antaranya adalah pasien poliklinik paru. Sedang yang lainnya dikirim oleh dokter luar. Tahun 1986 hanya terdapat 1 anak dan pada tahun 1987 terdapat 1 anak yang dirawat karena serangan asma yang berat. 2<br /><br />Woolcock dan Konthen pada tahun 1990 di Bali mendapatkan prevalensi asma pada anak dengan hiperreaktivitas bronkus 2,4% dan hiperreaktivitas bronkus serta gangguan faal paru adalah 0,7%. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan kuisioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan hasil dari 402 kuisioner yang kembali dengan rata-rata umur 13,8 ± 0,8 tahun didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/recent asthma), 6,2% dari 64% diantaranya mempunyai gejala klasik. Bagian anak FKUI-RSCM melakukan studi prevalensi asma pada anak usia SLTP di Jakarta pusat pada 1995–1996 dengan mengunakan kuisioner modifikasi dari ATS, ISAAC dan Robertson, serta melakukan uji provokasi bronkus secara acak. Seluruhnya 1.296 siswa dengan usia 11 tahun 5 bulan – 18 tahun 4 bulan, didapatkan 14,7% dengan riwayat asma dan 5,8% dengan recent asthma. Tahun 2001, Yunus dkk melakukan studi prevalensi asma pada siswa SLTP se Jakarta Timur, sebanyak 2.234 anak usia 13–14 tahun melalui kuisioner ISAAC, pemeriksaan spirometri dan uji provokasi bronkus pada sebagian subjek yang dipilih secara acak. Dari studi tersebut didapatkan prevalensi asma (recent asthma) 8,9% dan prevalensi kumulatif (riwayat asma) 11,5%.<br /><br />Tahun 1993 UPF Paru RSUD dr. Sutomo Surabaya melakukan penelitian di lingkungan 37 puskesmas di Jawa Timur dengan menggunakan kuisioner modifikasi ATS, yaitu proyek pneumobile Indonesia dan Respiratory Sympton questioner of Institute of Respiratory Medicine, New South Wales dan pemeriksaan arus puncak ekspirasi (APE) menggunakan alat peak flow meter dan uji bronkodilator. Seluruhnya 6662 responden usia 13 – 70 tahun (rata-rata 35,6 tahun) mendapatkan prevalensi asma sebesar 7,7 % dengan rincian laki-laki 9,2 % dan perempuan 6,6 %. <br /><br />Patogenesis<br /><br />Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan, terutama sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.<br />1. Inflamasi akut<br />Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain virus, iritan, alergen yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. <br />· Reaksi asma tipe cepat dan spasmogenik<br />Jika ada pencetus terjadi peningkatan tahanan saluran napas yang cepat dalam 10–15 menit. Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan performed mediator seperti histamin protease dan newly generated mediator seperti leukotrien, prostaglandin dan platelet activating factor yang menyebabkan kontraksi otot polos, sekresi mukus dan vasodilatasi. Reaksi tersebut dapat hilang segera, baik secara spontan maupun dengan bronkodilator seperti simpatomimetik. Perubahan ini dapat dicegah dengan pemberian kromoglikat atau antagonis H1 dan H2 sebelumnya. Keadaan ini tidak dipengaruhi oleh pemberian kortikosteroid beberapa saat sebelumnya. Tetapi pemberian kortikosteroid untuk beberapa hari sebelumnya dapat mencegah reaksi ini.<br />· Reaksi fase lambat dan lama<br />Reaksi ini timbul antara 6–9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel CD4+, netrofil dan makrofag. Patogenesis reaksi yang tergantung pada IgE, biasanya berhubungan dengan pengumpulan netrofil 4–8 jam setelah rangsangan. Reaksi lamabat ini mungkin juga berhubungan dengan reaktivasi sel mast. Leukotrien, prostaglandin dan tromboksan mungkin juga mempunyai peranan pada reaksi lambat karena mediator ini menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang lama dan edema submukosa. Reaksi lambat dapat dihambat oleh pemberian kromiglikat, kortikosteroid, dan ketotifen sebelumnya. <br />2. Inflamasi kronik<br />Asma yang berlanjut yang tidak dobati atau kurang terkontrol berhubungan dengan inflamasi di dalam dan disekitar bronkus. Berbagai sel terlibat dan teraktivasi, seperti limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblas dan otot polos bronkus. Pada otopsi ditemukan infiltrasi bronkus oleh eosinofil dan sel mononuklear. Sering ditemukan sumbatan bronkus oleh mukus yang lengket dan kental. Sumbatan bronkus oleh mukus ini bahkan dapat terlihat sampai alveoli. Infiltrasi eosinofil dan sel-sel mononuklear terjadi akibat factor kemotaktik dari sel mast seperti ECF-A dan LTB4. Mediator PAF yang dihasilkan oleh sel mast, basofil dan makrofag yang dapat menyebabkan hipertrofi otot polos dan kerusakan mukosa bronkus serta menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat. Kortikosteroid biasanya memberikan hasil yang baik. Diduga, ketotifen dapat juga mencegah fase ketiga ini.<br /><br />· Airway remodeling<br />Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstitial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus. Perubahan struktur yang terjadi :<br />1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas.<br />2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus<br />3. Penebalan membran retikular basal<br />4. Pembuluh darah meningkat<br />5. Matriks ekstraselular fungsinya meningkat<br />6. Perubahan struktur parenkim<br />7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis<br />Airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus. Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti hiperreaktivitas jalan napas, masalah distenbilitas/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.<br /> bals T, eosinofil, makrofag, sel mast selisekitar bronkus. Berbagai sel terlibat dan teraktivasi iator ini menyeba <br />Patologi Anatomi<br /><br />Gambaran makroskopik yang penting dari asma yang lanjut adalah : (1) Mukus penyumbat dalam bronki, (2) Inflasi paru yang berlebihan, tetapi bukan emfisema yang nyata, dan (3) Kadang-kadang terdapat daerah bronkiektasis terutama dalam kasus yang berhubungan dengan aspergilosis. Jalan udara seringkali tersumbat oleh mukus, yang terdiri dari sel yang mengalami deskuamasi. Musin sering mengandung komponen seroprotein yang timbul dari reaksi peradangan hebat dalam submukosa. Dinding bronki tampak lebih tebal dari biasa. Apabila eksudat supuratif terdapat dalam lumen, maka superinfeksi dan bronkitis harus diwaspadai. 5<br /><br />Secara mikroskopik terdapat hiperplasia dari kelenjar mucus, bertambah tebalnya otot polos bronkus dan hipertofi serta hiperplasia dari sel goblet mukosa. Daerah-daerah yang tidak mengandung epitel respirasi sering ditemukan, ditambah dengan edema subepitel. Pertambahan jumlah limfosit peradangan yang agak banyak, terutama eosinofil terdapat pada mukosa yang edema. Sumbatan di dalam jalan napas mengandung : (1) Gulungan sel epitel yang lepas dan sekret protein yang membentuk spiral Curschmann, (2) Eosinofil yang padat dengan kristal Charcot-Leyden, (3) kristal Charcot-Leyden bebas yang dilepaskan oleh eosinofil, dan (4) Debris seluler. Superinfeksi bakteri dapat membentuk perubahan anatomi kea rah bronkitis. 5<br /><br />Patofisiologi<br /><br />Tanda patofisiologik asma adalah penurunan diameter jalan napas yang disebabkan oleh kontraksi otot polos, kongesti pembuluh darah, edema dinding bronkus dan sekret kental yang lengket. Hasil akhir adalah peningkatan resistensi jalan napas, penurunan ekspirasi paksa (forced expiratory volume) dan kecepatan aliran udara, hiperinflasi paru dan toraks, peningkatan kerja bernapas, perubahan fungsi otot-otot pernapasan, perubahan rekoil elastik (elastic recoil), penyebaran abnormal aliran darah ventilasi dan pulmonal dengan rasio yang tidak sesuai dan perubahan gas darah arteri. Pada dasarnya asma diperkirakan sebagai penyakit saluran napas, sesungguhnya semua aspek fungsi paru mengalami kerusakan selama serangan akut. Pada pasien yang sangat simtomatik seringkali ditemukan hipertrofi ventrikel kanan dan hipertensi paru pada elektrokardiografi. Seorang pasien yang dirawat, kapasitas vital paksa (forced vital capasity) cenderung kurang dari atau sama dengan 50% dari nilai normal. Volume ekspirasi 1 detik rata-rata 30% atau kurang dari yang diperkirakan, sementara rata-rata aliran mid ekspiratori maksimum dan minimum berkurang sampai 20% atau kurang dari yang diharapkan. Untuk mengimbangi perubahan mekanik, udara yang terperangkap (air trapping) ditemukan dalam jumlah besar. 3<br /><br />Gambaran klinik<br /><br /> Gejala asma terdiri dari trias dispnea, batuk dan mengi. Pada bentuk yang paling khas, asma merupakan penyakit episodik dan keseluruhan tiga gejala tersebut dapat timbul bersama-sama. Berhentinya episode asma kerapkali ditandai dengan batuk yang menghasilkan lendir atau mukus yang lengket seperti benang yang liat dan kerapkali berbentuk silinder dari saluran napas bagian distal (Spiral Churschmann) serta memperlihatkan sel eosinofil serta kristal Charcot-leyden jika dilihat dengan mikroskop. 3 Berbagai pembagian asma pada anak telah banyak dikemukakan. Pembagian asma menurut Phelan dkk (1983) adalah sebagai berikut :<br />1. Asma episodik jarang<br />Golongan ini merupakan 70–75% dari populasi asma anak. Biasanya terdapat pada anak umur 3–6 tahun. Serangan umumnya dicetuskan oleh infeksi virus saluran napas atas. Banyaknya serangan 3–4 kali dalam satu tahun. Lamanya serangan paling lama hanya beberapa hari saja dan jarang merupakan serangan yang berat. Gejala-gejala yang timbul lebih menonjol pada malam hari. Mengi dapat berlangsung sekitar 3–4 hari dan batuknya dapat berlangsung 10–14 hari. Waktu remisinya bermingu-minggu sampai berbulan-bulan. Manifestasi alergi lainnya misalnya eksim jarang didapatkan. Tumbuh kembang anak biasanya baik. Di luar serangan tidak ditemukan kelainan lain. 2<br />2. Asma episodik sering<br />Golongan ini merupakan 28% dari populasi asma anak. Pada dua pertiga golongan ini serangan pertama terjadi pada umur sebelum 3 tahun. Pada permulaan, serangan berhubungan dengan infeksi saluran pernapasan atas. Pada umur 5–6 tahun dapat terjadi serangan tanpa infeksi yang jelas. Biasanya orang tua menghubungkannya dengan perubahan udara, adanya alergen, aktivitas fisik dan stress. Banyaknya serangan 3−4 kali dalam satu tahun dan tiap kali serangan beberapa hari sampai beberapa minggu. Frekuensi serangan paling banyak pada umur 8−13 tahun. Pada golongan lanjut kadang-kadang sukar dibedakan dengan golongan asma kronik atau persisten. Umumnya gejala paling buruk terjadi pada malam hari dengan batuk dan mengi yang dapat mengganggu tidur. 2<br />Pemeriksaan fisik di luar serangan tergantung pada frekuensi serangan. Jika waktu serangan lebih dari 1−2 minggu, biasanya tidak ditemukan kelainan fisik. Hay fever dan eksim dapat ditemukan pada golongan ini. Pada golongan ini jarang ditemukan gangguan pertumbuhan. 2 <br /><br /> <br />3. Asma kronik atau persisten<br />Pada 25% anak serangan pertama terjadi sebelum umur 6 bulan, 75% sebelum umur 3 tahun. Pada 50% anak terdapat mengi yang lama pada 2 tahun pertama dan pada 50% sisanya serangan episodik. Pada umur 5−6 tahun akan lebih jelas terjadinya obstruksi saluran napas yang persisten dan hampir selalu terdapat mengi setiap hari. Dari waktu ke waktu terjadi serangan yang berat dan memerlukan perawatan di rumah sakit. Obstruksi jalan napas mencapai puncaknya pada umur 8–14 tahun. 2<br />Pada umur dewasa muda 50% dari golongan ini tetap menderita asma persisten atau sering. Jarang yang betul-betul bebas mengi pada umur dewasa muda. Pada pemeriksaan fisik dapat terjadi perubahan bentuk toraks seperti dada burung (pigeon chest), dada tong (barrel chest) dan terdapat sulkus Harrison. Pada golongan ini dapat terjadi gangguan pertumbuhan, yaitu bertubuh kecil. Kemampuan aktivitas fisiknya sangat berkurang, sering tidak dapat melakukan kegiatan olahraga dan kegiatan biasa lainnya. Sebagian kecil ada juga yang mengalami gangguan psikososial. 2<br /><br />· Varian bentuk Asma2<br />Disamping tiga golongan besar tersebut diatas terdapat bentuk asma yang tidak dapat begitu saja dimasukkan ke dalamnya.<br />Asma episodik berat atau berulang<br />Dapat terjadi pada semua umur, biasanya pada anak kecil dan umur prasekolah. Serangan biasanya berat dan sering memerlukan perawatan di rumah sakit. Biasanya berhubungan dengan infeksi saluran napas. Di luar serangan biasanya normal dan tanda-tanda alergi tidak menonjol. Serangan biasanya hilang pada umur 5−6 tahun. Tidak terdapat obstruksi saluran napas yang persisten.<br />Asma persisten<br />Mengi yang persisten dengan takipnea untuk beberapa hari atau beberapa minggu. Keadaan mengi yang persisten ini kemungkinan besar berhubungan dengan kecilnya saluran napas pada anak golongan umur ini. Terjadi pada beberapa anak umur 3−12 bulan. Mengi biasanya terdengar jelas jika anak sedang aktif. Keadaan umum anak dan tumbuh kembang biasanya tetap baik, bahkan beberapa anak menjadi gemuk sehingga ada istilah “fat happy wheezer”. Gambaran rontgen paru biasanya normal. Gejala obstruksi saluran napas disebabkan oleh edema mukosa dan hipersekresi daripada spasme otot bronkusnya.<br />Asma hipersekresi<br />Biasanya terdapat pada anak kecil dan permulaan umur sekolah. Gambaran utama serangan adalah batuk, suara napas berderak dan mengi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ronkhi basah kasar dab ronkhi kering..<br />Asma karena beban fisik<br />Serangan asma setelah melakukan kegiatan fisik sering dijumpai pada asma episodik sering dan pada asma kronik persisten. Disamping itu terdapat golongan asma yang manifestasi klinisnya baru timbul setelah ada beban fisik yang bertambah. Biasanya pada anak besar dan akil baliq.<br />Asma dengan alergen atau sensitivitas spesifik<br />Pada kebanyakan asma anak, biasanya terdapat banyak faktor yang dapat mencetuskan serangan asma, tetapi pada anak yang serangan asmanya baru timbul segera setelah terkena alergen, misalnya bulu binatang, minum aspirin, zat warna tartrazine, makan makanan atau minum minuman yang mengandung zat pengawet..<br />Batuk malam<br />Banyak terdapat pada semua golongan asma. Batuk terjadi karena inflamasi mukosa, edema dan produksi mukus yang banyak. Bila gejala menginya tidak jelas sering salah didiagnosis, yaitu pada golongan asma anak yang berumur 2−6 tahun dengan gejala utama serangan batuk malam yang keras dan kering. Batuk biasanya terjadi pada jam 1−4 pagi. Pada golongan ini sering didapatkan tanda adanya alergi pada anak dan keluarganya.<br />Asma yang memburuk pada pagi hari<br />Golongan yang gejalanya paling buruk jam 1−4 pagi. Keadaan demikian dapat terjadi secara teratur atau intermitten. Keadaan ini diduga berhubungan dengan irama diurnal caliber saluran napas, yang pada golongan ini sangat menonjol.<br /><br /><br /> <br />· Gejala klinis2<br />Serangan akut yang spesifik jarang dilihat sebelum anak berumur 2 tahun. Secara klinis asma dibagi dalam 3 stadium, yaitu :<br />1. Stadium I<br />Disaat terjadi edema dinding bronkus, batuk paroksismal karena iritasi dan batuk kering. Sputum yang kering dan terkumpul merupakan benda asing yang merangsang batuk.<br />2. Stadium II<br />Sekresi bronkus bertambah banyak dan timbul batuk berdahak jernih berbusa. Pada stadium ini anak akan mulai berusaha bernapas lebih dalam. Ekspirasi memanjang dan terdengar mengi. Tampak otot napas tambahan turut bekerja. Terdapat retraksi suprasternal, epigastrium dan mungkin sela iga. Anak lebih senang duduk dan membungkuk, tangan menekan pada tepi tempat tidur atau kursi. Anak tampak gelisah, pucat, sianosis sekitar mulut. Toraks membungkuk ke depan dan lebih bulat serta bergerak lambat pada pernapasan. Pada anak yang lebih kecil, cenderung terjadi pernapasan abdominal, retraksi suprasternal dan interkostal.<br />3. Stadium III<br />Obstruksi atau spasme bronkus lebih berat, aliran udara sangat sedikit sehingga suara napas hampir tidak terdengar. Stadium ini sangat berbahaya karena sering disangka ada perbaikan. Batuk seperti ditekan. Pernapasan dangkal, tidak teratur dan frekuensi napas yang mendadak meninggi<br /><br />Diagnosis<br />Studi epidemiologi menunjukkan bahwa asma tidak terdiagnosis di seluruh dunia, disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita tidak merasa perlu berobat ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabilitas yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiltas kelainan faal paru akan lebih meningkatkan nilai diagnostic<br /><br />· Riwayat penyakit atau gejala :<br />1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.<br />2. Gejala berupa batuk berdahak, sesak napas, rasa berat di dada.<br />3. Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari.<br />4. Diawali oleh factor pencetus yang bersifat individu.<br />5. Responsif terhadap pemberian bronkodilator.<br />· Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit<br />Riwayat keluarga (atopi).<br />Riwayat alergi/atopi.<br />Penyakit lain yang memberatkan.<br />Perkembangan penyakit dan pengobatan.<br /><br />Serangan batuk dan mengi yang berulang lebih nyata pada malam hari atau bila ada beban fisik sangat karakteristik untuk asma. Walaupun demikian cukup banyak asma anak dengan batuk kronik berulang, terutama terjadi pada malam hari ketika hendak tidur, disertai sesak, tetapi tidak jelas mengi dan sering didiagnosis bronkitis kronik. Pada anak yang demikian, yang sudah dapat dilakukan uji faal paru (provokasi bronkus) sebagian besar akan terbukti adanya sifat-sifat asma. Selanjutnya bila diberi obat asma akan menunjukkan perbaikan yang nyata. 2<br /><br />Batuk malam yang menetap dan yang tidak tidak berhasil diobati dengan obat batuk biasa dan kemudian cepat menghilang setelah mendapat bronkodilator, sangat mungkin merupakan bentuk asma. 2<br />1. Pemeriksaan fisik<br />o Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pada asma ringan dan sedang tidak ditemukan kelainan fisik di luar serangan.<br />o Pada inspeksi terlihat pernapasan cepat dan sukar, disertai batuk-batuk paroksismal, kadang-kadang terdengar suara mengi, ekspirasi memanjang, terlihat retraksi daerah supraklavikular, suprasternal, epigastrium dan sela iga. Pada asma kronik bentuk toraks emfisematous, bongkok ke depan, sela iga melebar, diameter anteroposterior toraks bertambah. 2<br />o Pada perkusi terdengar hipersonor seluruh toraks, terutama bagian bawah posterior. Daerah pekak jantung dan hati mengecil. 2<br />o Pada auskultasi bunyi napas kasar/mengeras, pada stadium lanjut suara napas melemah atau hampir tidak terdengar karena aliran udara sangat lemah. Terdengar juga ronkhi kering dan ronkhi basah serta suara lender bila sekresi bronkus banyak. 2<br />o Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat disertai gejala sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan obat bantu napas.<br />o Tinggi dan berat badan perlu diperhatikan dan bila mungkin bila hubungannya dengan tinggi badan kedua orang tua. Asma sendiri merupakan penyakit yang dapat menghambat perkembangan anak. Gangguan pertumbuhan biasanya terdapat pada asma yang sangat berat. Anak perlu diukur tinggi dan berat badannya pada tiap kali kunjungan, karena akibat pengobatan sering dapat dinilai dari perbaikan pertumbuhannya. 2 <br />2. Uji faal paru2<br />Berguna untuk menilai asma meliputi diagnosis dan penatalaksanaannya. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai :<br />1. Derajat obstruksi bronkus<br />2. Menilai hasil provokasi bronkus<br />3. Menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan penyakit.<br />Pemeriksaan faal paru yang penting pada asma adalah PEFR, FEV1, PVC, FEV1/FVC. Sebaiknya tiap anak dengan asma di uji faal parunya pada tiap kunjungan. “peak flow meter” adalah yang paling sederhana, sedangkan dengan spirometer memberikan data yang lebih lengkap. Volume kapasitas paksa (FVC), aliran puncak ekspirasi (PEFR) dan rasio FEV1/FVC berkurang > 15% dari nilai normalnya. Perpanjangan waktu ekspirasi paksa biasanya ditemukan, walaupun PEFR dan FEV1/FVC hanya berkurang sedikit. Inflasi yang berlebihan biasanya terlihat secara klinis, akan digambarkan dengan meningginya isi total paru (TLC), isi kapasitas residu fungsional dan isi residu. Di luar serangan faal paru tersebut umumnya akan normal kecuali pada asma yang berat. Uji provokasi bronkus dilakukan bila diagnosis masih diragukan. Tujuannya untuk menunjukkan adanya hiperreaktivitas bronkus. Uji Provokasi bronkus dapat dilakukan dengan :<br />1. Histamin<br />2. Metakolin<br />3. Beban lari<br />4. Udara dingin<br />5. Uap air<br />6. Alergen<br />Yang sering dilakukan adalah cara nomor 1, 2 dan 3. Hiperreaktivitas positif bila PEFR, FEV1 turun > 15% dari nilai sebelum uji provokasi dan setelah diberi bronkodilator nilai normal akan tercapai lagi. Bila PEFR dan FEV1 sudah rendah dan setelah diberi bronkodilator naik > 15% yang berarti hiperreaktivitas bronkus positif dan uji provokasi tidak perlu dilakukan. ru yang penting pada asma adalah PEFR,FEV1PVCFEV1/FVCulut. Toraks membungkuk ke depan dan lebih bulat serta b<br />3. Foto rontgen toraks<br />Tampak corakan paru yang meningkat. Atelektasis juga sering ditemukan. Hiperinflasi terdapat pada serangan akut dan pada asma kronik. Rontgen foto sinus paranasalis perlu juga bila asmanya sulit dikontrol. <br />4. Pemeriksaan darah eosinofil dan uji tuberkulin<br />Pemeriksaan eosinofil dalam darah, sekret hidung dan dahak dapat menunjang diagnosis asma. Dalam sputum dapat ditemukan kristal Charcot-Leyden dan spiral Curshman. Bila ada infeksi mungkin akan didapatkan leukositosis polimormonuklear. <br />5. Uji kulit alergi dan imunologi<br />1. Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum.<br />2. Uji kulit adalah cara utama untuk mendignosis status alergi/atopi, umumnya dilakukan dengan prick test. Alergen yang digunakan adalah alergen yang banyak didapat di daerahnya. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk diagnosis atopi, dapat juga mendapatkan hasil positif palsu maupun negative palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala klinik harus selalu dilakukan. Untuk menentukan hal itu, sebenarnya ada pemeriksaan yang lebih tepat, yaitu uji provokasi bronkus dengan alergen yang bersangkutan. Reaksi uji kulit alergi dapat ditekan dengan pemberian antihistamin<br />3. Pemeriksaan IgE spesifik dapat memperkuat diagnosis dan menentukan penatalaksaannya. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/atopi. <br /><br />Diagnosis banding asma pada anak : 2<br />· Pada bayi adanya benda asing di saluran napas dan esophagus atau kelenjar timus yang menekan trakea.<br />· Penyakit paru kronik yang berhubungan dengan bronkiektasis dan fibrosis kistik.<br />· Kelainan trakea dan bronkus misalnya laringotrakeomalasia dan stenosis bronkus.<br />· Tuberkulosis kelenjar limfe di daerah trakeobronkial<br />· Bronkitis. Tidak ditemukan eosinofilia, suhu biasanya tinggi dan tidak herediter. Bila sering berulang dan kronik biasanya disebabkan oleh asma.<br />· Bronkiolitis akut, biasanya mengenai anak di bawah umur 2 tahun dan terbanyak di bawah umur 6 bulan dan jarang berulang.<br />· Asma kardial. Sangat jarang pada anak. Dispnea paroksismal terutama malam hari dan biasanya didapatkan tanda-tanda kelainan jantung.<br />Asma pada bayi dan anak kecil sering didiagnosis sebagai bronkitis asmatika, wheezy cold, bronkitis dengan mengi, bronkiolitis berulang dan lain-lainnya. <br /><br />Klasifikasi<br /><br />Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan.<br />Tabel klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis<br />Derajat asma<br />Gejala<br />Gejala malam<br />Faal paru<br />Intermitten<br />· Bulanan<br />· Gejala < 1x/minggu<br />· Tanpa gejala diluar serangan<br />· Serangan singkat<br />≤ 2x/bulan<br />· APE ≥ 80%<br />· VEP1 ≥ 80% nilai prediksi APE ≥ 80% nilai terbaik<br />· Variabilitas APE < 20%<br />Persisten ringan<br />· Mingguan<br />· Gejala > 1x/minggu tetapi < 1x/hari<br />· Serangan dpt mengganggu aktivitas dan tidur<br />> 2x/bulan<br />· APE > 80%<br />· VEP1 ≥ 80% nilai prediksi APE ≥ 80% nilai terbaik<br />· Variabilitas APE 20-30%<br />Persisten sedang<br />· Harian<br />· Gejala setiap hari<br />· Serangan mengganggu aktivitas dan tidur<br />· membutuhkan bronkodilator setiap hari<br />> 1x/minggu<br />· APE 60-80%<br />· VEP1 60-80% nilai prediksi APE 60-80% nilai terbaik<br />· Variabilitas APE > 30%<br />Persisten berat<br />· Kontinua<br />· Gejala terus menerus<br />· Sering kambuh <br />· Aktivitas fisik terbatas<br />Sering<br />· APE ≤ 60%<br />· VEp1 ≤ 60% nilai prediksi ≤ 60% nilai terbaik<br />· Variabilitas APE > 30%<br /><br /> Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan, dan pengobatan yang telah berlangsung seringkali tidak adekuat. Pengobatan akan mengubah gambaran klinis bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada penderita dalam pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu sendiri.<br />Tabel klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan<br />Tahapan pengobatan yang digunakan saat penilaian<br />Gejala dan faal paru dalam pengobatan<br />Tahap I intermiten<br />Tahap 2 persisten sedang<br />Tahap 3 persisten sedang<br />· Tahap I : intermitten<br />· Gejala < 1x/minggu<br />· Serangan singkat<br />· Gejala malam < 2x/bulan<br />· Faal paru normal di luar serangan<br />Intermiten<br />Persisten ringan<br />Persisten sedang<br />· Tahap II : persisten ringan<br />· Gejala > 1x/minggu, tetapi <> 2x/bulan, tetapi < 1x/minggu<br />· Faal paru normal diluar serangan<br />Persisten ringan<br />Persisten sedang<br />Persisten berat<br />· Tahap III : persisten sedang<br />· Gejala setiap hari, serangan mempengaruhi aktivitas dan tidur<br />· Gejala malam > 1x/minggu<br />· 60% < VEP1 < 80% nilai prediksi<br />· 60% < APE < 80% nilai terbaik<br />Persisten sedang<br />Persisten berat<br />Persisten berat<br />· Tahap IV : persisten berat<br />· Gejala terus menerus, serangan sering, gejala malam sering<br />· VEP1 ≤ 60% nilai prediksi atau<br />· APE ≤ 60% nilai terbaik<br />Persisten berat<br />Persisten berat<br />Persisten berat<br /><br />Pengobatan<br /><br /> Pasien asma dapat berada dalam keadaan tenang, tetapi dapat juga dalam keadaan serangan. Serangan asma dapat ringan, sedang dan berat. Bahkan dapat jatuh dalam keadaan status asmatikus, yakni serangan asma yang berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obat biasa yang dapat mengatasi serangan tersebut.<br /><br />Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas, terdiri dari pengontrol dan pelega.<br />1. Pengontrol (controller)<br />Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikas setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah. Yang termasuk obat pengotrol :<br />· Kortikosteroid inhalasi<br />· Kortikosteroid sistemik<br />· Sodium kromoglikat<br />· Nedokromil sodium<br />· Metilsantin<br />· Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi<br />· Agonis beta-2 kerja lama, oral<br />· Leukotrien modifier<br />· Antihistamin generasi ke dua (antagonis-H1) kasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikas setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan ke<br />2. Pelega (reliever)<br />sien asma dapat berada dalam keadaan tenang, tetapi dapat juga dalam keadaan serangan. Serangan asma dapat ringan, sedang, berPrinsipnya adalah untuk mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut, seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas. Termasuk pelega adalah :<br />· Agonis beta-2 kerja singkat<br />· Kortikosteroid sistemik (steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).<br />· Antikolinergik<br />· Aminofilin<br />· Adrenalin<br /><br />Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara, yaitu inhalasi, oral dan parenteral (subkutan, intramuskular dan intravena). Kelebihan pemberian medikasi langsung ke jalan napas adalah :<br />1. Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas<br />2. Efek sistemik minimal atau dihindarkan<br />3. Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorbsi pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator adalah cepat bila diberikan secara inhalasi daripada oral.<br /><br />· Serangan asma dan penanggulangannya2<br />o Serangan asma yang ringan biasanya cukup diobati dengan obat bronkodilator oral atau aerosol, bahkan ada yang demikian ringannya hingga tidak memerlukan pengobatan.<br />o Serangan asma yang sedang dan akut perlu pengobatan dengan obat yang kerjanya cepat, misalnya bronkodilator aerosol atau bronkodilator subkutan seperti adrenalin.<br />o Pada serangan ringan akut tidak diperlukan kortikosteroid tetapi pada serangan ringan kronik atau serangan sedang mungkin diperlukan tambahan kortikosteroid dan bronkodilator. Pada serangan sedang oksigen sudah perlu diberikan 1–2 liter/menit.<br />o Pada serangan asma yang berat bila gagal dengan bronkdilator aerosol atau subkutan dan kortikosteroid perlu teofilin intravena, oksigen dan koreksi keseimbangan cairan, asam-basa dan elektrolit. Bila upaya-upaya tersebut gagal atau diduga akan gagal, keadaan jiwa anak mungkin terancam, berarti anak tersebut sudah masuk dalam keadaan status asmatikus. 2<br />· Penanggulangan status asmatikus<br />1. Pemberian oksigen dilanjutkan 4–6 liter/menit.<br />2. Periksa gas darah dan pasang IVFD cairan 3:1 (glukosa 10% : NaCl 0,9% ditambah KCl 5 Meq/kolf. Koreksi keseimbangan cairan, asam-basa dan elektrolit.<br />3. Pemberian teofilin dilanjutkan, dengan :<br />· memonitor kadar teofilin darah<br />· Pantau tanda-tanda keracunan teofilin<br />· Bila tidak ada tanda-tanda keracunan teofilin dan keadaan serangan asmanya belum membaik, mungkin perlu tambahan dosis teofilin.<br />4. Kortikosteroid yang sudah diberikan diteruskan pemberiannya, bila belum harus diberikan. Kortikosteroid diberikan intravena, karena sangat diperlukan untuk mempercepat hilangnya udem dan mengembalikan sensitivitas terhadap bronkodilator.<br />5. Usaha pengenceran lendir dengan obat mukolitik perlu dipertimbangkan karena biasanya pada keadaan seperti ini terdapat banyak lender dan lengket di seluruh cabang-cabang bronkus.<br />6. Periksa EKG dan rontgen foto toraks.<br />Pantau tanda-tanda vital, bila terdapat tanda-tanda gagal napas yang mengancam perlu bantuan pernapasan, bila perlu dirawat di unit perawatan intensif. 2<br /><br />Apabila serangan asma baru pada stadium prodromal, maka penggunaan bronkodilator secepat-cepatnya dan dengan cara yang tepat dengan dosis yang cukup memadai dapat menggagalkan serangan asma akut (lewis dan farrel, 1985). 2<br /><br />Bronkodilator simpatomimetik seperti juga bronkodilator lainnya, disamping dipakai untuk mengobati serangan asma juga dipakai sebagai obat untuk mengatasi serangan asma. Dianjurkan memakai beta-2 selektif. Bentuk aerosol (inhalasi) merupakan cara pencegah dan penggagal serangan asma yang baik dan cepat kerjanya. Simpatomimetik sering dikombinasikan dengan dengan teofilin peroral. Dengan dosis tengah, efek bronkodilatasinya bersifat aditif sedangkan efek sampingnya lebih sedikit. Pada penggunaan jangka panjang, misalnya asma kronik atau persisten, teofilin obat tunggal atau kombinasi dengan simpatomimetik merupakan obat yang harus dipakai lebih dahulu sebelum ditambah dengan obat lain dalam rangka mencegah kambuhnya serangan asma. 2<br /><br />Kortikosteroid merupakan obat penting dalam pencegahan asma dan hendaknya dipertimbangkan bila hasil pengobatan dengan bronkodilator tidak memadai. Dosis prednison 1–2 mg/kgBB/hari, biasanya tidaj memberikan efek samping. Pemberian kortikosteroid jangka pendek pada waktu serangan asma dapat mencegah keadaan yang lebih gawat dan perawatan di rumah sakit tidak diperlukan. Anak yang telah mendapat terapi kortikosteroid lama dengan dosis rumatan, bila mendapat serangan asma akut dosis kortikosteroid perlu ditinggikan. Pada asma yang persisten atau kronik, pemberian kortikosteroid mungkin diperlukan.. Jika terpaksa menggunakan kortikostreroid jangka panjang harus diberikan secara inhalasi. Pada bayi dan anak kecil serangan asma mungkin lebih banyak disebabkan oleh udem mukosa dan sekresi bronkus daripada bronkospasme. Pemberian kortikosteroid mungkin sangat berguna. 2<br /><br />Disodium kromogikat (DSCG) inhalasi, salah satu kerjanya adalah mencegah degranulasi sel mast merupakan onat untuk mencegah serangan asma, terutama bila diberikan secara teratur (Bernstein, 1981). Bila diberikan sebelum kegiatan jasmani dapat mencegah asma yang diinduksi aktivitas fisik Pada asma ringan dan sedang efektifitas pencegahannya sama dengan teofilin, efek samping lebih sedikit (Hambleton dkk 1977, Furukawa dkk 1984). 2<br /><br />Obat pencegahan yang ideal untuk anak adalah obat yang diberikan secara oral 1–2 kali/hari. Ketotifen yang salah satu kerjanya memperkuat dinding sel mast sehingga mencegah keluarnya mediator dilaporkan dapat merupakan obat pencegahan peroral yang dapat diberikan 2 kali/hari. 2<br /><br />Terapi imnulogik tidak dianjurkan sebagai tindakan rutin (Lichtenstein 1978). Tetapi tindakan ini yang salah satu tugasnya membentuk antibodi penghalang perlu dipertimbangkan bila tindakan-tindakan lainnya telah dusahakan semaksimal mungkin dan tidak memberikan hasil. 2 ena sangat diperlukan untuk mempercepat hilangnya udem dan mengembalikan sensitivitas terlin.<br />seranganahsa 10% : NaCl 0,9% ditambah KCl 5 Meq/kolf. Koreksi keseimbangan cairan id da<br />Penatalaksanaan dan pencegahan<br /> Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempetahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma adalah gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang menimbulkan hiperresponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat episodik. Sehingga penatalaksanaan asma dilakukan melalui berbagai pendekatan yang dapat dilaksanakan, mempunyai manfaat, aman dan terjangkau.<br />· Tujuan penatalaksanaan asma :<br />1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma<br />2. mencegah eksaserbasi akut<br />3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin<br />4. Mengupayakan aktivitas normal termasuk latihan fisik<br />5. Menghindari efek samping obat.<br />6. Mencegah terjadinya keterbatasan alran udara irreversible<br />7. Mencegah kematian karena asma<br /><br />· Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol bila :<br />Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam.<br />Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk latihan fisik<br />Kebutuhan bronkodilator (agonis beta2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak diperlukan).<br />Variasi harian APE < 20%<br />Nilai APE normal atau mendekati normal<br />Efek samping obat minimal (tidak ada)<br />Tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat<br />.<br /><br />· Integrasi dari pendekatan-pendekatan tersebut dikenal dengan program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen, yaitu :<br />Edukasi<br />Menilai dan memonitor berat asma secara berkala<br />Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus<br />Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang<br />Menetapkan pengobatan pada serangan akut<br />Kontrol secara teratur<br />Pola hidup sehat<br /><br />· Ke 7 hal tersebut di atas, juga disampaikan kepada penderita dengan bahasa yang mudah dan dikenal (dalam istilah) dengan “7 langkah mengatasi asma”, yaitu :<br />Mengenal seluk beluk asma<br />Menentukan klasifikasi<br />Mengenali dan meghindari pencetus<br />Merencanakan pengobatan jangka panjang<br />Mengatasi serangan asma dengan tepat<br />Memeriksakan diri secara teratur<br />Menjaga kebugaran dan berolahraga<br /><br />Penanggulangan serangan asma pada anak sekarang yang lebih penting ditujukan untuk mencegah serangan asma bukan untuk mengatasi serangan asma. Pencegahan serangan asma terdiri atas :<br />· Menghindari faktor-faktor pencetus<br />· Obat-obatan dan terapi imunologi<br />Penggunaan obat-obatan atau tindakan untuk mencegah dan meredakan atau reaksi-reaksi yang akan atau sudah timbul oleh pencetus tadi.<br /><br /><br />Macam-macam pencetus asma : 2<br />1. Alergen<br />Faktor alergi dianggap mempunyai peranan penting pada sebagian besar anak dengan asma (William dkk 1958, Ford 1969). Disamping itu hiperreaktivitas saluran napas juga merupakan factor yang penting. Sensitisasi tergantung pada lama dan intensitas hubungan dengan bahan alergenik sehingga dengan berhubungan dengan umur. Pada bayi dan anak kecil sering berhubungan dengan isi dari debu rumah. Dengan bertambahnya umur makin banyak jenis alergen pencetusnya. Asma karena makanan biasanya terjadi pada bayi dan anak kecil.<br />2. Infeksi<br />Biasanya infeksi virus, terutama pada bayi dan anak kecil. Virus penyebab biasanya respiratory syncytial virus (RSV) dan virus parainfluenza. Kadang-kadang juga dapat disebabkan oleh bakteri, jamur dan parasit.<br />3. Cuaca<br />Perubahan tekanan udara (Sultz dkk 1972), suhu udara, angin dan kelembaban (Lopez dan Salvagio 1980) dihubungkan dengan percepatan dan terjadinya serangan asma.<br />4. Iritan<br />Hairspray, minyak wangi, asap rokok, cerutu dan pipa, bau tajam dari cat, SO2, dan polutan udara yang berbahaya lainnya, juga udara dingin dan air dingin.Iritasi hidung dan batuk dapat menimbulkan refleks bronkokonstriksi (Mc. Fadden 1980). Udara kering mungkin juga merupakan pencetus hiperventilasi dan kegiatan jasmani (strauss dkk 1978, Zebailos dkk 1978).<br />5. Kegiatan jasmani<br />Kegiatan jasmani yang berat dapat menimbulkan serangan pada anak dengan asma (Goldfrey 1978, Eggleston 1980). Tertawa dan menangis dapat merupakan pencetus. Pada anak dengan faal paru di bawah normal sangat rentan terhadap kegiatan jasmani.<br />6. Infeksi saluran napas bagian atas<br />Disamping infeksi virus saluran napas bagian atas, sinusitis akut dan kronik dapat mempermudah terjadinya asma pada anak (Rachelesfsky dkk 1978). Rinitis alergi dapat memperberat asma melalui mekanisme iritasi atau refleks.<br /><br />7. Refluks gastroesofagitis<br />Iritasi trakeobronkial karena isi lambung dapat memberatkan asma pada anak dan orang dewasa (Dess 1974).<br />8. Psikis<br />Tidak adanya perhatian dan tidak mau mengakui persoalan yang berhubungan dengan asma oleh anak sendiri atau keluarganya akan memperlambat atau menggagalkan usaha-usaha pencegahan. Dan sebaliknya jika terlalu takut terhadap serangan asma atau hari depan anak juga tidak baik, karena dapat memperberat serangan asma. Membatasi aktivitas anak, anak sering tidak masuk sekolah, sering bangun malam, terganggunya irama kehidupan keluarga karena anak sering mendapat serangan asma, pengeluaran uang untuk biaya pengobatan dan rasa khawatir, dapat mempengaruhi anak asma dan keluarganya. <br /><br />Serangan asma sering timbul karena kerja sama berbagai pencetus. Dengan anak pencetus alergen sering disertai pencetus non alergen yang dapat mempercepat dan memperburuk serangan asma. Pada 38% kasus William dkk (1958) Faktor pencetusnya adalah alergen dan infeksi. Diduga infeksi virus memperkuat reaksi terhadap pencetus alergenik maupun nonalergenik. 2<br /><br /> Berbagai pencetus serangan asma dan cara menghindarinya perlu diketahui dan diajarkan pada si anak dan keluarganya, debu rumah dan unsur di dalamnya merupakan pencetus yang sering dijumpai pada anak. Pada 76,5% anak dengan asma yang berobat di poliklinik Subbagian Pulmonologi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM Jakarta, debu rumah diduga sebagai pencetusnya. 2<br /><br /> Serangan asma setelah makan atau minum zat yang tidak tahan, dapat terjadi tidak lama setelah makan, tetapi dapat juga terjadi beberapa waktu setelahnya. 2<br /><br /> Anggota keluarga yang sedang menderita “flu” tidak boleh mendekati anak yang asma atau kalau dekat anak yang asma lebih-lebih bila bicara, batuk atau bersin perlu menutup mulut dan hidungnya. Hindarkan anak dari perubahan cuaca atau udara yang mendadak, lebih-lebih perubahan ke arah dingin. 2<br /><br />Aktivitas fisik tidak dilarang bahkan dianjurkan tetapi diatur. Jalan yang dapat ditempuh supaya anakdapat tetap beraktivitas adalah :<br />Menambah toleransi secara bertahap, menghindari percepatan gerak yang mendadak, Mengalihkan macam kegiatan, misalnya lari, naik ke sepeda, berenang.<br />Bila mulai batuk-batuk istirahat dahulu sebentar, minum air dan kemudian bila batuk-batuk sudah mereda kegiatan dapat dimulai kembali.<br />Ada beberapa anak yang memerlukan makan obat atau menghirup obat aerosol dahulu beberapa waktu sebelum kegiatan olahraga. 2<br /><br />Komplikasi<br /><br />Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan terjadi emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks yaitu toraks membungkuk ke depan dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat diafragma letak rendah, gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri dan kanan bertambah. entuk dada brung dapat dinilai dari perbaikan pertumbuhannya.rang tua. Asma sendiri mePada asma kronik dan berat dapat terjadi bentuk dada burung dara dan tampak sulkus Harrison. 2<br /><br />Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga dapat terjadi atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Bila atelektasis berlangsung lama dapat berubah menjadi bronkiektasis dan bila ada infeksi terjadi bronkopneumonia. Serangan asma yang terus menerus dan beberapa hari serta berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obatan disebut status asmatikus. Bila tidak ditolong dengan semestinya dapat menyebabkan gagal pernapasan, gagak jantung, bahkan kematian. 2<br /> <br />Prognosis dan perjalanan klinis<br />Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang jumlahnya kira-kira 10 juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas. 3<br /><br />Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik ditemukan pada 50–80% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 7–10 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari 26–78% dengan nilai rata-rata 46%, akan tetapi persentase anak yang menderitaringan dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita asma penyakit yang berat relatif berat (6 –19%).3<br /> Secara keseluruhan dapat dikatakan 70–80% asma anak bila diikuti sampai dengan umur 21 tahun asmanya sudah menghilang. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi asma anak : 2<br />Umur ketika serangan pertama timbul, seringnya serangan asma, berat ringannya serangan asma, terutama pada 2 tahun sejak mendapat serangan asma.<br />Banyak sedikitnya faktor atopi pada anak dan keluarga.<br />Pernah menderita atau menderita ekzema infantil yang sulit diatasi.<br />Lamanya minum air susu ibu.<br />Usaha pengobatan dan penggulangannya.<br />Apakah orang tua atau orang serumah/sekamar merokok. Polusi udara di dalam atau di luar rumah.<br />Penghindaran alergen yang dimakan sejak hamil dan sewaktu menyusui.<br />Jenis kelamin, kelainan hormonal dan lain-lain. derung meningkat diprang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang jumlahnya kira-kira 10 j2<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB III<br />KESIMPULAN<br /><br />Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai Negara di seluruh dunia. Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu aktivitas bahkan kegiatan harian. Produktivitas menurun akibat bolos kerja atau sekolah dan dapat menimbulkan kecacatan sehingga menambah penurunan produktivitas serta menurunkan kualitas hidup.<br /><br />Penyebab asma dapat berasal dari gangguan pada saluran pernapasan yang kita kenal sebagai asma bronkial dan bisa juga berasal dari jantung yang kita kenal sebagai asma jantung. Istilah bronkial sendiri merujuk pada bronkus. Istilah tersebut berasal dari bahasa Inggris, “bronchial.” Dengan demikian, asma bronkial dapat dipahami sebagai asma yang penyebabnya berkaitan dengan bronkus. <br /><br />Serangan asma dapat berupa serangan sesak napas ekspiratoir yang paroksismal, berulang-ulang dengan mengi (“wheezing”) dan batuk yang disebabkan oleh konstriksi atau spasme otot bronkus, inflamasi mukosa bronkus dan produksi lendir kental yang berlebihan. 2<br /><br />Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam hari atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.<br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI : Jakarta, 2004.<br />2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Cetakan Ke 7. Percetakan Infomedika : Jakarta, 2002.<br />3. Isselbacher. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit dalam. Edisi 13. Volume 3. Editor Edisi bahasa Indonesia : Ahmad H. Asdie. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta, 2000.<br />4. Robbins dkk. Buku Ajar Patologi II. Edisi 4. Alih Bahasa : Staf pengajar Laboratorium Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta, 1995.<br />5. http://www.klinikku.com/pustaka/medis/resp/asma.html</span></p>ibnu zamsa firmanullahhttp://www.blogger.com/profile/04444679012279299665noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-365714640221455087.post-996500073885022482009-05-18T22:50:00.000-07:002009-05-18T22:57:48.785-07:00<div align="justify"><span style="font-family:times new roman;">DEMAM TIFOID<br /><br /><br />1.Pendahuluan<br /> Demam tifoid atau yang dikenal dengan nama lain dari enteric fever, tifus abdominalis adalah merupakan penyakit infeksi akut usus halus, yang terdapat diseluruh dunia dan penyebarannya tidak tergantung pada keadaan iklim, tetapi lebih banyak dijumpai dinegara-negara sedang berkembang didaerah tropis, Hal ini disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dan dan kebersihan individu yang kurang baik 1.<br /> Dikenal juga demam paratifoid yaitu merupakan infeksi pada usus halus dimana biasanya lebih ringan dan menunjukan manifestasi klinis yang sama atau menyebabkan enteretis akut 1.<br /> Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun, tidak ada kesesuaian paham mengenai hubungan antara musim dan peningkatan jumlah kasus demam tifoid, ada penelitian yang mendapatkan peningkatan jumlah kasus pada jumlah kasus pada musim hujan, ada yang mendapatkan peningkatan pada musim kemarau dan ada pula yang mendapatkan peningkatan pada peralihan musim kemarau dan musim hujan 1.<br /><br />2.Definisi<br /> Tifus abdominalis ( demam tifoid, enteric fever ) adalah penyakit infeksi akutyang biasanya terdapat pada pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran 2.<br /> Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkanoleh kumamn Salmonella tiphy 3<br /> Demam tifoid adalah infeksi penyakit akut yang biasanya mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari, terdapat gangguan saluran pencernaan dan gangguan kesadaran 4.<br /><br />3. Etiologi<br /> Penyakit ini disebabkan oleh Salmonella typhosa,termasuk famili Enterobakteriaceae dari genus Salmonella kuman berbentuk batang, basil gram negative, bergerak dengan rambut getar,tidak berspora, berkapsul tumbuh baik pada suhu optimal 370C, bersifat fakultatif anaerob dan hidup subur pada media yang mengandung empedu 2. Kuman ini mati pada pemanasan suhu 54,40C selama satu jam dan 600C selama 15 menit serta tahan terhadap pembekuan dalam jangka lama, Salmonella mempunyai karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan manosa namun tidak terhadap laktosa dan sukrosa 3.<br /> Kuman ini mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen, yaitu 2,4:<br />1. Antigen O ( somatic, terdiri dari zat kompleks lipopolisakarida )<br />2. Antigen H ( flagel )<br />3. Antigen Vi ( virulensi )<br />Dalan serum penderita terdapat zat anti ( aglutinin ) terhadap ketiga macam antigen tersebut.<br /><br /> 4. Epidemiologi<br /> Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang- undang nomor 6 tahun 1962 tentrang wabah. Penderita anak yang ditemukan biasanya diatas satu tahun, sebagian besar dari penderita ( 80 % ) yang dirawat berumur diatas 5 tahun 2. Kelompok penyakit menular ini dapat menyerang banyak orang, sehiongga dapat menimbulkan wabah, walaupun demam tifoid tercantum dalam undang- undang wabah dan wajib dilaporkan, namun data yang lengkap belum ada sehingga gambaran epidemiologisnya belum diketahui secara pasti 1.<br />Sampai saat ini demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, serta berkaitan erat dengan sanitasi yang buruk. Angka kejadian demam tifoid di Indonesia diperkirakan 350 – 810 kasus per 100.000 penduduk pertahun atau kurang lebih sekitar 600.000 – 1,500.000 kasus setiap tahunnya. Diantara penyakit yang tergolong penyakit infeksi usus demam tifoid menduduki urutan kedua setelah gastroenteritis 3.<br /> Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemic, tetapi lebih sering bersifat sporadic (terpencar – pencar di suatu daerah) dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang – orang serumah. Sumber penularan biasanya tidak dapat ditemukan .<br />Ada dua sumber penularan S.typhi : Pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering carrier. Orang- orang tersebut mengekresikan 109 sampai 1011 kuman per gram tinja. Didaerah endemic transmisi terjadi melalui air yang tercemar, makanan yang tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan yang lebih sering didaerah nonendemik, Carrier adalah orang yang sembuh dariu demam tifoid dam masih terus mengekresi S. typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu tahun 3.<br /><br />5. Klasifikasi kl;inis diagnosis demam tifoid( Susfected typhoid fever )<br /> 1. Suspek demam tifoid<br /> - Demam miningkat bertahap, 7 hari<br /> - Dengan atau tampa gejala intestinal<br /> - Dapat disertai gangguan kesadaran<br /> 2. Demam tifoid klinis ( Probable typhoid fever )<br /> - Suspek demam tifoid<br /> - Didukung laboratorium positif : pemeriksaaan widal,titer widal O 1/320<br /> 3. Demam tifoid konfirmasi ( Confirmed typhoid fever )<br /> - Kasus yang dipastikan demam tifoid<br /> - Hasil biakan Salmonella typhi positif, atau pemeriksaan serologi widal seial menunjukan kenaikan titer 4x lipat pada interpal pemeriksaan 5 - 7 hari <br /><br />6.Patogenesis<br /> Secara garis besar terdapat tiga proses terjadinya infeksi kuman kedalam tubuh manusia 3 :<br />Proses invasi kuman Salmonella typhi kedinding sel epitel usus<br />Proses kemampuan hidup dalam makrofag<br />Proses perkembang biaknya kuman dalam makrofag<br />Sebenarnya tubuh mempunyai mekanisme pertahanan untuk melawan dan membunuh kuman yang masuk yaitu dengan adanya 3 :<br />Mekanisme pertahanan non spesifik disaluran pencernaan, baik secara kimiawi maupun fisik<br />Mekanisme pertahanan spesifik yaitu kekebalan tubuh humoral dan seluler<br />Kuman S.Typhi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang tercemar. Infeksi terjadi pada saluran pencernaan, setelah kuman sampai di lambung maka mula- mula timbul usaha pertahanan non spesifik yang bersifat kimiawi yaitu adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang dihasilkannya 3.<br />Kurang lebih ada dua factor yang dapat menentukan apakah kuman dapat melewati barrier asam lambung yaitu 3 :<br />Jumlah asam lambung yang masuk<br />kondisi asam lambung<br />Untuk dapat menimbulkan infeksi, diperlukan sekurang – kurangnyasebanyak 105 – 109 yang tertelan melalui makanan dan minuman, keadaan asam lambung dapat menghambat multiplikasi Salmonella pada PH 2 ,0 sebagian besar kuman dapat terbunuh dengan cepat.3. Pada penderita gastrektomi, hipoklorhidria, aklorhidria yang mempengaruhi kondisi asam lambung, pada keadaan ini S, typhi lebih mudah melewati pertahanan tubuh.<br />Sebagian kuman yang masuk ke lambung akan dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk ke usus halus yaitu kuman yang memiliki mekanisme pertahanan local berupa motilitas dan flora normal usus kuman berusaha menghanyutkan kuman dengan usaha pertahanan tubuh nunspesifik yaitu oleh kekuatan peristaltic usus bila kuman masih bisa mengatasi hal tersebut maka kuman akan melekat pada permukaan usus, menembus kedalam kripti lamina propia, berkembang biak dan selan jutnya akan difagositosis oleh monosit dan makrofag karena kuman memiliki kapsul maka kuman dapat bertahan daan berkembang biak, kuman ikut aliran limfe mesenterial kedalam sirkulasi darah ( bakterimia primer ) 2,3.<br />Melalui pembuluh limfe masuk kedalam peredaran darah sampai diorgan – organ terutama hati dan limpa, kuman yang tidak dihancurkan berkembang biak dalam hati dan limpa ( multifikasi ) sehingga organ tersebut akan membesar 2. Kemudian kuman masuk ke peredaran darah ( bakterimia kedua ) dan menyebarkeseluruh tubuh terutama kelenjar limfoid usus halus menimbulkan tukak berbentuk lonjong pada mukosa diatas plak peyeri, tukak tersebut dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus 1,2,3.<br /><br />7. Gejala klinis<br /> Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa tunas 10 – 20 hari, yang tersingkat 4 hari jika infeksi melalui makanan,sedangkan yang terlama sampai 30 hari jika infeksi melalui minuman 2.<br /> Pada minggu pertama penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obtipasi, perasaan tidak enak diperut , dan batuk 2. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu badan meningkat Dalam minggu kedua gejala – gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relative, lidah yabng khas ( kotor ditengah, tepid an ujung merah dan tremor , hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental ataun kesadaran.<br /> Dari literature lain diperjelas lagi bahwa selama masa inkubasi dapat ditemukan gejala prodromal yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu 2:<br />1. Demam<br /> Pada kasus – kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu bersifat remiten dan suhu tidak mberapa tinggi. Selama minggu pertama suhu tubuh berangsur – angsur meningkat setriap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagio pada sore dan malam hari. Pada minggu kedua penderita terus dalam keadaan demam, dalam minggu ketiga suhu tubuh berangsur – angsur turun dan kembali normal kembali pada akhir minggu ketiga 2.<br />2.Gangguan pada saluran pencernaan.<br /> Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah – pecah (ragaden ). Lidah ditutupi selaput putih kotor ( coated tongue ) ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung ( meteorismus ) hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan , biasanya didapatkan konstipasi akan tetapi mungkin juga normal bahkan dapat terjadi diare 2,.<br />3. Gangguan kesadaran<br /> Uumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam yaitu apatis sampai somnolen, jarang terjadi spoor, koma atau gelisah 1,2.<br />Disamping –gejala – gejala yang biasa ditemukan tersebut mungkin juga dapat ditemukan gejala lain. Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan roseola yaitu, ( bercak mukopaoular ) bintik – bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit.biasanya ditemukan pada minggu pertama demam, ukuran 1-6 mm ditemukan 40% - 80% penderita dan berlangsung singkat ( 2-3 hari ) 2,3. Jika tidak ada komplikasi dalam 2 - 4 menggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1 – 2 bulan. Kadang – kadang ditemukan bradikardia pada anak besar dan mungkin pula ditemukan epistaksis 2.<br /><br />8. Relaps ( kambuh )<br /> Relaps adalah suatu keadaan berulangnya gejala penyakit tifus abdominalis, akan tetapi berlangsung lebih ringan dan lebih singkat. Terjadi dalam minggu kedua setelah suhu badan normal kembali. Terjadinya sukar diteranglan, seperti halnya keadaan kekebalan alam yaitu tidak pernah menjadi sakit walaupun mendapat infeksi yang cukup berat 2 .<br /> Menurut teori relaps terjadi karena terdapatnya kuman sdalam organ – organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti. Mungkin juga terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan pembentukan jaringan – jaringan fibroblast 2.<br /><br />9. Diagnosis kerja<br /> Dari anamnesis dan pemeriksaan jasmani dapat dibuat diagnosis “ observasi tifus abdominalis”. Untuk memastikan diagnosa perlu dikerjakan pemeriksaan laboratorium sebagai berikut 2 :<br /><br /><br />1. Pemeriksaan yang berguna untuk menyokong diagnosa 2<br /> a. Pemeriksaan darah tepi<br /> Terdapat gambaran leucopenia, limfositosis relative dan aneosinofilia<br /> Pada permulaan sakit, Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan. Pemiriksaan darah tepi ini sederhana, mudah dikerjakan dilaboratorium yang sederhana akan tetapi sanjgat berguna untuk membantu diagnosis yang tepat.<br /> b. Pemeriksaan sumsum tulang 2<br /> Dapat digunakan untuk menyokong diagnosa, pemeriksaan ini tidak<br /> Termasuk pemerriksaan rutin sederhana. Terdapat sumsum tulang berupa hiperaktif RES dengan adanya sel makrofag, sedangkan system eritropoisis, granulopoisis dan trombopoisis berkurang. <br />2. Pemeriksaan laboratorium untuk membuat diagnosis<br /> Biakan empedu untuk menemukan Salmonella typhosa dan pemeriksaan<br /> Widal adalah pemeriksaan yang dapat dipakai untuk membuat diagnosis tifus abdominalis yang pasti 2. Kedua pemeriksaan tersebut perlu dilakukan pada waktu masukdan setiap minggu berikutnya.<br /> a. Biakan empedu<br /> Salmonella typhosa dapat ditemukan dalam darah penderita biakan dalam minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urin dan feses, mungkin akan tetap positif untuk waktu yang lama. Oleh karena itu pemeriksaan yang positif dari contoh darah digunakan untuk menegakan diagnosuis, sedangkan pemeriksaan negative dari contoh urin dan feses 2 kali berturut – turut digunakan untuk menentukan bahwa penderita telah benar – benar sembuhdan tidak menjadi pembawa kuman ( karier ).<br /> b.Pemeriksaan widal<br /> Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur dengan suspensi antigen Salmonella typhosa. Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi. Dengan jalan mengencerkan serum, maka kadar zat anti dapat diotentukan yaitu pengenceran tertinggi yang dapat menimbulkan reaksi aglutinas 2. Untuk membuat diagnosis yang diperlukan ialah titer zat anti terhadap antigen O. Titer yang bernilai 1/200 atau lebih atau menunjukan kenaikan yang progresifdigunakan untuk membuat diagnosa 2,4. Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita. Titer terhadap antigen H tidak diperlukan untuk diagnosis, karena dapat tetap tinggi setelah mendapat imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh.Tidak selalu pemeriksaan widal positif walaupun penderita sungguh – sungguh menderita tifus abdominalis sebagaimana terbukti pada autopsy setelah penderita meninggal dunia.<br /> Sebaliknya titer dapat positif karena keadaan sebagai berikut 2:<br /> 1. Titer Odan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal, karena infeksi basil Coli<br /> pathogen dalam usus.<br />2. Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui tali pusat.<br />3. Terdapat infeksi silang dengan Ricketsia.<br />4. Akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya kuman peroral atau pada keadaan infeksi subklinis.<br />c. Biakan darah<br /> Seringkali positif pada awal penyakit sedangkan biakan urin dan tinja positif setelah terjadi septicemia sekunder. Biakan sumsum tulang dan kelenjar limfe atau jaringan retikuloendotelial lainnya sering masih positif setelah darah steril 1.<br /> Biakan darah positif ditemukan pada 70 – 80% penderita pada minggu pertama sakit, sedangkan pada akhir minggu ketiga, biakan darah positif hanya pada 10 penderta. Setelah minggu keempat penyakit sangat jarang kuman kuman ditemukan dalam darah. Bila terjadi relaps maka biakan darah akan positif kembali 3.<br /> Pada penelitian mendeteksi DNA kuman Salmonella Typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat dan metode penggandaan DNA dengan polymerase chain reaction ( PRC ). Cara ini dilaporkan dapat mengidentifikasi kuman dalam jumlah kuman yang amat sedikit<br /><br />10. Diagnosa pasti<br /> Bila ditemukan kuman S. typhi dari darah, urin, tinja, dan sumsum tulang belakang,cairan duodenum, atau rose spots. Berkaitan dengan patogenesis maka kuman lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang diawal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya didalam urin dan tinja. Hasil biakan positif memastikan demam tyfoid, namun hasil yang negative tidak menyingkirkan demam typhoid, karena hasilnya bergantung pada bberapa factor, seperti 1:<br />1. Jumlah darah yang diambil<br />2. Perbandingan volume darah dan media empedu<br />3. Waktu pengambilan darah<br /> Menurut Watson jumlah rata – rata kuman 7,6 per ml darah, walaupun penderita dalam keadaan bakteremia, sehingga untuk biakan diperlukan 5 – 10 ml darah.Untuk menetralisir efek bakterisidal oleh antibody atau komplemen yang dapat menghambat pertumbuhan kuman, maka darah harus diencerkan 5 – 10 kali, waktu pe4ngambilan darah yang paling baik ialah pada saat demam tinggi atau sebelum pemakaian antibiotic karena setelah diberi antibiotic kuman sudah sukar ditemukan dalam darah. 3<br /> <br />11. Komplikasi<br /> Dapat terjadi pada :<br />1.Usus halus<br />Umumnya jarang terjadi akann tetapi sering fatal, yaitu 2 :<br /> a. Perdarahan usus, Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan<br /> tinja dengan benzidin. Bila perdarahan banyak terjadi melena dan bila berat dapat disertai perasaan nyeri perut dengan tanda – tanda renjatan.<br /> b. Perforasi usus, Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelah itu dan<br />terjadipada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritoniotis hanya dapat ditemukan bila terda[pat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara bebas diantara hati dan diafragma pada foto rongent abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.<br />c. Peritonitis, biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tampa perforasi usus, ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang ( defans musculair ) dan nyeri pada tekanan.<br /><br /><br /><br />2. Komplikasi diluar usus halus<br /> Terjadi karena lokasi peradangan akibat sepsis ( bakteremia ) yaitu meningitis, kolesistitis, ensefalopati dan lain – lain. Terjadi karena infeksi sekunder yaitu bronkopneumonia.Dehidrasi dan asidosis dapat timbul akibat masukan makanan yang kurang dan perspirasi akibat suhu tubuh yang tinggi 2.<br /><br />12. Diagnosa banding<br /> Bila terdapat dem,am yang lebih dari satu minggu sedangkan penyakit yang dapat menerangkan demam itu belum jelas , perlulah dipertimbangkan pula penyakit selain tifus abdominalis, yaitu penyakit – penyakit sebagai berikut : paratifoid A. B, C Influenza, Malaria, Tuberkulosis, Dengeu, Salmoneilosis, pneumonia lobaris, dan lain –lain 2,4.<br /><br />13. Pengobatan 1,2,3.4<br />1. Isolasi penderita dan desinfeksi pakaian dan ekskreta.<br />2. Perawatan yang baik untuk menghindarkan komplikasi, mengingat sakit yang<br /> lama, lemah,anoreksia,dan lain –lain.<br />Istirahat selama demam sampai 2 minggu normal kembali yaitu istirahat mutlak berbaring terus ditempat tidur, seminggu kemudian boleh duduk dan selanjutnya boleh berdiri dan berjalan.<br />Diet , makananharus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein, bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat tidak merangsang dan tidakl menimbulkan banyak gas. Susu 2 kali satu gelas sehari perlu diberikan. Jenis makanan untuk penderita dengan kesadaran yang menurun adalah makanan cair yang dapat diberikan melalui pipa lambung. Bila nafsu makan baik maka dapat diberikan makanan lunak.<br />Obat pilihan ialah kloramfenikol dianjurkan dengan dosistinggi yaitu 100 mg/kgBB/hari diberikan 4 kali sehari peroral atau intra muscular atau intravena bila memungkinkan. Pemberian dosis tinggi tersebut memberikan manfaat yaitu waktu perawatran dipersingkat dan relaps tidak terjadi<br />Bila terdapat komplikasi harus diberikan terapi yang sesuai. Misalnya pemberian cairan intravena untuk penderita dengan dehidrasi dan asidosis. Bila terdapat bronkopneumonia harus ditambahkan penisilin.<br />Pemilihan antibiotic sebelum dibuktikan adanya infeksi salmonella dapat dilakukan secara empiris dengan memenuhi criteria berikut :<br />Spektrum sempit<br />Penetrasi ke jaringan cukup baik<br />Cara pemberian mudah buruk untuk anak<br />Tidak mudah resisten<br />Efek samping minimal<br />Adanya bukti efikasi klinis <br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 1 Hubungan antara masuknya kuman, kemungkinan timbulnya demam, frekuensi biakan positif dan terbentuknya agglutinin pada demam typhoid<br /><br /><br /><br /><br /><br /> Penggunaan antibiotic yang dianjurkan selama ini adalah sebagai berikut 3 :<br />Lini pertama<br />Kloramfonikol<br />Masih merupakan pilighan pertama dalam urutan antibiotic (drug of<br />choise ) diberikan dalam dosis 50 -100 mg/kgbb/hari,secara intravena dalam empat dosis selama 10 – 14 hari. Banyak penelitian membuktikan bahwa obat ini cukuop sensitif terhadap Salmonella typhi namun perhatian khusus harus diberikan pada kasus dengan leucopenia ( tidak dianjurkan pada leukosit < 2000/ul ) dan dosis maksimal adalah 2 gramper hari.atau<br />Ampisilin<br />Diberikan dengan dosis 150 – 200 mg/kgbb/hari diberikan peroral / iv selama 14 hari, atau<br />Kotrimoksazol<br />Diberikan dengan dosis 10 mg/kgbb/hari trimetroprim dibagi dua dosis selama 14 hari.<br />Lini kedua, diberikan pada kasus – kasus demam typhoid yang disebabkan S,typhi yang resisten terhadap berbagai obat ( MDR = multidrug resistance ), yang terdiri atas 3:<br />Seftriakson<br />Diberikan dengan dosis 50 – 80 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 10 hari, penyembuhan sampai 90 % juga dilaporkan pada pengobatan 3- 5 hari.<br />Sefiksim<br />Diberikan dengan disis 10 -12 mg/kgbb/hari peroral, dibagi dalam 2 dosis selama 14 hari, adalah alternative pengganti seftriakson yang cukup mahal.<br />Florokinolon (siprofloksasin, ofloksasin )<br />Siprofloksasin diberikan dalam dosis 10 mg/kgbb/hari dalam 2 dosis,atau ofloksasin 10 – 15 mg/kgbb/hari dalam 2 dosis sudah dipakai dalam pengobatanlama pemberian obat dilaporkan bervariasi 2 – 5 hari. Penggunaan obat ini dianjurkan pada kasuis demam typhoid dengan MDR.<br />Asitromisis<br />Dengan pemberian 5 – 7 harijugfa telah dicoba dan memberikan hasil yang baik, berupa penurunan demam sebelum hari keempat.<br /><br />14. Keberhasilan terapi<br /> Pengobatan terhadap demam typhoid akan berhasil baik bila penegakan diagnosis dilakukan dengan tepat. Pengobatan demam typhoid adalah gabungan antara pemberian antibiotic yang sesuai, perawatan penunjang termasuk pemantauan, pemberian cairan serta pengenalan dini terhadap komplikasi 3.<br />Terapi typhoid toksik :<br />- Penderita dirawat intensif<br />- Diberikan antibiotic parenteral kombinasi dua macam antibiotic<br />- Diberikan kortikosteroid seperti desametason bolus 3 mg/kgbb IV selama 30 menit, dilanjutkan pemberian 6 jam kemudian 1- 3 mg/kgbb selanjutnya setiap 6 jam selama 2 hari.<br />Pengelolaan karier<br />- Pencegahan sejak awal<br />- Pemilihan antibiotic yang tepat dan adekuat<br />- Monitor kemungkinan karier dengan biakan feses serial pada saat pulang, 4 minggu, dan 3 bulan kemudian<br />- Terapi kuinolon 4 minggu ( siprofloksasin 2x750mg,norfloksasin 2x 400mg )<br />- Evaluasi dan atasi factor predisposisi karier<br />15. Resistensi Antibiotik<br /> Masalah resistensi obaat ganda terhadap Salmonella typhi telah dilaporkan 50 –<br /> 70% kasus demam typhoid.A pabila S.typhi telah resisten terhadap dua atau lebih antibiotic yang dipergunakan untuk pengobatan demam typhoid secara konvensional yaitu Ampisilin,Kloramfenikol, Kotrimoksazol. Adanya resistensi terhadap S.typhi maka diperlukan antibiotic yang poten. Pada kasus demam typhoid yang tidak tampak perbaikan setelah pengobatan maka Sefiksim merupakan pilihan pertama.<br /><br />16. Prognosis<br /> Umumnya prognosis tyfus abdominalis pada anak baik, asal penderita cepat berobat. Angka mortalitas pada penderita yang dirawat ialah 6%. Prognosis menjadi kurang baik atau buruk bila terdapat gejala klinis yang berat seperti 2:<br />Panas tinggi ( hiperpireksia ) atau febris continue.<br />Adanya penurunan kesadaran<br />Terdapat komlplikasi yang berat misalnya, dehidrasi,asidosis, peritonitis dll<br />Keadaan gizi penderita buruk ( malnutrisi energi protein )<br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />1. Saefullah M noer , buku ajar penyakit dalam jilid satu edisi ketiga, balai penerbit FKUI Jakarta 1996,435- 443<br />2. Staf pengajar ilmu kesehatan anak FK UI ,buku kuliah ilmu kesehatan anak no 2 ,<br /> penerbit info medika Jakarta 2002.<br /> 3. Tumbelaka AR, Tata laksana demam tifoid pada anak, Pediatric update ikatan dokter anak Indonesia Jakarta 2003, halaman 37 – 43.<br />4. Mansjoer Arief, Kapita selekta kedokteran ,edisi ketiga ,jilid dua, penerbit Media Ausclapius FK UI 2000, halaman 432 – 433.<br />. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> </span></div>ibnu zamsa firmanullahhttp://www.blogger.com/profile/04444679012279299665noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-365714640221455087.post-16906698839450974192009-05-18T22:45:00.000-07:002009-05-18T22:48:38.398-07:00AsmaBAB I<br />PENDAHULUAN<br /><br />Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai Negara di seluruh dunia. Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu aktivitas bahkan kegiatan harian. Produktivitas menurun akibat bolos kerja atau sekolah dan dapat menimbulkan kecacatan sehingga menambah penurunan produktivitas serta menurunkan kualitas hidup. 1<br /><br />Istilah asma berasal dari bahasa Yunani asthma yang berarti “sengal-sengal”. Dalam pengertian klinik, asma dapat kita artikan sebagai batuk yang disertai sesak napas berulang dengan atau tanpa disertai mengi. 1<br /><br />Penyebab asma dapat berasal dari gangguan pada saluran pernapasan yang kita kenal sebagai asma bronkial dan bisa juga berasal dari jantung yang kita kenal sebagai asma jantung. Istilah bronkial sendiri merujuk pada bronkus. Istilah tersebut berasal dari bahasa Inggris, “bronchial.” Dengan demikian, asma bronkial dapat dipahami sebagai asma yang penyebabnya berkaitan dengan bronkus. 1 <br /><br />Pada penderita asma bronkial terjadi penyempitan bronkus secara berulang-ulang. Di antara masa serangan tersebut, terdapat fungsi dimana fungsi ventilasi paru mendekati keadaan normal. 1<br /><br />Serangan asma dapat berupa serangan sesak napas ekspiratoir yang paroksismal, berulang-ulang dengan mengi (“wheezing”) dan batuk yang disebabkan oleh konstriksi atau spasme otot bronkus, inflamasi mukosa bronkus dan produksi lendir kental yang berlebihan. 2<br /><br />Asma merupakan penyakit familiar yang diturunkan secara poligenik dan multifaktorial. Telah ditemukan hubungan antara asma dan lokus histokompatibiltas (HLA) dan tanda genetik pada molekul imunoglobulin G (IgG). 2 <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB II<br />ISI<br /><br />Definisi<br /><br />Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam hari atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.<br /><br />Secara khas, sebagian besar serangan berlangsung singkat selama beberapa menit hingga beberapa jam setelah itu, pasien tampak mengalami kesembuhan klinik yang total. Namun demikian, ada suatu fase ketika pasien mengalami obstruksi jalan napas dengan derajat tertentu setiap harinya. Fase ini dapat ringan dengan atau tanpa disertai episode yang berat atau yang lebih serius lagi, dengan obstruksi hebat yang berlangsung selama berhari-hari atau berminggu-minggu. Keadaan semacam ini dikenal sebagai status asmatikus. Pada beberapa keadaan yang jarang terdapat, serangan asma yang akut dapat berakhir dengan kematian. 3<br /><br />Etiologi<br /><br /> Dari sudut etiologik, asma merupakan penyakit heterogenosa. Klasifikasi asma dibuat berdasarkan rangsangan utama yang membangkitkan atau rangsangan yang berkaitan dengan episode akut. 3 Berdasarkan stimuli yang menyebabkan asma, dua kategori timbal balik dapat dipisahkan :<br />1. Asma ekstrinsik imunologik<br />Ditemukan kurang dari 10% dari semua kasus. Biasanya terlihat pada anak-anak, umumnya tidak berat dan lebih mudah ditangani daripada bentuk intrinsik. Kebanyakan penderita adalah atopik dan mempunyai riwayat keluarga yang jelas dari semua bentuk alergi dan mungkin asma bronkial.<br />2. Asma intrinsik imunologik<br />Dapat terjadi pada segala usia dan ada kecenderungan untuk lebih sering kambuh dan berat. Lebih sering berkembang ke status asmatikus.<br />Banyak penderita mempunyai kedua bentuk asma diatas. Penting untuk ditekankan bahwa perbedaan ini sering hanya merupakan perkiraan saja dan jawaban terhadap subklasifikasi yang diberikan biasanya dapat dibangkitkan oleh lebih dari satu jenis rangsangan. Dengan mengingat hal ini, dapat diperoleh dua kelompok besar, yaitu alergi dan idiosinkrasi. 3<br /><br /> Asma alergik seringkali disertai dengan riwayat pribadi dan atau keluarga mengenai penyakit alergi, seperti rinitis, urtikaria dan ekzema. Reaksi kulit wheal and flare yang positif terhadap penyuntikan intradermal ekstrak antigen yang terbawa udara, peningkatan kadar IgE dalam serum dan respons positif terhadap tes provokasi yang meliputi inhalasi antigen spesifik. 3<br /><br /> Idiosinkrasi disebut sebagai bagian dari populasi pasien asma yang akan memperlihatkan riwayat alergi pribadi atau keluarga negative, uji kulit negatif, dan kadar IgE serum normal. Oleh sebab itu tidak dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme imunologik yang sudah jelas. Banyak pasien kelompok ini akan menderita kompleks gejala yang khusus berdasarkan gangguan saluran napas bagian atas. Gejala awal mungkin hanya berupa gejala flu biasa, tetapi setelah beberapa hari pasien mulai mengalami mengi paroksismal dan dispnea yang dapat berlangsung selama berhari-hari samapai berbulan-bulan. 3<br /> <br />Faktor risiko<br /><br />Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu dan faktor lingkungan. Interaksi faktor genetik atau pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan :<br />· Pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan genetik asma<br />· Baik faktor lingkungan maupun faktor pejamu atau genetik masing-masing meningkatkan risiko asma<br /><br />Disini faktor pejamu termasuk predisposisi yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopik), hiperreaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras. Fenotip yang berkaitan dengan asma dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif (hiperreaktivitas bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya.<br /><br /> Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan atau predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu allergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status ekonomi dan besarnya keluarga. Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja dipertimbangkan sebagai penyebab utama asma dengan pengertian faktor lingkungan tersebut pada awalnya mensensitisasi jalan napas dan mempertahankan kondisi asma tetap aktif dengan mencetuskan serangan asma atau menyebabkan menetapnya gejala.<br /> <br />Epidemiologi<br /><br />Penyakit asma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan diperkirakan 4 hingga 5% populasi penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh penyakit ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia dini. Sekitar separuh kasus timbul sebelum usia 10 tahun dan sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Pada usia kanak-kanak terdapat predisposisi laki-laki : perempuan = 2 : 1 yang kemudian menjadi sama pada usia 30 tahun. 3<br /><br />Asma merupakan 10 besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu tergambar dari data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke 5 dari 10 penyebab kesakitan bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke 4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di Indonesia sekitar 13 per 1.000 penduduk, dibandingkan bronkitis kronik 11 per 1.000 penduduk dan obstruksi paru 2 per 1.000 penduduk. 1<br /><br />Kira-kira 2–20% populasi anak dilaporkan pernah menderita asma. Belum ada penyelidikan menyeluruh mengenai angka kejadian asma pada anak di Indonesia, namun diperkirakan berkisar antara 5–10%. Dilaporkan di beberapa negara angka kejadian asma meningkat, misalnya di Jepang. Australia dan Taiwan. Di poliklinik Subbagian Paru Anak FKUI-RSCM Jakarta, lebih dari 50% kunjungan merupakan penderita asma. Jumlah kunjungan di poliklinik Subbagian Paru Anak berkisar antara 12.000–13.000 atau rata-rata 12.324 kunjungan pertahun. Pada tahun 1985 yang perlu mendapat perawatan karena serangan asma yang berat ada 5 anak, 2 anak di antaranya adalah pasien poliklinik paru. Sedang yang lainnya dikirim oleh dokter luar. Tahun 1986 hanya terdapat 1 anak dan pada tahun 1987 terdapat 1 anak yang dirawat karena serangan asma yang berat. 2<br /><br />Woolcock dan Konthen pada tahun 1990 di Bali mendapatkan prevalensi asma pada anak dengan hiperreaktivitas bronkus 2,4% dan hiperreaktivitas bronkus serta gangguan faal paru adalah 0,7%. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan kuisioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan hasil dari 402 kuisioner yang kembali dengan rata-rata umur 13,8 ± 0,8 tahun didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/recent asthma), 6,2% dari 64% diantaranya mempunyai gejala klasik. Bagian anak FKUI-RSCM melakukan studi prevalensi asma pada anak usia SLTP di Jakarta pusat pada 1995–1996 dengan mengunakan kuisioner modifikasi dari ATS, ISAAC dan Robertson, serta melakukan uji provokasi bronkus secara acak. Seluruhnya 1.296 siswa dengan usia 11 tahun 5 bulan – 18 tahun 4 bulan, didapatkan 14,7% dengan riwayat asma dan 5,8% dengan recent asthma. Tahun 2001, Yunus dkk melakukan studi prevalensi asma pada siswa SLTP se Jakarta Timur, sebanyak 2.234 anak usia 13–14 tahun melalui kuisioner ISAAC, pemeriksaan spirometri dan uji provokasi bronkus pada sebagian subjek yang dipilih secara acak. Dari studi tersebut didapatkan prevalensi asma (recent asthma) 8,9% dan prevalensi kumulatif (riwayat asma) 11,5%.<br /><br />Tahun 1993 UPF Paru RSUD dr. Sutomo Surabaya melakukan penelitian di lingkungan 37 puskesmas di Jawa Timur dengan menggunakan kuisioner modifikasi ATS, yaitu proyek pneumobile Indonesia dan Respiratory Sympton questioner of Institute of Respiratory Medicine, New South Wales dan pemeriksaan arus puncak ekspirasi (APE) menggunakan alat peak flow meter dan uji bronkodilator. Seluruhnya 6662 responden usia 13 – 70 tahun (rata-rata 35,6 tahun) mendapatkan prevalensi asma sebesar 7,7 % dengan rincian laki-laki 9,2 % dan perempuan 6,6 %. <br /><br />Patogenesis<br /><br />Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan, terutama sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.<br />1. Inflamasi akut<br />Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain virus, iritan, alergen yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. <br />· Reaksi asma tipe cepat dan spasmogenik<br />Jika ada pencetus terjadi peningkatan tahanan saluran napas yang cepat dalam 10–15 menit. Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan performed mediator seperti histamin protease dan newly generated mediator seperti leukotrien, prostaglandin dan platelet activating factor yang menyebabkan kontraksi otot polos, sekresi mukus dan vasodilatasi. Reaksi tersebut dapat hilang segera, baik secara spontan maupun dengan bronkodilator seperti simpatomimetik. Perubahan ini dapat dicegah dengan pemberian kromoglikat atau antagonis H1 dan H2 sebelumnya. Keadaan ini tidak dipengaruhi oleh pemberian kortikosteroid beberapa saat sebelumnya. Tetapi pemberian kortikosteroid untuk beberapa hari sebelumnya dapat mencegah reaksi ini.<br />· Reaksi fase lambat dan lama<br />Reaksi ini timbul antara 6–9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel CD4+, netrofil dan makrofag. Patogenesis reaksi yang tergantung pada IgE, biasanya berhubungan dengan pengumpulan netrofil 4–8 jam setelah rangsangan. Reaksi lamabat ini mungkin juga berhubungan dengan reaktivasi sel mast. Leukotrien, prostaglandin dan tromboksan mungkin juga mempunyai peranan pada reaksi lambat karena mediator ini menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang lama dan edema submukosa. Reaksi lambat dapat dihambat oleh pemberian kromiglikat, kortikosteroid, dan ketotifen sebelumnya. <br />2. Inflamasi kronik<br />Asma yang berlanjut yang tidak dobati atau kurang terkontrol berhubungan dengan inflamasi di dalam dan disekitar bronkus. Berbagai sel terlibat dan teraktivasi, seperti limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblas dan otot polos bronkus. Pada otopsi ditemukan infiltrasi bronkus oleh eosinofil dan sel mononuklear. Sering ditemukan sumbatan bronkus oleh mukus yang lengket dan kental. Sumbatan bronkus oleh mukus ini bahkan dapat terlihat sampai alveoli. Infiltrasi eosinofil dan sel-sel mononuklear terjadi akibat factor kemotaktik dari sel mast seperti ECF-A dan LTB4. Mediator PAF yang dihasilkan oleh sel mast, basofil dan makrofag yang dapat menyebabkan hipertrofi otot polos dan kerusakan mukosa bronkus serta menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat. Kortikosteroid biasanya memberikan hasil yang baik. Diduga, ketotifen dapat juga mencegah fase ketiga ini.<br /><br />· Airway remodeling<br />Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstitial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus. Perubahan struktur yang terjadi :<br />1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas.<br />2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus<br />3. Penebalan membran retikular basal<br />4. Pembuluh darah meningkat<br />5. Matriks ekstraselular fungsinya meningkat<br />6. Perubahan struktur parenkim<br />7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis<br />Airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus. Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti hiperreaktivitas jalan napas, masalah distenbilitas/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.<br /> bals T, eosinofil, makrofag, sel mast selisekitar bronkus. Berbagai sel terlibat dan teraktivasi iator ini menyeba <br />Patologi Anatomi<br /><br />Gambaran makroskopik yang penting dari asma yang lanjut adalah : (1) Mukus penyumbat dalam bronki, (2) Inflasi paru yang berlebihan, tetapi bukan emfisema yang nyata, dan (3) Kadang-kadang terdapat daerah bronkiektasis terutama dalam kasus yang berhubungan dengan aspergilosis. Jalan udara seringkali tersumbat oleh mukus, yang terdiri dari sel yang mengalami deskuamasi. Musin sering mengandung komponen seroprotein yang timbul dari reaksi peradangan hebat dalam submukosa. Dinding bronki tampak lebih tebal dari biasa. Apabila eksudat supuratif terdapat dalam lumen, maka superinfeksi dan bronkitis harus diwaspadai. 5<br /><br />Secara mikroskopik terdapat hiperplasia dari kelenjar mucus, bertambah tebalnya otot polos bronkus dan hipertofi serta hiperplasia dari sel goblet mukosa. Daerah-daerah yang tidak mengandung epitel respirasi sering ditemukan, ditambah dengan edema subepitel. Pertambahan jumlah limfosit peradangan yang agak banyak, terutama eosinofil terdapat pada mukosa yang edema. Sumbatan di dalam jalan napas mengandung : (1) Gulungan sel epitel yang lepas dan sekret protein yang membentuk spiral Curschmann, (2) Eosinofil yang padat dengan kristal Charcot-Leyden, (3) kristal Charcot-Leyden bebas yang dilepaskan oleh eosinofil, dan (4) Debris seluler. Superinfeksi bakteri dapat membentuk perubahan anatomi kea rah bronkitis. 5<br /><br />Patofisiologi<br /><br />Tanda patofisiologik asma adalah penurunan diameter jalan napas yang disebabkan oleh kontraksi otot polos, kongesti pembuluh darah, edema dinding bronkus dan sekret kental yang lengket. Hasil akhir adalah peningkatan resistensi jalan napas, penurunan ekspirasi paksa (forced expiratory volume) dan kecepatan aliran udara, hiperinflasi paru dan toraks, peningkatan kerja bernapas, perubahan fungsi otot-otot pernapasan, perubahan rekoil elastik (elastic recoil), penyebaran abnormal aliran darah ventilasi dan pulmonal dengan rasio yang tidak sesuai dan perubahan gas darah arteri. Pada dasarnya asma diperkirakan sebagai penyakit saluran napas, sesungguhnya semua aspek fungsi paru mengalami kerusakan selama serangan akut. Pada pasien yang sangat simtomatik seringkali ditemukan hipertrofi ventrikel kanan dan hipertensi paru pada elektrokardiografi. Seorang pasien yang dirawat, kapasitas vital paksa (forced vital capasity) cenderung kurang dari atau sama dengan 50% dari nilai normal. Volume ekspirasi 1 detik rata-rata 30% atau kurang dari yang diperkirakan, sementara rata-rata aliran mid ekspiratori maksimum dan minimum berkurang sampai 20% atau kurang dari yang diharapkan. Untuk mengimbangi perubahan mekanik, udara yang terperangkap (air trapping) ditemukan dalam jumlah besar. 3<br /><br />Gambaran klinik<br /><br /> Gejala asma terdiri dari trias dispnea, batuk dan mengi. Pada bentuk yang paling khas, asma merupakan penyakit episodik dan keseluruhan tiga gejala tersebut dapat timbul bersama-sama. Berhentinya episode asma kerapkali ditandai dengan batuk yang menghasilkan lendir atau mukus yang lengket seperti benang yang liat dan kerapkali berbentuk silinder dari saluran napas bagian distal (Spiral Churschmann) serta memperlihatkan sel eosinofil serta kristal Charcot-leyden jika dilihat dengan mikroskop. 3 Berbagai pembagian asma pada anak telah banyak dikemukakan. Pembagian asma menurut Phelan dkk (1983) adalah sebagai berikut :<br />1. Asma episodik jarang<br />Golongan ini merupakan 70–75% dari populasi asma anak. Biasanya terdapat pada anak umur 3–6 tahun. Serangan umumnya dicetuskan oleh infeksi virus saluran napas atas. Banyaknya serangan 3–4 kali dalam satu tahun. Lamanya serangan paling lama hanya beberapa hari saja dan jarang merupakan serangan yang berat. Gejala-gejala yang timbul lebih menonjol pada malam hari. Mengi dapat berlangsung sekitar 3–4 hari dan batuknya dapat berlangsung 10–14 hari. Waktu remisinya bermingu-minggu sampai berbulan-bulan. Manifestasi alergi lainnya misalnya eksim jarang didapatkan. Tumbuh kembang anak biasanya baik. Di luar serangan tidak ditemukan kelainan lain. 2<br />2. Asma episodik sering<br />Golongan ini merupakan 28% dari populasi asma anak. Pada dua pertiga golongan ini serangan pertama terjadi pada umur sebelum 3 tahun. Pada permulaan, serangan berhubungan dengan infeksi saluran pernapasan atas. Pada umur 5–6 tahun dapat terjadi serangan tanpa infeksi yang jelas. Biasanya orang tua menghubungkannya dengan perubahan udara, adanya alergen, aktivitas fisik dan stress. Banyaknya serangan 3−4 kali dalam satu tahun dan tiap kali serangan beberapa hari sampai beberapa minggu. Frekuensi serangan paling banyak pada umur 8−13 tahun. Pada golongan lanjut kadang-kadang sukar dibedakan dengan golongan asma kronik atau persisten. Umumnya gejala paling buruk terjadi pada malam hari dengan batuk dan mengi yang dapat mengganggu tidur. 2<br />Pemeriksaan fisik di luar serangan tergantung pada frekuensi serangan. Jika waktu serangan lebih dari 1−2 minggu, biasanya tidak ditemukan kelainan fisik. Hay fever dan eksim dapat ditemukan pada golongan ini. Pada golongan ini jarang ditemukan gangguan pertumbuhan. 2 <br /><br /> <br />3. Asma kronik atau persisten<br />Pada 25% anak serangan pertama terjadi sebelum umur 6 bulan, 75% sebelum umur 3 tahun. Pada 50% anak terdapat mengi yang lama pada 2 tahun pertama dan pada 50% sisanya serangan episodik. Pada umur 5−6 tahun akan lebih jelas terjadinya obstruksi saluran napas yang persisten dan hampir selalu terdapat mengi setiap hari. Dari waktu ke waktu terjadi serangan yang berat dan memerlukan perawatan di rumah sakit. Obstruksi jalan napas mencapai puncaknya pada umur 8–14 tahun. 2<br />Pada umur dewasa muda 50% dari golongan ini tetap menderita asma persisten atau sering. Jarang yang betul-betul bebas mengi pada umur dewasa muda. Pada pemeriksaan fisik dapat terjadi perubahan bentuk toraks seperti dada burung (pigeon chest), dada tong (barrel chest) dan terdapat sulkus Harrison. Pada golongan ini dapat terjadi gangguan pertumbuhan, yaitu bertubuh kecil. Kemampuan aktivitas fisiknya sangat berkurang, sering tidak dapat melakukan kegiatan olahraga dan kegiatan biasa lainnya. Sebagian kecil ada juga yang mengalami gangguan psikososial. 2<br /><br />· Varian bentuk Asma2<br />Disamping tiga golongan besar tersebut diatas terdapat bentuk asma yang tidak dapat begitu saja dimasukkan ke dalamnya.<br />Asma episodik berat atau berulang<br />Dapat terjadi pada semua umur, biasanya pada anak kecil dan umur prasekolah. Serangan biasanya berat dan sering memerlukan perawatan di rumah sakit. Biasanya berhubungan dengan infeksi saluran napas. Di luar serangan biasanya normal dan tanda-tanda alergi tidak menonjol. Serangan biasanya hilang pada umur 5−6 tahun. Tidak terdapat obstruksi saluran napas yang persisten.<br />Asma persisten<br />Mengi yang persisten dengan takipnea untuk beberapa hari atau beberapa minggu. Keadaan mengi yang persisten ini kemungkinan besar berhubungan dengan kecilnya saluran napas pada anak golongan umur ini. Terjadi pada beberapa anak umur 3−12 bulan. Mengi biasanya terdengar jelas jika anak sedang aktif. Keadaan umum anak dan tumbuh kembang biasanya tetap baik, bahkan beberapa anak menjadi gemuk sehingga ada istilah “fat happy wheezer”. Gambaran rontgen paru biasanya normal. Gejala obstruksi saluran napas disebabkan oleh edema mukosa dan hipersekresi daripada spasme otot bronkusnya.<br />Asma hipersekresi<br />Biasanya terdapat pada anak kecil dan permulaan umur sekolah. Gambaran utama serangan adalah batuk, suara napas berderak dan mengi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ronkhi basah kasar dab ronkhi kering..<br />Asma karena beban fisik<br />Serangan asma setelah melakukan kegiatan fisik sering dijumpai pada asma episodik sering dan pada asma kronik persisten. Disamping itu terdapat golongan asma yang manifestasi klinisnya baru timbul setelah ada beban fisik yang bertambah. Biasanya pada anak besar dan akil baliq.<br />Asma dengan alergen atau sensitivitas spesifik<br />Pada kebanyakan asma anak, biasanya terdapat banyak faktor yang dapat mencetuskan serangan asma, tetapi pada anak yang serangan asmanya baru timbul segera setelah terkena alergen, misalnya bulu binatang, minum aspirin, zat warna tartrazine, makan makanan atau minum minuman yang mengandung zat pengawet..<br />Batuk malam<br />Banyak terdapat pada semua golongan asma. Batuk terjadi karena inflamasi mukosa, edema dan produksi mukus yang banyak. Bila gejala menginya tidak jelas sering salah didiagnosis, yaitu pada golongan asma anak yang berumur 2−6 tahun dengan gejala utama serangan batuk malam yang keras dan kering. Batuk biasanya terjadi pada jam 1−4 pagi. Pada golongan ini sering didapatkan tanda adanya alergi pada anak dan keluarganya.<br />Asma yang memburuk pada pagi hari<br />Golongan yang gejalanya paling buruk jam 1−4 pagi. Keadaan demikian dapat terjadi secara teratur atau intermitten. Keadaan ini diduga berhubungan dengan irama diurnal caliber saluran napas, yang pada golongan ini sangat menonjol.<br /><br /><br /> <br />· Gejala klinis2<br />Serangan akut yang spesifik jarang dilihat sebelum anak berumur 2 tahun. Secara klinis asma dibagi dalam 3 stadium, yaitu :<br />1. Stadium I<br />Disaat terjadi edema dinding bronkus, batuk paroksismal karena iritasi dan batuk kering. Sputum yang kering dan terkumpul merupakan benda asing yang merangsang batuk.<br />2. Stadium II<br />Sekresi bronkus bertambah banyak dan timbul batuk berdahak jernih berbusa. Pada stadium ini anak akan mulai berusaha bernapas lebih dalam. Ekspirasi memanjang dan terdengar mengi. Tampak otot napas tambahan turut bekerja. Terdapat retraksi suprasternal, epigastrium dan mungkin sela iga. Anak lebih senang duduk dan membungkuk, tangan menekan pada tepi tempat tidur atau kursi. Anak tampak gelisah, pucat, sianosis sekitar mulut. Toraks membungkuk ke depan dan lebih bulat serta bergerak lambat pada pernapasan. Pada anak yang lebih kecil, cenderung terjadi pernapasan abdominal, retraksi suprasternal dan interkostal.<br />3. Stadium III<br />Obstruksi atau spasme bronkus lebih berat, aliran udara sangat sedikit sehingga suara napas hampir tidak terdengar. Stadium ini sangat berbahaya karena sering disangka ada perbaikan. Batuk seperti ditekan. Pernapasan dangkal, tidak teratur dan frekuensi napas yang mendadak meninggi<br /><br />Diagnosis<br />Studi epidemiologi menunjukkan bahwa asma tidak terdiagnosis di seluruh dunia, disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita tidak merasa perlu berobat ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabilitas yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiltas kelainan faal paru akan lebih meningkatkan nilai diagnostic<br /><br />· Riwayat penyakit atau gejala :<br />1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.<br />2. Gejala berupa batuk berdahak, sesak napas, rasa berat di dada.<br />3. Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari.<br />4. Diawali oleh factor pencetus yang bersifat individu.<br />5. Responsif terhadap pemberian bronkodilator.<br />· Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit<br />Riwayat keluarga (atopi).<br />Riwayat alergi/atopi.<br />Penyakit lain yang memberatkan.<br />Perkembangan penyakit dan pengobatan.<br /><br />Serangan batuk dan mengi yang berulang lebih nyata pada malam hari atau bila ada beban fisik sangat karakteristik untuk asma. Walaupun demikian cukup banyak asma anak dengan batuk kronik berulang, terutama terjadi pada malam hari ketika hendak tidur, disertai sesak, tetapi tidak jelas mengi dan sering didiagnosis bronkitis kronik. Pada anak yang demikian, yang sudah dapat dilakukan uji faal paru (provokasi bronkus) sebagian besar akan terbukti adanya sifat-sifat asma. Selanjutnya bila diberi obat asma akan menunjukkan perbaikan yang nyata. 2<br /><br />Batuk malam yang menetap dan yang tidak tidak berhasil diobati dengan obat batuk biasa dan kemudian cepat menghilang setelah mendapat bronkodilator, sangat mungkin merupakan bentuk asma. 2<br />1. Pemeriksaan fisik<br />o Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pada asma ringan dan sedang tidak ditemukan kelainan fisik di luar serangan.<br />o Pada inspeksi terlihat pernapasan cepat dan sukar, disertai batuk-batuk paroksismal, kadang-kadang terdengar suara mengi, ekspirasi memanjang, terlihat retraksi daerah supraklavikular, suprasternal, epigastrium dan sela iga. Pada asma kronik bentuk toraks emfisematous, bongkok ke depan, sela iga melebar, diameter anteroposterior toraks bertambah. 2<br />o Pada perkusi terdengar hipersonor seluruh toraks, terutama bagian bawah posterior. Daerah pekak jantung dan hati mengecil. 2<br />o Pada auskultasi bunyi napas kasar/mengeras, pada stadium lanjut suara napas melemah atau hampir tidak terdengar karena aliran udara sangat lemah. Terdengar juga ronkhi kering dan ronkhi basah serta suara lender bila sekresi bronkus banyak. 2<br />o Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat disertai gejala sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan obat bantu napas.<br />o Tinggi dan berat badan perlu diperhatikan dan bila mungkin bila hubungannya dengan tinggi badan kedua orang tua. Asma sendiri merupakan penyakit yang dapat menghambat perkembangan anak. Gangguan pertumbuhan biasanya terdapat pada asma yang sangat berat. Anak perlu diukur tinggi dan berat badannya pada tiap kali kunjungan, karena akibat pengobatan sering dapat dinilai dari perbaikan pertumbuhannya. 2 <br />2. Uji faal paru2<br />Berguna untuk menilai asma meliputi diagnosis dan penatalaksanaannya. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai :<br />1. Derajat obstruksi bronkus<br />2. Menilai hasil provokasi bronkus<br />3. Menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan penyakit.<br />Pemeriksaan faal paru yang penting pada asma adalah PEFR, FEV1, PVC, FEV1/FVC. Sebaiknya tiap anak dengan asma di uji faal parunya pada tiap kunjungan. “peak flow meter” adalah yang paling sederhana, sedangkan dengan spirometer memberikan data yang lebih lengkap. Volume kapasitas paksa (FVC), aliran puncak ekspirasi (PEFR) dan rasio FEV1/FVC berkurang > 15% dari nilai normalnya. Perpanjangan waktu ekspirasi paksa biasanya ditemukan, walaupun PEFR dan FEV1/FVC hanya berkurang sedikit. Inflasi yang berlebihan biasanya terlihat secara klinis, akan digambarkan dengan meningginya isi total paru (TLC), isi kapasitas residu fungsional dan isi residu. Di luar serangan faal paru tersebut umumnya akan normal kecuali pada asma yang berat. Uji provokasi bronkus dilakukan bila diagnosis masih diragukan. Tujuannya untuk menunjukkan adanya hiperreaktivitas bronkus. Uji Provokasi bronkus dapat dilakukan dengan :<br />1. Histamin<br />2. Metakolin<br />3. Beban lari<br />4. Udara dingin<br />5. Uap air<br />6. Alergen<br />Yang sering dilakukan adalah cara nomor 1, 2 dan 3. Hiperreaktivitas positif bila PEFR, FEV1 turun > 15% dari nilai sebelum uji provokasi dan setelah diberi bronkodilator nilai normal akan tercapai lagi. Bila PEFR dan FEV1 sudah rendah dan setelah diberi bronkodilator naik > 15% yang berarti hiperreaktivitas bronkus positif dan uji provokasi tidak perlu dilakukan. ru yang penting pada asma adalah PEFR,FEV1PVCFEV1/FVCulut. Toraks membungkuk ke depan dan lebih bulat serta b<br />3. Foto rontgen toraks<br />Tampak corakan paru yang meningkat. Atelektasis juga sering ditemukan. Hiperinflasi terdapat pada serangan akut dan pada asma kronik. Rontgen foto sinus paranasalis perlu juga bila asmanya sulit dikontrol. <br />4. Pemeriksaan darah eosinofil dan uji tuberkulin<br />Pemeriksaan eosinofil dalam darah, sekret hidung dan dahak dapat menunjang diagnosis asma. Dalam sputum dapat ditemukan kristal Charcot-Leyden dan spiral Curshman. Bila ada infeksi mungkin akan didapatkan leukositosis polimormonuklear. <br />5. Uji kulit alergi dan imunologi<br />1. Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum.<br />2. Uji kulit adalah cara utama untuk mendignosis status alergi/atopi, umumnya dilakukan dengan prick test. Alergen yang digunakan adalah alergen yang banyak didapat di daerahnya. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk diagnosis atopi, dapat juga mendapatkan hasil positif palsu maupun negative palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala klinik harus selalu dilakukan. Untuk menentukan hal itu, sebenarnya ada pemeriksaan yang lebih tepat, yaitu uji provokasi bronkus dengan alergen yang bersangkutan. Reaksi uji kulit alergi dapat ditekan dengan pemberian antihistamin<br />3. Pemeriksaan IgE spesifik dapat memperkuat diagnosis dan menentukan penatalaksaannya. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/atopi. <br /><br />Diagnosis banding asma pada anak : 2<br />· Pada bayi adanya benda asing di saluran napas dan esophagus atau kelenjar timus yang menekan trakea.<br />· Penyakit paru kronik yang berhubungan dengan bronkiektasis dan fibrosis kistik.<br />· Kelainan trakea dan bronkus misalnya laringotrakeomalasia dan stenosis bronkus.<br />· Tuberkulosis kelenjar limfe di daerah trakeobronkial<br />· Bronkitis. Tidak ditemukan eosinofilia, suhu biasanya tinggi dan tidak herediter. Bila sering berulang dan kronik biasanya disebabkan oleh asma.<br />· Bronkiolitis akut, biasanya mengenai anak di bawah umur 2 tahun dan terbanyak di bawah umur 6 bulan dan jarang berulang.<br />· Asma kardial. Sangat jarang pada anak. Dispnea paroksismal terutama malam hari dan biasanya didapatkan tanda-tanda kelainan jantung.<br />Asma pada bayi dan anak kecil sering didiagnosis sebagai bronkitis asmatika, wheezy cold, bronkitis dengan mengi, bronkiolitis berulang dan lain-lainnya. <br /><br />Klasifikasi<br /><br />Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan.<br />Tabel klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis<br />Derajat asma<br />Gejala<br />Gejala malam<br />Faal paru<br />Intermitten<br />· Bulanan<br />· Gejala < 1x/minggu<br />· Tanpa gejala diluar serangan<br />· Serangan singkat<br />≤ 2x/bulan<br />· APE ≥ 80%<br />· VEP1 ≥ 80% nilai prediksi APE ≥ 80% nilai terbaik<br />· Variabilitas APE < 20%<br />Persisten ringan<br />· Mingguan<br />· Gejala > 1x/minggu tetapi < 1x/hari<br />· Serangan dpt mengganggu aktivitas dan tidur<br />> 2x/bulan<br />· APE > 80%<br />· VEP1 ≥ 80% nilai prediksi APE ≥ 80% nilai terbaik<br />· Variabilitas APE 20-30%<br />Persisten sedang<br />· Harian<br />· Gejala setiap hari<br />· Serangan mengganggu aktivitas dan tidur<br />· membutuhkan bronkodilator setiap hari<br />> 1x/minggu<br />· APE 60-80%<br />· VEP1 60-80% nilai prediksi APE 60-80% nilai terbaik<br />· Variabilitas APE > 30%<br />Persisten berat<br />· Kontinua<br />· Gejala terus menerus<br />· Sering kambuh <br />· Aktivitas fisik terbatas<br />Sering<br />· APE ≤ 60%<br />· VEp1 ≤ 60% nilai prediksi ≤ 60% nilai terbaik<br />· Variabilitas APE > 30%<br /><br /> Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan, dan pengobatan yang telah berlangsung seringkali tidak adekuat. Pengobatan akan mengubah gambaran klinis bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada penderita dalam pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu sendiri.<br />Tabel klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan<br />Tahapan pengobatan yang digunakan saat penilaian<br />Gejala dan faal paru dalam pengobatan<br />Tahap I intermiten<br />Tahap 2 persisten sedang<br />Tahap 3 persisten sedang<br />· Tahap I : intermitten<br />· Gejala < 1x/minggu<br />· Serangan singkat<br />· Gejala malam < 2x/bulan<br />· Faal paru normal di luar serangan<br />Intermiten<br />Persisten ringan<br />Persisten sedang<br />· Tahap II : persisten ringan<br />· Gejala > 1x/minggu, tetapi <> 2x/bulan, tetapi < 1x/minggu<br />· Faal paru normal diluar serangan<br />Persisten ringan<br />Persisten sedang<br />Persisten berat<br />· Tahap III : persisten sedang<br />· Gejala setiap hari, serangan mempengaruhi aktivitas dan tidur<br />· Gejala malam > 1x/minggu<br />· 60% < VEP1 < 80% nilai prediksi<br />· 60% < APE < 80% nilai terbaik<br />Persisten sedang<br />Persisten berat<br />Persisten berat<br />· Tahap IV : persisten berat<br />· Gejala terus menerus, serangan sering, gejala malam sering<br />· VEP1 ≤ 60% nilai prediksi atau<br />· APE ≤ 60% nilai terbaik<br />Persisten berat<br />Persisten berat<br />Persisten berat<br /><br />Pengobatan<br /><br /> Pasien asma dapat berada dalam keadaan tenang, tetapi dapat juga dalam keadaan serangan. Serangan asma dapat ringan, sedang dan berat. Bahkan dapat jatuh dalam keadaan status asmatikus, yakni serangan asma yang berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obat biasa yang dapat mengatasi serangan tersebut.<br /><br />Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas, terdiri dari pengontrol dan pelega.<br />1. Pengontrol (controller)<br />Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikas setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah. Yang termasuk obat pengotrol :<br />· Kortikosteroid inhalasi<br />· Kortikosteroid sistemik<br />· Sodium kromoglikat<br />· Nedokromil sodium<br />· Metilsantin<br />· Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi<br />· Agonis beta-2 kerja lama, oral<br />· Leukotrien modifier<br />· Antihistamin generasi ke dua (antagonis-H1) kasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikas setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan ke<br />2. Pelega (reliever)<br />sien asma dapat berada dalam keadaan tenang, tetapi dapat juga dalam keadaan serangan. Serangan asma dapat ringan, sedang, berPrinsipnya adalah untuk mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut, seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas. Termasuk pelega adalah :<br />· Agonis beta-2 kerja singkat<br />· Kortikosteroid sistemik (steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).<br />· Antikolinergik<br />· Aminofilin<br />· Adrenalin<br /><br />Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara, yaitu inhalasi, oral dan parenteral (subkutan, intramuskular dan intravena). Kelebihan pemberian medikasi langsung ke jalan napas adalah :<br />1. Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas<br />2. Efek sistemik minimal atau dihindarkan<br />3. Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorbsi pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator adalah cepat bila diberikan secara inhalasi daripada oral.<br /><br />· Serangan asma dan penanggulangannya2<br />o Serangan asma yang ringan biasanya cukup diobati dengan obat bronkodilator oral atau aerosol, bahkan ada yang demikian ringannya hingga tidak memerlukan pengobatan.<br />o Serangan asma yang sedang dan akut perlu pengobatan dengan obat yang kerjanya cepat, misalnya bronkodilator aerosol atau bronkodilator subkutan seperti adrenalin.<br />o Pada serangan ringan akut tidak diperlukan kortikosteroid tetapi pada serangan ringan kronik atau serangan sedang mungkin diperlukan tambahan kortikosteroid dan bronkodilator. Pada serangan sedang oksigen sudah perlu diberikan 1–2 liter/menit.<br />o Pada serangan asma yang berat bila gagal dengan bronkdilator aerosol atau subkutan dan kortikosteroid perlu teofilin intravena, oksigen dan koreksi keseimbangan cairan, asam-basa dan elektrolit. Bila upaya-upaya tersebut gagal atau diduga akan gagal, keadaan jiwa anak mungkin terancam, berarti anak tersebut sudah masuk dalam keadaan status asmatikus. 2<br />· Penanggulangan status asmatikus<br />1. Pemberian oksigen dilanjutkan 4–6 liter/menit.<br />2. Periksa gas darah dan pasang IVFD cairan 3:1 (glukosa 10% : NaCl 0,9% ditambah KCl 5 Meq/kolf. Koreksi keseimbangan cairan, asam-basa dan elektrolit.<br />3. Pemberian teofilin dilanjutkan, dengan :<br />· memonitor kadar teofilin darah<br />· Pantau tanda-tanda keracunan teofilin<br />· Bila tidak ada tanda-tanda keracunan teofilin dan keadaan serangan asmanya belum membaik, mungkin perlu tambahan dosis teofilin.<br />4. Kortikosteroid yang sudah diberikan diteruskan pemberiannya, bila belum harus diberikan. Kortikosteroid diberikan intravena, karena sangat diperlukan untuk mempercepat hilangnya udem dan mengembalikan sensitivitas terhadap bronkodilator.<br />5. Usaha pengenceran lendir dengan obat mukolitik perlu dipertimbangkan karena biasanya pada keadaan seperti ini terdapat banyak lender dan lengket di seluruh cabang-cabang bronkus.<br />6. Periksa EKG dan rontgen foto toraks.<br />Pantau tanda-tanda vital, bila terdapat tanda-tanda gagal napas yang mengancam perlu bantuan pernapasan, bila perlu dirawat di unit perawatan intensif. 2<br /><br />Apabila serangan asma baru pada stadium prodromal, maka penggunaan bronkodilator secepat-cepatnya dan dengan cara yang tepat dengan dosis yang cukup memadai dapat menggagalkan serangan asma akut (lewis dan farrel, 1985). 2<br /><br />Bronkodilator simpatomimetik seperti juga bronkodilator lainnya, disamping dipakai untuk mengobati serangan asma juga dipakai sebagai obat untuk mengatasi serangan asma. Dianjurkan memakai beta-2 selektif. Bentuk aerosol (inhalasi) merupakan cara pencegah dan penggagal serangan asma yang baik dan cepat kerjanya. Simpatomimetik sering dikombinasikan dengan dengan teofilin peroral. Dengan dosis tengah, efek bronkodilatasinya bersifat aditif sedangkan efek sampingnya lebih sedikit. Pada penggunaan jangka panjang, misalnya asma kronik atau persisten, teofilin obat tunggal atau kombinasi dengan simpatomimetik merupakan obat yang harus dipakai lebih dahulu sebelum ditambah dengan obat lain dalam rangka mencegah kambuhnya serangan asma. 2<br /><br />Kortikosteroid merupakan obat penting dalam pencegahan asma dan hendaknya dipertimbangkan bila hasil pengobatan dengan bronkodilator tidak memadai. Dosis prednison 1–2 mg/kgBB/hari, biasanya tidaj memberikan efek samping. Pemberian kortikosteroid jangka pendek pada waktu serangan asma dapat mencegah keadaan yang lebih gawat dan perawatan di rumah sakit tidak diperlukan. Anak yang telah mendapat terapi kortikosteroid lama dengan dosis rumatan, bila mendapat serangan asma akut dosis kortikosteroid perlu ditinggikan. Pada asma yang persisten atau kronik, pemberian kortikosteroid mungkin diperlukan.. Jika terpaksa menggunakan kortikostreroid jangka panjang harus diberikan secara inhalasi. Pada bayi dan anak kecil serangan asma mungkin lebih banyak disebabkan oleh udem mukosa dan sekresi bronkus daripada bronkospasme. Pemberian kortikosteroid mungkin sangat berguna. 2<br /><br />Disodium kromogikat (DSCG) inhalasi, salah satu kerjanya adalah mencegah degranulasi sel mast merupakan onat untuk mencegah serangan asma, terutama bila diberikan secara teratur (Bernstein, 1981). Bila diberikan sebelum kegiatan jasmani dapat mencegah asma yang diinduksi aktivitas fisik Pada asma ringan dan sedang efektifitas pencegahannya sama dengan teofilin, efek samping lebih sedikit (Hambleton dkk 1977, Furukawa dkk 1984). 2<br /><br />Obat pencegahan yang ideal untuk anak adalah obat yang diberikan secara oral 1–2 kali/hari. Ketotifen yang salah satu kerjanya memperkuat dinding sel mast sehingga mencegah keluarnya mediator dilaporkan dapat merupakan obat pencegahan peroral yang dapat diberikan 2 kali/hari. 2<br /><br />Terapi imnulogik tidak dianjurkan sebagai tindakan rutin (Lichtenstein 1978). Tetapi tindakan ini yang salah satu tugasnya membentuk antibodi penghalang perlu dipertimbangkan bila tindakan-tindakan lainnya telah dusahakan semaksimal mungkin dan tidak memberikan hasil. 2 ena sangat diperlukan untuk mempercepat hilangnya udem dan mengembalikan sensitivitas terlin.<br />seranganahsa 10% : NaCl 0,9% ditambah KCl 5 Meq/kolf. Koreksi keseimbangan cairan id da<br />Penatalaksanaan dan pencegahan<br /> Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempetahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma adalah gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang menimbulkan hiperresponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat episodik. Sehingga penatalaksanaan asma dilakukan melalui berbagai pendekatan yang dapat dilaksanakan, mempunyai manfaat, aman dan terjangkau.<br />· Tujuan penatalaksanaan asma :<br />1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma<br />2. mencegah eksaserbasi akut<br />3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin<br />4. Mengupayakan aktivitas normal termasuk latihan fisik<br />5. Menghindari efek samping obat.<br />6. Mencegah terjadinya keterbatasan alran udara irreversible<br />7. Mencegah kematian karena asma<br /><br />· Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol bila :<br />Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam.<br />Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk latihan fisik<br />Kebutuhan bronkodilator (agonis beta2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak diperlukan).<br />Variasi harian APE < 20%<br />Nilai APE normal atau mendekati normal<br />Efek samping obat minimal (tidak ada)<br />Tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat<br />.<br /><br />· Integrasi dari pendekatan-pendekatan tersebut dikenal dengan program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen, yaitu :<br />Edukasi<br />Menilai dan memonitor berat asma secara berkala<br />Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus<br />Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang<br />Menetapkan pengobatan pada serangan akut<br />Kontrol secara teratur<br />Pola hidup sehat<br /><br />· Ke 7 hal tersebut di atas, juga disampaikan kepada penderita dengan bahasa yang mudah dan dikenal (dalam istilah) dengan “7 langkah mengatasi asma”, yaitu :<br />Mengenal seluk beluk asma<br />Menentukan klasifikasi<br />Mengenali dan meghindari pencetus<br />Merencanakan pengobatan jangka panjang<br />Mengatasi serangan asma dengan tepat<br />Memeriksakan diri secara teratur<br />Menjaga kebugaran dan berolahraga<br /><br />Penanggulangan serangan asma pada anak sekarang yang lebih penting ditujukan untuk mencegah serangan asma bukan untuk mengatasi serangan asma. Pencegahan serangan asma terdiri atas :<br />· Menghindari faktor-faktor pencetus<br />· Obat-obatan dan terapi imunologi<br />Penggunaan obat-obatan atau tindakan untuk mencegah dan meredakan atau reaksi-reaksi yang akan atau sudah timbul oleh pencetus tadi.<br /><br /><br />Macam-macam pencetus asma : 2<br />1. Alergen<br />Faktor alergi dianggap mempunyai peranan penting pada sebagian besar anak dengan asma (William dkk 1958, Ford 1969). Disamping itu hiperreaktivitas saluran napas juga merupakan factor yang penting. Sensitisasi tergantung pada lama dan intensitas hubungan dengan bahan alergenik sehingga dengan berhubungan dengan umur. Pada bayi dan anak kecil sering berhubungan dengan isi dari debu rumah. Dengan bertambahnya umur makin banyak jenis alergen pencetusnya. Asma karena makanan biasanya terjadi pada bayi dan anak kecil.<br />2. Infeksi<br />Biasanya infeksi virus, terutama pada bayi dan anak kecil. Virus penyebab biasanya respiratory syncytial virus (RSV) dan virus parainfluenza. Kadang-kadang juga dapat disebabkan oleh bakteri, jamur dan parasit.<br />3. Cuaca<br />Perubahan tekanan udara (Sultz dkk 1972), suhu udara, angin dan kelembaban (Lopez dan Salvagio 1980) dihubungkan dengan percepatan dan terjadinya serangan asma.<br />4. Iritan<br />Hairspray, minyak wangi, asap rokok, cerutu dan pipa, bau tajam dari cat, SO2, dan polutan udara yang berbahaya lainnya, juga udara dingin dan air dingin.Iritasi hidung dan batuk dapat menimbulkan refleks bronkokonstriksi (Mc. Fadden 1980). Udara kering mungkin juga merupakan pencetus hiperventilasi dan kegiatan jasmani (strauss dkk 1978, Zebailos dkk 1978).<br />5. Kegiatan jasmani<br />Kegiatan jasmani yang berat dapat menimbulkan serangan pada anak dengan asma (Goldfrey 1978, Eggleston 1980). Tertawa dan menangis dapat merupakan pencetus. Pada anak dengan faal paru di bawah normal sangat rentan terhadap kegiatan jasmani.<br />6. Infeksi saluran napas bagian atas<br />Disamping infeksi virus saluran napas bagian atas, sinusitis akut dan kronik dapat mempermudah terjadinya asma pada anak (Rachelesfsky dkk 1978). Rinitis alergi dapat memperberat asma melalui mekanisme iritasi atau refleks.<br /><br />7. Refluks gastroesofagitis<br />Iritasi trakeobronkial karena isi lambung dapat memberatkan asma pada anak dan orang dewasa (Dess 1974).<br />8. Psikis<br />Tidak adanya perhatian dan tidak mau mengakui persoalan yang berhubungan dengan asma oleh anak sendiri atau keluarganya akan memperlambat atau menggagalkan usaha-usaha pencegahan. Dan sebaliknya jika terlalu takut terhadap serangan asma atau hari depan anak juga tidak baik, karena dapat memperberat serangan asma. Membatasi aktivitas anak, anak sering tidak masuk sekolah, sering bangun malam, terganggunya irama kehidupan keluarga karena anak sering mendapat serangan asma, pengeluaran uang untuk biaya pengobatan dan rasa khawatir, dapat mempengaruhi anak asma dan keluarganya. <br /><br />Serangan asma sering timbul karena kerja sama berbagai pencetus. Dengan anak pencetus alergen sering disertai pencetus non alergen yang dapat mempercepat dan memperburuk serangan asma. Pada 38% kasus William dkk (1958) Faktor pencetusnya adalah alergen dan infeksi. Diduga infeksi virus memperkuat reaksi terhadap pencetus alergenik maupun nonalergenik. 2<br /><br /> Berbagai pencetus serangan asma dan cara menghindarinya perlu diketahui dan diajarkan pada si anak dan keluarganya, debu rumah dan unsur di dalamnya merupakan pencetus yang sering dijumpai pada anak. Pada 76,5% anak dengan asma yang berobat di poliklinik Subbagian Pulmonologi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM Jakarta, debu rumah diduga sebagai pencetusnya. 2<br /><br /> Serangan asma setelah makan atau minum zat yang tidak tahan, dapat terjadi tidak lama setelah makan, tetapi dapat juga terjadi beberapa waktu setelahnya. 2<br /><br /> Anggota keluarga yang sedang menderita “flu” tidak boleh mendekati anak yang asma atau kalau dekat anak yang asma lebih-lebih bila bicara, batuk atau bersin perlu menutup mulut dan hidungnya. Hindarkan anak dari perubahan cuaca atau udara yang mendadak, lebih-lebih perubahan ke arah dingin. 2<br /><br />Aktivitas fisik tidak dilarang bahkan dianjurkan tetapi diatur. Jalan yang dapat ditempuh supaya anakdapat tetap beraktivitas adalah :<br />Menambah toleransi secara bertahap, menghindari percepatan gerak yang mendadak, Mengalihkan macam kegiatan, misalnya lari, naik ke sepeda, berenang.<br />Bila mulai batuk-batuk istirahat dahulu sebentar, minum air dan kemudian bila batuk-batuk sudah mereda kegiatan dapat dimulai kembali.<br />Ada beberapa anak yang memerlukan makan obat atau menghirup obat aerosol dahulu beberapa waktu sebelum kegiatan olahraga. 2<br /><br />Komplikasi<br /><br />Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan terjadi emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks yaitu toraks membungkuk ke depan dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat diafragma letak rendah, gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri dan kanan bertambah. entuk dada brung dapat dinilai dari perbaikan pertumbuhannya.rang tua. Asma sendiri mePada asma kronik dan berat dapat terjadi bentuk dada burung dara dan tampak sulkus Harrison. 2<br /><br />Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga dapat terjadi atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Bila atelektasis berlangsung lama dapat berubah menjadi bronkiektasis dan bila ada infeksi terjadi bronkopneumonia. Serangan asma yang terus menerus dan beberapa hari serta berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obatan disebut status asmatikus. Bila tidak ditolong dengan semestinya dapat menyebabkan gagal pernapasan, gagak jantung, bahkan kematian. 2<br /> <br />Prognosis dan perjalanan klinis<br />Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang jumlahnya kira-kira 10 juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas. 3<br /><br />Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik ditemukan pada 50–80% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 7–10 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari 26–78% dengan nilai rata-rata 46%, akan tetapi persentase anak yang menderitaringan dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita asma penyakit yang berat relatif berat (6 –19%).3<br /> Secara keseluruhan dapat dikatakan 70–80% asma anak bila diikuti sampai dengan umur 21 tahun asmanya sudah menghilang. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi asma anak : 2<br />Umur ketika serangan pertama timbul, seringnya serangan asma, berat ringannya serangan asma, terutama pada 2 tahun sejak mendapat serangan asma.<br />Banyak sedikitnya faktor atopi pada anak dan keluarga.<br />Pernah menderita atau menderita ekzema infantil yang sulit diatasi.<br />Lamanya minum air susu ibu.<br />Usaha pengobatan dan penggulangannya.<br />Apakah orang tua atau orang serumah/sekamar merokok. Polusi udara di dalam atau di luar rumah.<br />Penghindaran alergen yang dimakan sejak hamil dan sewaktu menyusui.<br />Jenis kelamin, kelainan hormonal dan lain-lain. derung meningkat diprang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang jumlahnya kira-kira 10 j2<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB III<br />KESIMPULAN<br /><br />Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai Negara di seluruh dunia. Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu aktivitas bahkan kegiatan harian. Produktivitas menurun akibat bolos kerja atau sekolah dan dapat menimbulkan kecacatan sehingga menambah penurunan produktivitas serta menurunkan kualitas hidup.<br /><br />Penyebab asma dapat berasal dari gangguan pada saluran pernapasan yang kita kenal sebagai asma bronkial dan bisa juga berasal dari jantung yang kita kenal sebagai asma jantung. Istilah bronkial sendiri merujuk pada bronkus. Istilah tersebut berasal dari bahasa Inggris, “bronchial.” Dengan demikian, asma bronkial dapat dipahami sebagai asma yang penyebabnya berkaitan dengan bronkus. <br /><br />Serangan asma dapat berupa serangan sesak napas ekspiratoir yang paroksismal, berulang-ulang dengan mengi (“wheezing”) dan batuk yang disebabkan oleh konstriksi atau spasme otot bronkus, inflamasi mukosa bronkus dan produksi lendir kental yang berlebihan. 2<br /><br />Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam hari atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.<br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI : Jakarta, 2004.<br />2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Cetakan Ke 7. Percetakan Infomedika : Jakarta, 2002.<br />3. Isselbacher. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit dalam. Edisi 13. Volume 3. Editor Edisi bahasa Indonesia : Ahmad H. Asdie. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta, 2000.<br />4. Robbins dkk. Buku Ajar Patologi II. Edisi 4. Alih Bahasa : Staf pengajar Laboratorium Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta, 1995.<br />5. http://www.klinikku.com/pustaka/medis/resp/asma.htmlibnu zamsa firmanullahhttp://www.blogger.com/profile/04444679012279299665noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-365714640221455087.post-81829472520869264642009-05-18T22:02:00.001-07:002009-05-18T22:07:29.986-07:00Osteoathritis<div align="justify"><br />1Bab I<br />Pendahuluan<br /><br /><br />1.1 Latar Belakang<br />Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Vertebra, panggul, lutut dan pergelangan kaki paling sering terkena OA. Prevalensi OA lutut radiologis di Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15,5 % pada pria, dan 12,7 % pada wanita. Pasien OA biasanya mengeluh nyeri pada waktu melakukan aktivitas atau jika ada pembebanan pada sendi yang terkena. Pada derajat yang lebih berat, nyeri dapat dirasakan terus menerus sehingga sangat mengganggu mobilitas pasien. Karena prevalensi yang cukup tinggi dan efeknya yang kronik-progresif, OA mempunyai dampak sosio-ekonomi yang besar, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Diperkirakan 1 sampai 2 juta orang lanjut usia di Indonesia menderita cacat karena OA. Pada abad mendatang tantangan terhadap dampak OA akan lebih besar karena semakin banyaknya populasi yang berumur tua.<br /><br />1.2 Tujuan<br />Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini antara lain untuk memenuhi salah satu penilaian kognitif pada masa Kepaniteraan Klinik pada stase bagian Ilmu Penyakit Dalam. Selain itu, tujuan penulisan Tinjauan Pustaka antara lain untuk menambah pengetahuan bagi penulis dan bagi orang lain yang membacanya.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />2Bab II<br />Tinjauan Pustaka<br /><br /><br />2.1 Definisi<br />Merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Vertebra, panggul, lutut dan pergelangan kaki paling sering terkena OA. (Soeroso, Isbagio, Kalim, Broto, Pramudiyo, 2007).<br />Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi yang karakteristik dengan menipisnya rawan sendi secara progresif, disertai dengan pembentukan tulang baru pada trabekula subkondral dan terbentuknya rawan sendi dan tulang baru pada tepi sendi (osteofit). Secara histopatologik proses OA ditandai dengan menipisnya rawan sendi disertai pertumbuhan dan remodelling tulang di sekitarnya (bony overgrowth) diikuti dengan atrofi dan destruksi tulang di sekitarnya. (Isbagio, 2000)<br /><br />2.2 Rawan Sendi Normal<br /> Rawan sendi normal merupakan jaringan ikat khusus avaskuler dam tidak memiliki jaringan saraf yang melapisi permukaan tulang dari sendi diartrodial. Rawan sendi berperan sebagai bantalan yang menerima (meredam) beban benturan yang terjadi selama gerakan sendi normal dam meneruskannya ke tulang di bawah sendi. Keunikan rawan sendi terletak pada komposisi dan struktur matriks ekstraseluler yang terutama mengandung agregat proteoglikan dalam konsentrasi tinggi dalam sebuah ikatan yang erat dengan serabut kolagen (collagen fiber) dan sejumlah besar air.<br />Komposisi rawan sendi normal mengandung hanya satu jenis sel yang sangat spesifik yaitu kondrosit yang berperan dalam mensintesis dan memelihara matriks ekstraseluler. Matriks rawan sendi terutama mengandung kolagen, proteoglikan dan air. Kolagen merupakan molekul protein yang sangat kuat; ada beberapa tipe kolagen pada matriks ekstraseluler tetapi sebagian besar ialah kolagen tipe B. Kolagen berfungsi sebagai kerangka bagi rawan sendi yang akan membatasi pengembangan berlebihan agregat proteoglikan. Proteoglikan<br />merupakan molekul kompleks yang tersusun atas inti protein dan molekul glikosaminoglikan. Bersama-sama dengan asam hialuronat, proteoglikan membentuk agregat yang dapat mengisap air dari sekitarnya sehingga mengembang sedemikian rupa membentuk bantalan yang baik sesuai dengan fungsi rawan sendi. Bagian proteoglikan yang melekat pada asam hialuronat adalah terminal-N dari inti proteinnya, pada terminal ini juga melekat protein link. Terminal karboksi dari inti protein proteoglikan merupakan ujung bebas yang mungkin berperan dalam interaksinya dengan matriks ekstraseluler lainnya. Proteoglikan merupakan susunan 3 globular utama (G1, G2, G3) yang dipisahkan oleh perpanjangan segmen (E1 dan E2) yang membawa kondroitin sulfat (CS, pada domain kaya CS) dan keratan sulfat (KS, pada domain yang kaya keratan sulfat, pada segmen El dam sebagian pada domain kaya CS). Pada domain G1 dam G2 serta LP (link protein) terdapat struktur loop ganda yang disebut proteglycan tandem repeat (RPT), selain itu pada domain Gl dam LP terdapat pula bentuk loop lainnya yang disebut Immunoglabulin fold (Ig fold) yang secara selektif berinteraksi dengan asam hialuronat membentuk agregat.<br /> Di dalam rawan sendi normal, komponen matriks ekstraseluler walaupun lambat secara terus menerus mengalami pergantian (turn-over), molekul tua akan diganti yang baru.<br /> Proteoglikan mengalami turn-over yang lebih cepat dibandingkan kolagen, karena proteoglikan lebih peka terhadap enzim degradasi. Pada turn-over normal akan dilepaskan sejumlah besar fragmen proteoglikan yang menunjukkan bahwa bagian yang terputus (cleavage) adalah pada inti protein di tempat yang berdekatan dengan domain G1 dan G2 sehingga memisahkan ikatan HA dari regio pembawa glikosaminoglikan. Degradasi makromolekul ini dikontrol oleh enzim proteolitik yang disintesis oleh kondrosit. Enzim proteolitik yang berperan pada proses ini ialah Metaloprotease 1 (MMP1 atau kolagenase) dan Metaloprotease 3 (MMP 3 atau stromelisin). Aktivitas enzim tersebut dikontrol oleh inhibitor endogen yang dikenal sebagai Tissue Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP). Kecepatan degradasi ditentukan pula oleh kadar enzim sintesis dan aktivitas dalam jaringan. Pada keadaan normal, proses degradasi dan sintesis harus terkoordinasi secara reguler agar jumlah makromolekul tetap terpelihara. Berbagai faktor berperan dalam menjaga keseimbangan antara proses degradasi dan sintesis matriks makromolekuler ini, tetapi secara in vivo kontrol mekanisme ini belum diketahui secara pasti. Berbagai faktor anabolik dan katabolik diketahui mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi metabolisme kondrosit dalam turn-over matriks rawan sendi. Sitokin, seperti interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor-α (TNF-α) merangsang sintesis enzim proteolitik dan menginduksi degradasi kolagen dan proteoglikan yang secara simultan menghambat sintesa proteoglikan. Sitokin ini terutama disintesis oleh makrofag, yang lebih nyata pada keadaan inflamasi sendi. Hormon pertumbuhan seperti transforming growth factor (TGF-β) dan Insulin-like growth factor-1 (IGF-1) sebaliknya mempunyai efek anabolik terhadap metabolisme kondrosit. Peranannya sangat unik karena tidak hanya menstimulasi sintesis proteoglikan tetapi punya efek melawan aksi IL-1 pada metabolisme kondrosit dengan menghambat efek katabolik padsa rawan sendi.<br /><br />2.3 Etiopatogenesis<br />Etiopatogenesis osteoartritis sampai saat ini belum dapat dijelaskan melalui satu teori yang pasti. Telah diketahui bahwa tidak ada satupun pemeriksaan tunggal yang dapat menjelaskan proses kerusakan rawan sendi pada OA. Etiopatogenesis OA diduga merupakan interaksi antara faktor intrinsik dan ekstrinsik dan OA merupakan keseimbangan di antara faktor etiologik dan proses jaringan. (Isbagio, 2000)<br />Beradasarkan patogenesisnya, OA dibedakan menjadi dua, yaitu OA primer dan OA sekunder. Osteoartritis primer disebut juga OA idiopatik, yaitu OA yang kausanya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. OA sekunder adalah OA yang didasari oleh adanya kelainan endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro serta mobilisasi yang terlalu lama. Osteoartritis primer lebih sering ditemukan dibandingkan OA sekunder.<br />Para pakar yang meneliti penyakit ini berpendapat bahwa OA merupakan penyakit gangguan homeostatis dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur proteoglikan kartilago yang penyebabnya belum jelas diketahui. Jejas mekanis dan kimiawi pada sinovia sendi yang terjadi multifaktorial, antara lain karena faktor umur, stress mekanis atau penggunaan sendi yang berlebihan, defek anatomis, obesitas, genetik, humoral, dan faktor kebudayaan. Jejas mekanis dan kimiawi ini diduga merupakan faktor penting yang merangsang terbentuknya molekul abnormal dan produk degradasi kartilago di dalam cairan sinovial sendi yang mengakibatkan terjadi inflamasi sendi, kerusakan khondrosit dan nyeri. Osteoartritis ditandai dengan fase hipertrofi kartilago yang berhubungan dengan suatu peningkatan terbatas dari sintesis matriks makromolekul oleh khondrosit sebagai kompensasi perbaikan (repair). Osteoartritis terjadi sebagai hasil kombinasi antara degradasi rawan sendi, remodelling tulang, dan inflamasi cairan sendi.<br />Peningkatan degradasi kolagen akan mengubah keseimbangan metabolisme rawan sendi. Kelebihan produk hasil degradasi matriks rawan sendi ini cenderung berakumulasi di sendi dan menghambat fungsi rawan sendi serta mengawali suatu respons imun yang menyebabkan inflamasi sendi. Rerata perbandingan antara sintesis dan pemecahan matriks rawan sendi pada pasien OA kenyataan lebih rendah dibanding normal, yaitu 0,29 dibanding 1.<br />Pada rawan sendi pasien OA juga terjadi proses peningkatan aktivitas fibrogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan terjadinya penumpukan trombus dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral yang menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan subkhondral tersebut. Ini mengakibatkan dilepaskannya mediator kimiawi seperti prostaglandin dan interleukin yang selanjutnya menimbulkan bone angina lewat subkhondral yang diketahui mengandung ujung saraf yang dapat menghantarkan rasa sakit. Penyebab rasa sakit itu dapat juga berupa akibat dari dilepasnya mediator kimiawi seperti kinin dan prostaglandin yang menyebabkan radang sendi , peregangan tendo atau ligamentum serta spasmus otot-otot ekstra artikuler akibat kerja yang berlebihan. Sakit pada sendi juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta kenaikan tekanan vena intrameduler akibat stasis vena intrameduler karena proses remodelling pada trabekula dan subkondral.<br />Peran makrofag di dalam cairan sendi juga penting, yaitu apabila dirangsang oleh jejas mekanis, material asing hasil nekrosis jaringan atau CSFs, akan memproduksi sitokin aktivator plasminogen (PA) yang disebut katabolin. Sitokin tersebut adalah IL-1, IL-6, TNF α dan β, dan interferon (IFN) α dan τ. Sitokin-sitokin ini akan merangsang khondrosit melalui reseptor permukaan spesifik untuk memproduksi CSFs yang sebaliknya akan mempengaruhi monosit dan PA untuk mendegradasi rawan sendi secara langsung.pasien OA mempunyai kadar PA yang tinggi pada cairan sendinya. Sitokin ini jug mempercepat resorbsi matriks rawan sendi.<br />Interleukin-1 mempunyai efek multipel pada sel cairan sendi, yaitu meningkatkan sintesis enzim yang mendegradasi rawan sendi yaitu stromelisin dan kolagenosa, menghambat proses sintesis dan perbaikan normal khondrosit. Pada percobaan binatang ternyata pemberian human recombinant IL-1a sebesar 0,01 ng dapat menghambat sintesis glukoaminoglikan sebanyak 50% pada hewan normal. Khondrosit pasien OA mempunyai reseptor IL-1 kali lipat lebih banyak dibanding individu normal, dan khondrosit sendiri dapat memproduksi IL-1 secara lokal.<br />Faktor pertumbuhan dan sitokin tampaknya mempunyai pengaruh yang berlawanan selama perkembangan OA. Sitokin cenderung merangsang degradasi komponen matriks rawan sendi, sebaliknya faktor pertumbuhan merangsang sintesis, padahal IGF-1 pasien OA lebih rendah dibandingkan individu normal pada umur yang sama. (Soeroso, Isbagio, Kalim, Broto, Pramudiyo, 2007).<br /><br />2.4 Faktor-faktor Risiko<br />Faktor risiko yang berperan pada osteoartritis dapat dibedakan atas dua golongan besar, yaitu:<br />1) Faktor predisposisi umum : antara lain umur, jenis kelamin, kegemukan, hereditas; hipermobilitas, merokok, densitas tulang, hormonal dam penyakit reumatik kronik lainnya.<br />2) Faktor mekanik : antara lain trauma, bentuk sendi, penggunaan sendi yang berlebihan karena pekerjaan/aktivitas.<br />Beberapa faktor risiko tersebut mungkin saja ditemukan pada satu individu dan saling menguatkan. Dua mekanisme utama OA ialah gangguan biomekanik serta gangguan biokimia. Pada mekanisme pertama faktor beban tubuh serta friksi dan kemampuan rawan sendi sebagai bantalan tekanan mekanik yang memegang peranan utama. Mekanisme kedua adalah terjadinya perubahan biokimiawi, hal ini mungkin dapat menjelaskan terjadinya OA pada persendian yang bukan tergolong sendi penopang berat badan. Agaknya kedua mekanisme tersebut saling berinteraksi. (Isbagio, 2000).<br /><br />UMUR<br />Dari semua faktor risiko untuk timbulnya OA, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya OA semakin meningkat dengan bertambahnya umur. OA hampir tak perah pada anak-anak, jarang pada umur di bawah 40 tahun dan sering pada umur di atas 60 tahun. Akan tetapi harus diingat bahwa OA bukan akibat ketuaan saja. Perubahan tulang rawan sendi pada ketuaan berbeda dengan perubahan pada OA.<br /><br />JENIS KELAMIN<br /> Wanita lebih sering trerkena OA lutut dan OA banyak sendi, dan laki-laki lebih sering terkena OA pada paha, pergelangan tangan dan leher. Di bawah usia 45 tahun, frekuensi laki-laki kurang lebih sama dengan perempuan, tetapi di atas 50 tahun (setelah menopause) frekuensi OA, wanita > laki-laki. Hal ini menunjukkan adanya peranan hormonal pada patogenesis OA.<br /><br />SUKU BANGSA<br /> Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup maupun perbedaan pada frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan.<br /><br />GENETIK<br /> Adanya mutasi dalam gen prokolagen II atau gen-gen struktural lain untuk unsur-unsur tulang rawan sendi seperti kolagen tipe IX dan XII, protein pengikat atau proteoglikan dikatakan berperan dalam timbulnya kecenderungan familial pada OA tertentu (terutama OA dibanyak sendi)<br /><br />KEGEMUKAN DAN PENYAKIT METABOLIK<br /> Kegemukan ternyata tidak hanya berkaitan dengan OA pada sendi yang menanggung beban, tapi juga dengan OA sendi lain (tangan atas sternoklavikula). Pada faktor metabolik dan hormonal pada kaitan OA dan kegemukan juga didukung oleh adanya kaitan antara OA dengan penyakit jantung koroner, diabetes melitus dan hipertensi.<br /><br />CEDERA SENDI, PEKERJAAN DAN OLAH RAGA<br /> Pekerjaan berat maupun dengan pemakaian satu sendi yang terus menerus (misalnya tukang pahat, pemetik kapas) berkaitan dengan peningkatan risiko OA tertentu. Demikian juga cedera sendi dan olah raga yang sering menimbulkan cedera sendi berkaitan dengan risiko OA yang lebih tinggi.<br /><br />KELAINAN PERTUMBUHAN<br /> Kelainan kongenital dan pertumbuhan paha (misalnya penyakit Perthes dan dislokasi kongenital paha) telah dikaitkan dengan timbulnya OA paha pada usia muda. Mekanisme ini juga diduga berperan pada lebih banyaknya OA paha pada laki-laki tertentu.<br /><br />FAKTOR-FAKTOR LAIN<br /> Tingginya kepadatan tulang dikatakan dapat meningkatkan risiko timbulnya OA. Hal ini mungkin timbul karena tulang yang lebih padat (keras) tidak membantu mengurangi benturan beban yang diterima oleh tulang rawan sendi. Akibatnya tulang rawan sendi menjadi lebih mudah robek. Faktor ini diduga berperan pada lebih tingginya OA pada orang gemuk dan pelari dan kaitan negatif antara osteoporosis dan OA.<br />(Soeroso, Isbagio, Kalim, Broto, Pramudiyo, 2007).<br /><br />2.5 Sendi-Sendi yang Terkena<br /> Adanya predileksi OA pada sendi-sendi tertentu (carpometacarpal I, metatarsophalangeal I, sendi apofiseal tulang belakang, lutut dan paha) adalah nyata sekali. Sebagai perbandingan, OA siku, pergelangan tangan, glenohumeral atau pergelangan kaki jarang sekali dan terutama terbatas pada orang tua. Distribusi yang selektif seperti itu sampai sekarang masih sulit dijelaskan. Salah satu teori mengatakan bahwa sendi-sendi yang sering terkena OA adalah sendi-sendi yang paling aktif mengalami perubahan-perubahan evolusi, khususnya dalam kaitan dengan gerakan mencengkeram dan berdiri dua kaki. Sendi-sendi tersebut mungkin mempunyai rancang bangun yang sub optimal untuk gerakan-gerakan yang mereka lakukan, mempunyai cadangan mekanis yang tak mencukupi, dan dengan demikian lebih sering gagal dari pada sendi-sendi yang sedah mengalami adaptasi lebih lama.<br /><br />2.6 Kriteria Diagnosis<br />Gejala klinis<br />- Nyeri sendi<br />Merpakan keluhan utama yang sering kali membawa pasien ke dokter. Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Nyeri pada OA juga dapat berupa penjalaran atau akibat radikulopati, misalnya pada OA servikal dan lumbal. OA lumbal yang menimbulkan stenosis spinal mungkin menimbulkan keluhan nyeri di betis, yang biasa disebut dengan claudicatio intermitten.<br />- Hambatan gerakan sendi<br />Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat dengan pelan-pelan sejalan dengan bertambahnya rasa nyeri.<br />- Kaku pagi<br />Pada beberapa pasien, nyeri atau kaku sendi dapat timbul setelah imobilitas, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang cukup lama atau bahkan setelah bangun tidur.<br />- Krepitasi<br />Rasa gemeretak (kadang-kadang bisa terdengar) pada sendi yang sakit.<br />- Pembesaran sendi (deformitas)<br />Pasien mungkin menunjukkan bahwa salah satu sendinya (seringkali terlihat di lutut atau tangan) secara perlahan-lahan membesar.<br />- Perubahan gaya berjalan<br />Merupakan gejala yang menyusahkan pasien. Hampir semua pasien OA pergelangan kaki, tumit, lutut atau panggul berkembang menjadi pincang. Gangguan berjalan dan gangguan fungsi sendi yang merupakan ancaman yang besar untuk kemandirian pasien OA yang umumya tua.<br />(Soeroso, Isbagio, Kalim, Broto, Pramudiyo, 2007).<br /><br />Pemeriksaan Fisik<br />- Hambatan gerak<br />Perubahan ini seringkali sudah ada meskipun pada OA yang masih dini (secara radiologis). Biasanya bertambah berat dengan semakin beratnya penyakit, sampai sendi hanya bisa digoyangkan dan menjadi kontraktur. Hambatan gerak dapat konsentris (seluruh arah gerakan) meskipun eksentris (salah satu gerakan saja).<br />- Krepitasi<br />Gejala ini lebih berarti untuk pemeriksaan klini OA lutut. Pada awalnya hanya berupa perasan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang memeriksa. Dengan bertambah beratnya penyakit, krepitasi dapat terdengar sampai jarak tertentu. Gejala ini mungkin timbul karena gesekan kedua permukaan tulang sendi pada saat sendi digerakkan atau secara pasif di manipulasi.<br />- Pembengkakan sendi yang seringkali asimptomatis<br />Pembengkakan sendi pada OA dapat timbul karena efusi pada sendi yang biasanya tak banyak (< 100 cc). Sebab lain ialah karena adanya osteofit, yang dapat mengubah permukaan sendi.<br />- Tanda-tanda peradangan<br />Tanda-tanda adany peradangan pada sendi (nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat yang merata dan warna kemerahan) mungkin dijumpai pada OA karena adanya sinovitis. Biasanya tanda-tanda ini tidak menonjol dan timbul belakangan, seringkali dijumpai dilutut, pergelangan kaki dan sendi-sendi kecil tangan dan kaki.<br />- Perubahan bentuk (deformitas) sendi yang permanen<br />Perubahan ini dapat timbul karena kontraktur sendi yang lama, perubahan permukaan sendi, berbagai kecacatan, dan gaya berdiri dan perubahan pada tulang dan permukaan sendi.<br />- Perubahan gaya berjalan<br />Keadaan ini hampir selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi tumpuan berat badan. Terutama dijumpai pada OA lutut, sendi paha dan tulang belakang dengan stenosis spinal. Pada sendi-sendi lain, seperti tangan, bahu, siku, dan pergelangan tangan, osteoartritis juga menimbulkan gangguan fungsi.<br />(Soeroso, Isbagio, Kalim, Broto, Pramudiyo, 2007).<br /><br />Pemeriksaan Penunjang<br />Diagnosis OA biasanya didasarkan pada gambaran klinis dan radiografis.<br /><br />Radiografis sendi yang terkena<br />Pada sebagian besar kasus, radiografis pada sendi yang terkena osteoartritis sudah cukup memberikan gambaran diagnosis yang lebih canggih.<br />Gambaran radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA adalah :<br />- Penyempitan celah sendi yang sering kali asimetris (lebih berat pada bagian yang menanggung beban).<br />- Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral.<br />- Kista tulang<br />- Osteofut pada pinggir sendi.<br />- Perubahan struktur anatomi sendi<br />Berdasarkan perubahan-perubahan radiografi diatas, secara radiografi OA dapat digradasi menjadi ringan sampai berat (kriteria Kellgren dan Lawrence). Harus diingat pada awal penyakit, radiografi sering kali masih normal.<br /><br />Pemeriksaan penginderaan dan radiografi sendi lain.<br />- Pemeriksaan radiografi sendi lain atau penginderaan magnetik mungkin diperlukan pada keadaan tertentu. Bila osteoartritis pada pasien dicurigai berkaitan dengan peyakit metabolik atau genetik seperti alkaptonuria, oochronosis, displasia epifisis, hiperparatiroidisme, penyakit paget atau hemokromatosis (terutama pemeriksaan radiografi pada tulang tengkorak dan tulang belakang)<br />- Rediografi sendi lain perlu dipertimbangkan juga pada pasien yang mempunyai keluhan banyak sendi (osteoartritis generalisata)<br />- Pasien-pasien yang dicurigai mempunyai penyakit-penyakit yang meskipun jarang tetapi berat (osteonekrosis, neuropati Charcot, pigmented sinovitis) perlu pemeriksaan yang lebih mendalam. Untuk diagnosis pasti penyakit-penyakit tersebut seringkali diperlukan pemeriksaan lain yang lebih canggih seperti sidikan tulang, penginderaan lain yang lebih canggih seperti sidikan tulang, penginderaan dengan resonansi magnetik (MRI), artroskopi dan artrografi.<br />- Pemeriksaan lebih lanjut(khususnya MRI) dan mielografi mungkin juga diperlukan pada pasien dengan OA tulang belakang untuk menetapkan sebab-sebab gejala dan keluhan-keluhan kompresi radikular atau medulaspinalis.<br />(Soeroso, Isbagio, Kalim, Broto, Pramudiyo, 2007).<br /><br />Pemeriksaan Laboratorium<br />Hasil pemeriksaan laboratorium pada OA biasanya tak banyak berguna. Darah tepi (hemoglobin, leukosit, laju endap darah tepi) dalam batas-batas normal, kecuali OA generalisata yang harus dibedakan dengan artritis peradangan. Pemeriksaan imunologi (ANA, faktor reumatoid dan komplemen) juga normal. Pada OA yang disertai peradangan, mungkin didapatkan penurunan viskositas, pleositosis ringan sampai sedang, peningkatan ringan sel peradangan (<8000/m) dan peningkatan protein.<br /><br />2.7 Penatalaksanaan<br />Pengelolaan OA berdasarkan atas distribusinya (sendi mana yang terkena) dan berat ringannya sendi yang terkena. Pengelolaannya terdiri dari tiga hal :<br />- Terapi non-farmakologi<br />o Edukasi atau penerangan<br />o Terapi fisik dan rehabilitas<br />o Penurunan berat badan<br />- Terapi farmakologis<br />o Analgesik oral non-opiat<br />o Analgesik topikal<br />o OAINS (obat anti inflamasi non steroid)<br />o Chondroprotektive<br />o Steroid intra-artikuler<br />- Terapi bedah<br />o Malaligment, deformitas lutut Valgus-Varus dsb,<br />o Artroscopic debridement dan joint lavage<br />o Osteotomi<br />o Artroplasti sendi total<br /><br />Terapi Non-Farmakologi<br />- Penerangan<br />Maksud dari penerangan adalah agar pasien mengetahui sedikit seluk-beluk tentang penyakitnya, bagaimana menjaganya agar penyakitnya tidak bertambah parah serta persendiannya tetap dapat dipakai.<br />- Terapi Fisik dan rehabilitasi<br />Terapi ini untuk melatih pasien agar persendiannya tetap dapat dipakai dan melatih pasien untuk melindungi sendi yang sakit.<br />- Penurunan Berat Badan<br />Berat badan yang berlebihan ternyata merupakan faktor yang akan memperberat penyakit OA. Oleh karenanya berat badan harus selalu dijaga agar tidak berlebihan. Apabila berat badan berlebihan, maka harus diusahakan penurunan berat badan, bila mungkin mendekati berat badan ideal.<br /><br />Terapi Farmakologi<br />- Analgesik oral non Opiat<br />Pada umumnya pasien telah mencoba untuk mengobati sendiri penyakitnya, terutama dalam hal mengurangi atau menghilangkan rasa sakit. Banyak sekali obat-obatan yang dijual bebas yang mampu mengurangi rasa sakit. Pada umumnya pasien mengetahui hal ini dari iklan pada media masa, baik cetak (koran), radio maupun televisi.<br />- Analgesik Topikal<br />Analgesik topikal dengan mudah dapat kita dapatkan dipasaran dan banyak sekali yang dijual bebas. Pada umumnya pasien telah mencoba terapi dengan cara ini, sebelum memakai obat-obatan peroral lainnya.<br />- Obat Anti inflamasi non steroid (OAINS)<br />Apabila dengan cara-cara tersebut di atas tidak berhasil, pada umumnyanya pasien mulai datang kedokter. Dalam hal seperti ini kita pikirkan untuk pemberian OAINS, oleh karen abat golongan ini di samping mempunyai efek analgetik juga mempunyai anti inflamasi. Oleh karen pasien OA kebanyaka usia lanjut, maka pemberian obat-obatan jenis ini harus sangat hati-hati. Jadi pilihlah obat yang efek sampingnya minimal dan dengan cara pemakaian yang sederhana, disamping itu pengawasan terhadap kemungkinan timbulnya efek samping selalu dilakukan.<br />- Chondroprotektive Agent<br />Yang dimaksud dengan Chondroprotektive agent adalah obat-obatan yang dapat menjaga atau merangsang perbaikan (repair) tulang rawan sendi pada pasien OA. Sebagian peneliti menggolongkan obat-obatan tersebut dalam Slow Acting Anti Osteoartritis Drugs (SAAODs) atau Disease Modifying Anti Osteoartritis Drugs (DMAODs). Sampai saat ini yang termasuk dalam kelompok obat ini adalah : tetrasiklin, asam hialuronat, kondroitin sulfat, glikosaminoglikan, vitamin-C, superoxide desmuatase dan sebagainya.<br /><br />Terapi Bedah<br /> Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak berhasil untuk mengurangi rasa sakit dan juga untuk melakukan koreksi apabila terjadi deformitas sendi yang mengganggu aktivitas sehari-hari.<br />(Soeroso, Isbagio, Kalim, Broto, Pramudiyo, 2007).<br /><br />2.8 Komplikasi<br />Deformitas sendi. (Rani, 2006).<br /><br />2.9 Prognosis<br /> Dubia. (Rani, 2006)<br />15Bab III<br />Penutup<br /><br /><br />3.1 Kesimpulan<br />Osteosrtritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Vertebra, panggul, lutut dan pergelangan kaki paling sering terkena OA. Faktor-faktor risiko terjadinya OA yaitu, faktor predisposisi umum (umur, jenis kelamin, kegemukan, hereditas; hipermobilitas, merokok, densitas tulang, hormonal dam penyakit reumatik kronik lainnya) dan faktor mekanik (trauma, bentuk sendi, penggunaan sendi yang berlebihan karena pekerjaan/aktivitas). Gejala klinis meliputi nyeri sendi, hambatan gerakan sendi, kaku pagi, krepitasi, pembesaran sendi (deformitas), dan perubahan gaya berjalan. Pengelolaannya terdiri dari tiga hal yaitu, terapi non-farmakologi, terapi farmakologis dan terapi bedah.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />16Daftar Pustaka<br /><br /><br /><br />1. Ibagio H. Struktur Rawan Sendi dan Perubahannya pada Osteoartritis. Cermin Dunia Kedokt. 2000; 129: 5-8<br />2. Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer A, editor. Panduan Pelayanan Medik, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: PB PAPDI; 2006. h. 131-132<br />3. Soeroso J, Isbagio H, Kalim H, Broto R, Pramudiyo R. Osteoartritis. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiyati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2007. h. 1195-1201.<br /> </div>ibnu zamsa firmanullahhttp://www.blogger.com/profile/04444679012279299665noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-365714640221455087.post-69268170706060274042009-05-15T11:35:00.002-07:002009-05-15T11:44:21.198-07:00SIROSIS HATI<div align="justify"><span style="font-family:arial;color:#333399;">SIROSIS HATI<br /><br />2.1 Anatomi dan Fisiologi Hati<br />Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh, rata-rata sekitar 1.500 gr, atau 2,5 % berat badan pada orang dewasa normal. Hati merupakan organ plastis lunak yang tercetak oleh struktur sekitarnya. Permukaan superior adalah cembung dan terletak di bawah kubah kanan diafragma dan sebagian kubah kiri. Bagian bawah hati adalah cekung dan merupakan atap ginjal kanan, lambung, pankreas, dan usus. Hati memiliki dua lobus utama, kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan yang tdak terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiforme yang dapat dilihat dari luar. Ligamentum falsiforme berjalan dari hati ke diafragma dan dinding depan abdomen. Permukaan hati diliputi oleh peritoneum viseralis, kecuali daerah kecil pada permukaan posterior yang melekat langsung pada diafragma. Beberapa ligamentum yang merupakan lipatan peritoneum membantu menyokong hati. Di bawah peritoneum terdapat jaringan penyambung padat yag dinamakan kapsula Glisson, yang meliputi seluruh permukaan organ; kapsula ini pada hilus atau porta hepatis di permukaan inferior, melanjutkan diri ke dalam massa hati, membentuk rangka untuk cabang-cabang vena porta, arteria hepatika, dan saluran empedu.(Sylvia, 1995)<br /><br />Struktur mikroskopik<br />Setiap lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang dinamakan lobulus, yang merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ. Setiap lobulus merupakan badan heksagonal yang terdiri atas lempeng-lempeng sel hati berbentuk kubus, tersusun radial mengelilingi vena sentralis. Di antara lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang dinamakan sinusoid, yang merupakan cabang vena porta dan arteria hepatika. Tidak seperti kapiler lain, sinusoid dibatasi oleh sel fagositik atau sel Kupffer. Sel Kupffer merupakan sistem monosit-makrofag, dan fungsi utamanya adalah menelan bakteri dan benda asing lain dalam darah. Hanya sumsum tulang yang mempunyai massa sel monosit-makrofag yang lebih banyak daripada yang terdapat dalam hati, jadi hati merupakan salah satu organ utama sebagai pertahanan terhadap invasi bakteri dan agen toksik. Selain cabang-cabang vena porta dan arteria hepatika yang melingkari bagian perifer lobulus hati, juga terdapat saluran empedu. Saluran empedu interlobular membentuk kapiler empedu yang sangat kecil yang dinamakan kanalikuli, berjalan ditengah-tengah lempengan sel hati. Empedu yang dibentuk dalam hepatosit diekskresi ke dalam kanalikuli yang bersatu membentuk saluran empedu yang makin lama makin besar, hingga menjadi saluran empedu yang besar (duktus koledokus). (Sylvia, 1995)<br /><br />2.2 Definisi Sirosis Hati<br /><br />Istilah Sirosis hati diberikan oleh Laence tahun 1819, yang berasal dari kata Khirros yang berarti kuning orange (orange yellow), karena perubahan warna pada nodul-nodul yang terbentuk. Pengertian sirosis hati dapat dikatakan sebagai berikut yaitu suatu keadaan disorganisassi yang difuse dari struktur hati yang normal akibat nodul regeneratif yang dikelilingi jaringan mengalami fibrosis. (Maryati, Sri. 2003)<br /><br />Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatic yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoseluler. Jaringan retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular, dan regenerasi nodularis parenkim hati.<br />(Nurdjanah, Siti. 2007)<br /><br /><br />2.3 Klasifikasi<br /><br />Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinis yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaannya secara klinis. Hal ini hanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan biopsi hati.<br /><br />Sirosis secara konvensional diklasifikasikan sebagai makronodular (besar nodul lebih dari 3 mm) atau mikronodular (besar nodul kurang dari 3 mm) atau campuran mikro dan makronodular. Sebagian besar jenis sirosis dapat diklasifikasikan secara etiologis dan morfologis menjadi :<br />1. Alkoholik<br />2. Kriptogenik dan Post hepatitis (pasca nekrosis)<br />3. Biliaris<br />4. Kardiak<br />5. Metabolik, keturunan, dan terkait obat<br />(Nurdjanah, Siti. 2007)<br /><br />Klasifikasi sirosis hati menurut kriteria Child-Pugh :<br />Skor/parameter<br />1<br />2<br />3<br />Bilirubin (mg %)<br /><2,0<br />2,0 - <3,0<br /><3,0<br />Albumin (gr %)<br />>3,5<br />2,8 - <3,5<br /><2,8<br />Prothrombin time (quick %)<br />>70<br />40 - <70<br /><40<br />Asites<br />0<br />Minimal – sedang<br />(+) – (++)<br />Banyak (+++)<br />Hepatic Encephalopathy<br />Tidak ada<br />Stadium I dan II<br />Stadium III dan IV<br /><br />(Maryati, Sri. 2003)<br /><br />2.4 Etiologi<br /><br />a. Penyakit Infeksi<br />- Bruselosis<br />- Ekinokokus<br />- Skistomiasis<br />- Toksoplasmosis<br />- Hepatitis virus (hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D, sitomegalovirus)<br /><br />b. Penyakit Keturunan dan Metabolik<br />- Defisiensi α1-antitripsin<br />- Sindrom Fanconi<br />- Galaktosemia<br />- Penyakit Gaucher<br />- Penyakit simpanan glikogen<br />- Hemokromatosis<br />- Intoleransi fluktosa herediter<br />- Tirosinemia Herediter<br />- Penyakit Wilson<br /><br />c. Obat dan Toksin<br />- Alkohol<br />- Amiodaron<br />- Arsenik<br />- Obstruksi bilier :<br />Saluran empedu membawa empedu yang dihasilkan oleh hati ke usus, dimana empedu membantu mencerna lemak. Pada bayi penyebab sirosis terbanyak adalah akibat tersumbatnya saluran empedu yang disebut Biliary atresia. Pada penyakit ini empedumemenuhi hati karena saluran empedu tidak berfungsi atau rusak. Bayi yang menderita Biliary berwarna kuning (kulit kuning) setelah berusia satu bulan. Kadang bisa diatasi dengan pembedahan untuk membentuk saluran baru agar empedu meninggalkan hati, tetapi transplantasi diindikasikan untuk anak-anak yang menderita penyakit hati stadium akhir. Pada orang dewasa, saluran empedu dapat mengalami peradangan, tersumbat, dan terluka akibat Primary Biliary Sirosis atau Primary Sclerosing Cholangitis. Secondary Biliary Cirrosis dapat terjadi sebagai komplikasi dari pembedahan saluran empedu. (Maryati, Sri. 2007)<br /><br />- Penyakit perlemakan hati non alkoholik<br />- Sirosis bilier primer<br />- Kolangitis sklerosis primer<br /><br />d. Penyebab Lain atau Tidak Terbukti<br />- Penyakit usus inflamasi kronik<br />- Fibrosis kistik<br />- Pintas jejunoileal<br />- Sarkoidosis<br /> (Nurdjanah, Siti. 2007)<br /><br />2.5 Patogenesis <br /> <br />Gambar 1. Patogenesis Fibrosis dan Sirosis Hati (Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi hal.173)<br /><br />Kendatipun etiologi dari berbagai bentuk sirosis tidak dimengerti dengan baik, ada tiga pola khas yang ditemukan pada kebanyakan kasus sirosis Laennec, postnekrotik, dan biliaris.<br /><br />Sirosis dapat juga terjadi setelah penyumbatan pada aliran keluar darah atau setelah kerusakan hati lain, misal pada stadium akhir penyakit penyimpanan (hemokromatosis, penyakit Wilson) atau defisiensi enzim yang ditentukan secara genetik. Factor yang terlibat dalam kerusakan sel hati adalah :<br />- defisiensi ATP akibat gangguan metabolisme energy sel<br />- peningkatann pembentukan metabolit oksigen yang sangat reaktif<br />- defisiensi antioksidan (misal, glutation) dan/atau kerusakan enzim perlindungan (glutation peroksidase, superoksidase dismutase) yang timbul bersamaan.<br /><br />Metabolit O2 misalnya akan bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh pada fosfolipid ( peroksidase lemak). Hal ini membantu terjadinya kerusakan membran plasma dan organel sel (lisosom, reticulum endoplasma). Akibatnya, konsentrasi Ca2+ di sitosol meningkat, yang mengaktifkan protease dan enzim lain sehingga akhirnya terjadi kerusakan sel yang bersifat ireversibel. Fibrosis hati terjadi dalam beberapa tahap. Jika hepatosit yang rusak mati, diantaranya akan terjadi kebocoran enzim lisosom dan pelepasan sitokim dari matriks ekstrasel. Sitokin ini bersama dengan debris sel yang mati akan mengaktifkan sel Kupffer di sinusoid hati dan menarik sel inflamasi (granulosit, limfosit, dan monosit). Berbagai factor pertumbuhan dan sitokin kemudian dilepaskan dari sel Kupffer dan dari sel inflamasi yang terlibat. Factor pertumbuhan ini dan sitokin selanjutnya :<br />- Mengubah sel ito penyimpan lemak di hati menjadi miofibroblas<br />- Mengubah monosit yang bermigrasi menjadi makrofag aktif<br />- Memicu proliferasi fibroblast<br /><br />Aksi kemotaktik transforming growth factor β (TGF-β) dan protein kemotaktik monosit 1 (MCP-1), yang dilepaskan dari sel ito (dirangsang oleh tumor necrosis factor α (TNF-α), platelet-derived growth factor (PDGF), dan interleukin) akan memperkuat proses ini, demikian pula dengan sejumlah zat sinyal lainnuya. Akibat sejumlah interaksi ini (penjelasan yang lebih rinci belum sepenuhnya dipahami), pembentukan matriks sel ditingkatkan oleh miofibroblas dan fibroblast, berarti menyebabkan peningkatan penimbunan kolagen (tipe I, III dan IV), proteoglikan (dekorin, biglikan, lumikan, agrekan) dan glikoprotein (fibronektin, laminin, tenaskin, undulin) di ruang Disse. Fibrosis glikoprotein di ruang Disse menghambat pertukaran zat antara sinusoid darah dan hepatosit, serta meningkatkan resistansi aliran di sinusoid.<br /> Jumlah matriks yang berlebihan dapat dirusak (mula-mula oleh metaloprotease), dan hepatosit dapat mengalami regenerasi. Jika nekrosis terbatas di lobules hati, penggantian struktur yang sempurna dimungkinkan terjadi. Namun, jika nekrosis telah meluas menembus parenkim oerifer lobules hati, akan terbentuk septa jaringan ikat. Akibatnya, regenerasi fungsional yang sempurna tidak mungkin lagi terjadi dan akan terbentuk nodul (sirosis).<br />(Lang, Florian. 2007)<br /><br />Sirosis Laennec<br />Sirosis Laennec (juga disebut sirosis alkoholik, portal, dan sirosis gizi) merupakan suatu pola sirosis yang aneh yang dihubungkan dengan penyalahgunaan alkohol kronik. Sirosis jenis ini merupakan 50% atau lebih dari seluruh kasus sirosis.<br />Hubungan yang pasti antara penyalahgunaan alkohol dengan sirosis Laennec tidaklah diketahui, kendatipun asosiasi keduanya demikian jelas dan pasti. Perubahan pertama pada hati yang ditimbulkan alkohol adalah akumulasi lemak secara gradual di dalam sel-sel hati (infiltrasi lemak). Pola infiltrasi lemak yang serupa juga ditemukan pada kwashiorkor (gangguan yang lazim ditemukan di negara-negara berkembang akibat defisiensi protein yang berat), hipertiroidisme, dan diabetes. Para pakar umumnya setuju bahwa minuman beralkohol menimbulkan efek toksik langsung terhadap hati. Akumulasi lemak mencerminkan adanya sejumlah gangguan metabolik, termasuk pembentukan trigliserida secara berlebihan, pemakaiannya yang berkurang dalam pembentukan lipoprotein, dan penurunan oksidasi asam lemak. Mungkin pula bahwa individu yang mengkonsumsi alkohol dalam jumlah berlebihan, tidak makan secara layak dan gagal mengkonsumsi protein dalam jumlah yang cukup untuk menghasilkan faktor-faktor lipotropik yang diperlukan untuk transpor lemak dalam jumlah cukup (kolin dan metionin). Diketahui bahwa diet rendah protein akan menekan aktivitas dari dehidrogenase alkohol, yaitu enzim utama dalam metabolisme alkohol. Namun demikian, sebab utama kerusakan pada hati diduga merupakan efek langsung alkohol terhadap sel-sel hati, yang akan diperberat oleh keadaan malnutrisi.<br />Degenerasi lemak yang tak berkomplikasi pada hati seperti yang dapat terlihat pada alkoholisme dini, dapat reversibel asalkan individu tersebut berhenti minum alkohol; beberapa kasus dari kondisi yang relatif jinak ini akan berkembang menjadi sirosis. Secara makroskopis, hati membesar, rapuh, dan tampak berlemak, dan mengalami gangguan fungsional akibat akumulasi lemak yang banyak tersebut.<br />Bila kebiasaan minum alkohol diteruskan, apalagi bila menjadi semakin hebat, maka terjadi sesuatu (belum diketahui apa) yang akan memacu seluruh proses sehingga akan terbentuk jaringan parut yang tersebar luas. Sebagian pakar yakin bahwa lesi kritis dalam perkembangan sirosis hati mungkin adalah hepatitis alkoholik. Hepatitis alkoholik ditandai secara histologis oleh nekrosis hepatoselular dan infiltrasi leukosit polimorfonuklear (PMN) di hati. Akan tetapi, tidak semua pasien yang memiliki lesi hepatitis alkoholik akan berkembang menjadi sirosis hati yang lengkap.<br />Pada kasus sirosis Laennec yang sangat lanjut, lembaran-lembaran jaringan ikat yang tebal terbentuk pada pinggir-pinggir lobulus, membagi parenkim menjadi nodula-nodula halus. Nodula-nodula ini dapat membesar akibat aktivitas regenerasi sebagai usaha hati untuk mengganti sel-sel yang rusak. Hati tampak terdiri dari sarang-sarang sel-sel degenerasi dan regenerasi yang dikemas padat dalam kapsula fibrosa yang tebal. Pada keadaan ini, sirosis sering disebut sebagai sirosis nodular halus. Hati akan menciut, keras dan hampir tidak memiliki parenkim normal pada stadium akhir sirosis, dengan akibat hipertensi portal dan gagal hati. (Sylvia,1995)<br />Sirosis Postnekrotik<br />Sirosis postnekrotik agaknya terjadi menyusul nekrosis berbercak pada jaringan hati, menimbulkan nodula-nodula degeneratif besar dan kecil yang dikelilingi dan dipisah-pisahkan oleh jaringan parut, berselang-seling dengan jaringan parenkim hati normal. Sekitar 75% kasus cenderung berkembang dan berakhir dengan kematian dalam 1 hingga 5 tahun. Sirosis postnekrotik adalah kira-kira 20% dari seluruh kasus sirosis. Sekitar 25% kasus memiliki riwayat hepatitis virus sebelumnya. Banyaknya pasien dengan hasil tes HbsAg positif menunjukkan bahwa hepatitis kronik aktif agaknya merupakan peristiwa yang besar perannya. Persentase kecil kasus memiliki dokumentasi intoksikasi dengan bahan kimia industri, racun ataupun obat-obatan seperti fosfat, kloroform, dan karbon tetraklorida, atau jamur beracun.<br />Ciri yang agak aneh dari sirosis postnekrotik adalah bahwa tampaknya merupakan predisposisi terhadap neoplasma hati primer (hepatoma). Hal ini juga terlihat pada sirosis Laennec, namun dalam derajat yang lebih ringan. (Sylvia, 1995)<br />Sirosis biliaris<br />Kerusakan sel hati yang dimulai di sekitar duktus biliaris akan menimbulkan pola sirosis yang dikenal sebagai sirosis biliaris. Tipe ini bertanggung jawab atas 15% dari seluruh kasus sirosis.<br />Penyebab sirosis biliaris yang paling umum adalah obstruksi biliaris posthepatik. Stasis empedu menyebabkan penumpukan empedu di dalam massa hati dengan akibat kerusakan sel-sel hati. Terbentuk lembar-lembar fibrosa di tepi lobulus, namun jarang memotong lobulus seperti pada sirosis Laennec. Hati membesar, keras, bergranula halus, dan berwarna kehijauan. Ikterus selalu menjadi bagian awal dan primer dari sindrom, demikian pula pruritus, malabsorpsi dan steatorea.<br />Sirosis biliaris primer menampilkan pola yang agak mirip dengan sirosis biliaris sekunder yang baru saja dijelaskan di atas, namun lebih jarang ditemukan. Penyebabnya yang berkaitan dengan lesi-lesi duktulus empedu intrahepatik, tidak diketahui. Sumbat empedu sering ditemukan dalam kapiler-kapiler dan duktulus empedu, dan sel-sel hati seringkali mengandung pigmen hijau. Saluran empedu ekstrahepatik tidak ikut terlibat. Komplikasi hipertensi portal jarang terjadi. (Sylvia, 1995)<br /><br />2.6 Diagnosa<br />a. Gejala Klinis<br />Manifestasi klinis dari Sirosis hati disebabkan oleh satu atau lebih hal-hal yang tersebut di bawah ini :<br />1. Kegagalan Prekim hati<br />2. Hipertensi portal<br />3. Asites<br />4. Ensefalophati hepatitis<br /><br /> (Maryati,Sri. 2003)<br /><br />Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, secara makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, dan buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam tak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan pembekuan darah, pendarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma.(Nurdjanah, Siti. 2007)<br />Keluhan dari sirosis hati dapat berupa :<br />a. Merasa kemampuan jasmani menurun<br />b. Nausea, nafsu makan menurun dan diikuti dengan penurunan berat badan<br />c. Mata berwarna kuning dan buang air kecil berwarna gelap<br />d. Pembesaran perut dan kaki bengkak<br />e. Perdarahan saluran cerna bagian atas<br />f. Pada keadaan lanjut dapat dijumpai pasien tidak sadarkan diri (Hepatic Enchephalopathy)<br />g. Perasaan gatal yang hebat<br /><br />b. Pemeriksaan Fisik<br />Pemeriksaan Fisik Seperti telah disebutkan diatas bahwa pada hati terjadi gangguan arsitektur hati yang mengakibatkan kegagalan sirkulasi dan kegagalan perenkim hati yang masing- masing memperlihatkan gejala klinis berupa :<br />1. Kegagalan sirosis hati<br />a. edema<br />b. ikterus<br />c. koma<br />d. spider nevi<br />e. alopesia pectoralis<br />f. ginekomastia<br />g. kerusakan hati<br />h. asites<br />i. rambut pubis rontok<br />j. eritema palmaris<br />k. atropi testis<br />l. kelainan darah (anemia,hematom/mudah terjadi perdarahan)<br /><br />2. Hipertensi portal<br />a. varises oesophagus<br />b. spleenomegali<br />c. perubahan sum-sum tulang<br />d. caput meduse<br />e. asites<br />f. collateral veinhemorrhoid<br />g. kelainan sel darah tepi (anemia, leukopeni dan trombositopeni)<br />(Maryati, Sri. 2003)<br /><br />Temuan klinis sirosis meliputi, spider angioma, spiderangiomata (atau spider telangiektasi), suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vena-vena kecil. Tanda ini sering ditemukan di bahu, muka dan lengan atas. Mekanisme terjadinya tidak diketahui, ada anggapan dikaitkan dengan peningkatan rasio estradiol/testoteron bebas. Tanda ini juga bisa ditemukan Selama hamil, malnutrisi berat, bahkan ditemukan pula dan orang sehat, walaupun ukuran lesi kecil.<br />Eritema plaaris, warna merah saga pada tenar dan hipothenar telapak tangan. Hal ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolisme hormone estrogen. Tanda ini juga tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan, artrisis rheumatoid, hipertiroidisme, dan keganasan hematologi.<br />Perubahan kuku-kuku Muchrache berupa pita putih horizontal dipisahkan dengan warna normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui, diperkirakan akibat hipoalbuminemia yang lain seperti sindrom nefrotik.<br />Jari gada lebih sering ditemukan pada sirosis bilier. Osteoartropati hipertrofi suatu periostitis proliferatif kronik, menimbulkan nyeri.<br />Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia palmaris menimbulkan kontraktur fleksi jari-jari berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak secara spesifik berkaitan dengan sirosis. Tanda ini juga bisa ditemukan pada pasien diabetes mellitus, distrofi refleks simpatetik, dan perokok yang juga mengkonsumsi alkohol.<br />Ginekomastia secara histrologis berupa proliferasi benigna jaringan glandula mammae laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan androstenedion. Selain itu, ditemukan juga hilangnya rambut dada dan aksila pada laki-laki, sehingga laki-laki mengalami perubahan kearah feminisme. Kebalikannya pada perempuan menstruasi cepat berhenti sehingga dikira fase menopause.<br />Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertile tanda ini menonjol pada alkoholik sirosis dan hemokromatosis. Hepatomegali ukuran hati yang sirotik bisa membesar, normal atau mengecil. Bilamana hati teraba, haisirotik teraba keras dan nodular. Splenomegali sering ditemukan terutama pada sirosis yang penyebabnya nonalkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien karena hipertensi porta.<br />Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritoneum akibat hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Caput medusa juga sebagai akibat hipertensi porta. Fetor hepatikum, bau napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan peningkatan konsentrasi di metail sulfid akibat pintasan porto sistemik yang berat.<br />Ikterus-pada kulit dan membrane mukosa akibat bilirubinemia. Bila konsentrasi bilirubin kurang dari 2-3 mg/dl tak terlihat. Warna urin terlihat gelap seperti air teh. Asterixis bilateral tetapi tidak sinkron berupa gerakan mengepak-ngepak dari tangan, sorsofleksi tangan.<br />Tanda-tanda lain yang menyertai diantaranya :<br />- Demam yang tak tinggi akibat nekrosis hepar<br />- Batu pada vesika felea akibat hemolisis<br />- Pembesaran kelenjar parotis terutama pada sirosis alkoholik, hal ini akibat sekunder infiltrasi lemak, fibrosis dan edema.<br />Diabetes mellitus dialami 15 sampai 30% pasien sirosis. Hal ini akibat resistensi insulin dan tidak adekuatnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas.<br /> (Nurdjanah, Siti. 2007)<br /><br /><br />c. Pemeriksaan Penunjang<br />Gambaran Laboratoris<br />Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan pemeriksaan laboratorium pada waktu seseorang memeriksakan kesehatan rutin, atau waktu skrining untuk evaluasi keluhan spesifik. Tes fungsi hati meliputi aminotrans ferase, alkali fosfatase, gamma glutamil transpeptidase, bilirubin, albumain, dan waktu protrombin.<br />Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil oksalo asetat (SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT) atau serum glutamil priuvat transaminase (SGPT) meningkat tapi tak begitu tinggi. AST lebih meningkat dari pada ALT, namun bila trasaminase normal tidak menyampingkan adanya sirosis.<br />Alkali fosatase, meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal atas. Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sclerosis primer dan sirosis biler primer.<br />Gamma-glutamil transpeptidase (GGT), konsentrasinya seperti halnya alkali fosfatase pada penyakit hati. Konsentrasinya tinggi pada penyakit hati alkoholik kronik, karena alkohol selain menginduksi GGT mikrosomal hepatik, juga bisa menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit.<br />Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata, tapi bisa meningkat pada sirosis yang lanjut. Albumin, sintesisnya terjadi dijaringan hati, konsentrasinya menurun sesuai dengan perburukan sirosis.<br />Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder dari pintasan , antigen, bakteri dan sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya menginduksi produksi immunoglobulin. Waktu protombin mencerminkan derajat /tingkatan disfungsi sintesis hati, sehingga pada sirosis memanjang. Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan ketidakmampuan ekskresi air bebas.<br />Kelainan hematology anemia, penyebabnya bisa bermacam-macam anemia normokrom, normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer. Anemia dengan trombositopenia, dan netropenia akibat splenomegali kongestif berkaitan dengan hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme.<br /> (Nurdjanah, Siti. 2007)<br />Pemeriksaan Radiologi<br />Pemeriksaan radiologi barium meal dapat melihat varises untuk konfirmasi adanya hipertensi porta. Ultrasonografi (USG) sudah secara rutin digunakan karena pemeriksaannya non invasif dan mudah digunakan, namun sensitifitasnya kurang. Pemeriksaan hati yang bisa mulai dengan USG meliputi sudut hati, permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan nodular, permukaan irregular dan ada peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu USG juga bisa melihat asites, splenomegli, trombosis vena porta dan pelebaran vena porta, serta skrining adanya karisnoma hati pada pasien sirosis.<br />Tomografi komputerisasi, informasinya sama dengan USG, tidak rutin digunakan karena biayanya relatif mahal. Magnetic resonance imaging, peranannya tidak jelas dalam mendiagnaosis sirosis mahal biayanya.<br /> (Nurdjanah, Siti. 2007<br />Pada stadium kompensasi sempurna kadang-kadang sangat sulit menegakkan diagonisis sirosis hati. Pada proses lanjutan dari kompensasi sempurna mungkin bisa ditegakkan diagnosis dengan bantuan pemeriksaan klinis yang cermat, laboratorium biokimia / serologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pada saat ini penegakan diagnosis sirosis hati terdiri atas pemeriksaan fisik, laboratorium, dan USG. Pada kasus tertentu diperlukan pemeriksaan biopsy hati atau pertioneoskopi karena sulit membedakan hepatitis kronik aktif yang berat dengan sirosis hati dini. Pada stadium dekompensata diagnosis kadang kala tidak sulit kerena gejala dan tanda-tanda klinis sudah tampak dengan adanya komplikasi.<br /> (Nurdjanah, Siti. 2007)<br /><br /> 2.7 Komplikasi<br />Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Kualitas hidup pasien sirosis diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan komplikasinya. Komplikasinya yang sering dijumpai antara lain peritonitis bacterial spontan, yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen.<br />Asites merupakan penimbunan cairan encer intraperitoneal yang mengandung sedikit protein. Factor utama patogenesis asites adalah peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus (hipertensi porta) dan penurunan tekanan osmotic koloid akibat hipoalbuminemia. Factor lain yang berperan adalah retensi natrium dan air dan peningkatan sintesis dan aliran limfe hati. Saluran kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan hipertensi portal yaitu pada esophagus bagian bawah. Pirau darah melalui saluran ini ke vena cava menyebabkan dilatasi vena-vena tersebut (varises esophagus). Varises ini terjadi pada sekitar 70% penderita sirosis lanjut. Perdarahan dari varises ini sering menyebabkan kematian. Sirkulasi kolateral juga melibatkan vena superficial dinding abdomen, dan timbulnya sirkulasi ini mengakibatkan dilatasi vena-vena sekitar umbilicus (caput medusa). Dilatasi anastomosis antara cabang-cabang vena mesenterika inferior dan vena-vena rectum sering mengakibatkan terjadinya haemoroid interna. Perdarahan dari haemoroid yang pecah biasanya tidak hebat, karena tekanan tidak setinggi tekanan pada esophagus oleh karena jarak yang lebih jauh dari vena porta. Splenomegali pada sirosis dapat dijelaskan berdasarkan kongesti pasif kronik akibat bendungan, dan tekanan darah yang meningkat pada vena lienalis. (Sylvia, 1995) <br />Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oliguri, peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainna organic ginjal. Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada penurunan filtrasi glomerulus.<br />Salah satu mainfestasi hipertensi porta adalah varises esophagus. Dua puluh sampai 40% pasien sirosis dengan varises esophagus pecah yang menimbulkan perdarahan. Angka kematiannya sangat tinggi, sebanyak dua pertigannya akan meninggal dalam waktu satu tahun walaupun dilakukan tindakan untuk menanggulangi varises ini dengan beberapa cara.<br />Ensefalopati hepatik, merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disfungsi hati. Mula-mula ada ganguan tidur, (insomnia dan hipersomnia), selanjutnya dapat timbul gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma. Pada sindrom hepatopulmonal terdapat hidrotoraks dan hipertensi portopulmonal. (Nurdjanah, Siti. 2007)<br />Ensefalopati hepatik dapat dijelaskan sebagai suatu bentuk intoksikasi otak yang disebabkan oleh isi usus yang tidak dimetabolisme oleh hati. Keadaan ini dapat terjadi bila terdapat kerusakan sel hati akibat nekrosis, atau adanya pirau (patologis atau akibat pembedahan) yang memungkinkan darah porta mencapai sirkulasi sistemik dalam jumlah besar tanpa melewati hati. Metabolic yang bertanggung jawab atas timbulnya ensefalopati tidak diketahui dengan pasti. Mekanisme dasar tampaknya adalah karena intoksikasi otak oleh hasil pemecahan metabolism protein oleh bakteri dalam usus. Hasil-hasil metabolisme ini dapat memintas hati karena adanya penyakit pada sel hati atau karena adanya pirau. Ammonia yang dalam keadaan normal diubah menjadi urea oleh hati, merupakan salah satu zat yang diketahui bersifat toksik dan dianggap dapat mengganggu metabolisme otak. (Sylvia, 1995)<br /><br />2.8 Penatalaksanaan<br />Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditunjukan mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang biasa menambah kerusakan hati, pencegah dan penanganan komplikasi. Bilamana tidak ada koma hepatic diberikan diet yang mengandungprotein 1g / kg BB dan kalori sebanyak 2000 – 3000 kkal/hari.<br />Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa :<br />1. Simtomatis<br />2. Supportif, yaitu :<br />a. Istirahat yang cukup<br />b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang;<br /> misalnya : cukup kalori, protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin<br />c. Pengobatan berdasarkan etiologi<br />Misalnya pada sirosis hati akibat infeksi virus C dapat dicoba dengan interferon. Sekarang telah dikembangkan perubahan strategi terapi bagian pasien dengan hepatitis C kronik yang belum pernah mendapatkan pengobatan IFN seperti a) kombinasi IFN dengan ribavirin, b) terapi induksi IFN, c) terapi dosis IFN tiap hari :<br />A) Terapi kombinasi IFN dan Ribavirin terdiri dari IFN 3 juta unit 3 x seminggu dan RIB 1000-2000 mg perhari tergantung berat badan (1000mg untuk berat badan kurang dari 75kg) yang diberikan untuk jangka waktu 24-48 minggu.<br />B) Terapi induksi Interferon yaitu interferon diberikan dengan dosis yang<br />lebih tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4 minggu yang<br />dilanjutkan dengan 3 juta unit 3 x seminggu selama 48 minggu<br />dengan atau tanpa kombinasi dengan RIB.<br />C) Terapi dosis interferon setiap hari.<br />Dasar pemberian IFN dengan dosis 3 juta atau 5 juta unit tiap hari<br />sampai HCV-RNA negatif di serum dan jaringan hati.<br /><br />3. Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan diberikan jika telah terjadi<br />komplikasi seperti :<br />1. Astises<br />2. Spontaneous bacterial peritonitis<br />3. Hepatorenal syndrome<br />4. Ensefalophaty hepatic<br />(Maryani, Sri. 2003)<br />Tatalaksana pasien sirois yang masih kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi pasien ditunjukan untuk menghilangkan etiologi, diantaranya alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencerdai hati dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal biasa menghambat kolagenik.<br />Pada hepatitis autoimun bisa diberikan steroid atau imunosupresif. Pada hemokromatosis flebotomi setiap minggu sampai konsentrasi besi menjadi normal dan dioulang sesuai kebutuhan.<br />Pada penyakit hati nonalkoholik menurunkan berat badan akan mencegah terjadinya sirosis. Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin (analog nukleosida) merupakan terapi utama. Lamivudin sebagai terapi ini pertama diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama satu tahun. Namun pemberian lamivudin stelah 9-12 bulan menimbulkan mutasi YMDD sehingga terjadi resistensi obat. Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan 3 MIU, tiga kali seminggu selama 4-6 bulan, namun ternyata juga banyak yang kambuh.<br />Pada hepatitis C kronik ; kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan trapi standar. Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU tiga kali smeinggu dan kombinasi ribavirin 800 – 1000 mg/hari selama 6 bulan.<br />Pada pengobatan fibrosis hati, pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang, menempatkan sel stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik akan merupakan terapi utama. Pengobatan untuk mengurangi aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek anti peradangan dan mencegah pembentukan kolagen, namun belum terbukti dalam penelitian sebagai anti fibrosis dan sirosis. Metotreksat dan vitamin A juga dicobakan sebagai anti fibrosis. Selian itu obat-obatan herbal juga sedang dalam penelitian.<br /> (Nurdjanah, Siti. 2007)<br />Pengobatan Sirosis Dekompensata<br />Tirah baring dan diawali diet rendah gram, konsumsi garam sebanyak 5,2 grm atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam di kombinasi dengan obat-obatan duretik. Awalnya dengan pemberian spironolakton denggan dosis 100 – 200 mg sekali sehari. Respons diuretic bisa di monitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau atau 1 kg /hari dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid bisa ditambah dosisnya bila tidak ada respons, maksimal dosisnya 160 mg/hari. Parasintesis dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 iter danj dilindungi dengan pemberian albumin.<br /> (Nurdjanah, Siti. 2007)<br /> - Diuretik<br />Pemberian diuretic hanya bagi penderita yang telah menjalani diet rendah garam dan pembatasan cairan namun penurunan berat badannya kurang dari 1 kg setelah 4 hari. Mengingat salah satu komplikasi akibat pemberian diuretic adalah hipokalemia dan hal ini dapat mencetuskan encepalophaty hepatic, maka pilihan utama diuretic adalah spironolacton, dan dimulai dengan dosis rendah, serta dapat dinaikkan dosisnya bertahap tiap 3-4 hari, apabila dengan dosis maksimal diuresinya belum tercapai maka dapat kita kombinasikan dengan furosemid.<br />Terapi lain :<br />Sebagian kecil penderita asites tidak berhasil dengan pengobatan konservatif. Pada keadaan demikian pilihan kita adalah parasintesis. Mengenai parasintesis cairan asites dapat dilakukan 5 10 liter / hari, dengan catatan harus dilakukan infuse albumin sebanyak 6 – 8 gr/l cairan asites yang dikeluarkan. Ternyata parasintesa dapat menurunkan masa opname pasien. Prosedur ini tidak dianjurkan pada Child’s C, Protrombin <> dari 10 mg/dl, trombosit <> 3 mg/dl dan natrium urin < 10 mmol/24 jam.<br />(Maryani,Sri. 2003)<br /><br /><br /> Spontaneus Bacterial Peritonitis (SBP)<br /><br />Infeksi cairan dapat terjadi secara spontan, atau setelah tindakan parasintese. Tipe<br />yang spontan terjadi 80% pada penderita sirosis hati dengan asites, sekitar 20% kasus. Keadaan ini lebih sering terjadi pada sirosis hati stadium kompesata yang berat. Pada kebanyakan kasus penyakit ini timbul selama masa rawatan. Infeksi umumnya terjadi secara Blood Borne dan 90% Monomicroba. Pada sirosis hati terjadi permiabilitas usus menurun dan mikroba ini beraasal dari usus. Adanya kecurigaan akan SBP bila dijumpai keadaan sebagai berikut :<br />- Spontaneous bacterial peritonitis<br />- Sucpect grade B dan C cirrhosis with ascites<br />- Clinical feature my be absent and WBC normal<br />- Ascites protein usually <1 g/dl<br />- Usually monomicrobial and Gram-Negative<br />- Start antibiotic if ascites > 250 mm polymorphs<br />- 50% die<br />- 69 % recur in 1 year<br />Pengobatan SBP dengan memberikan Cephalosporins Generasi III (Cefotaxime), secara parental selama lima hari, atau Qinolon secara oral. Mengingat akan rekurennya tinggi maka untuk Profilaxis dapat diberikan Norfloxacin (400mg/hari) selama 2-3 minggu.<br />(Maryani. Sri. 2003)<br /><br />Hepatorenal Sindrome<br />Adapun criteria diagnostik dapat kita lihat sebagai berikut :<br />A. Major<br />- Chronic liver disease with ascietes<br />- Low glomerular fitration rate<br />- Serum creatin > 1,5 mg/dl<br />- Creatine clearance (24 hour) < 4,0 ml/minute<br />- Absence of shock, severe infection,fluid losses and Nephrotoxic drugs<br />- Proteinuria < 500 mg/day<br />- No improvement following plasma volume expansion<br />B. Minor<br />- Urine volume < 1 liter / day<br />- Urine Sodium < 10 mmol/litre<br />- Urine osmolarity > plasma osmolarity<br />- Serum Sodium concentration < 13 mmol / liter<br />Sindroma ini dicegah dengan menghindari pemberian Diuretik yang berlebihan, pengenalan secara dini setiap penyakit seperti gangguan elekterolit, perdarahan dan infeksi. Penanganan secara konservatif dapat dilakukan berupa : Ritriksi cairan,garam, potassium dan protein. Serta menghentikan obat-obatan yang Nefrotoxic. Manitol tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan Asifosis intra seluler. Diuretik dengan dosis yang tinggi juga tidak bermanfaat, dapat mencetuskan perdarahan dan shock. TIPS hasil jelek pada Child’s C, dan dapat dipertimbangkan pada pasien yang akan dilakukan transplantasi. Pilihan terbaik adalah transplantasi hati yang diikuti dengan perbaikan dan fungsi ginjal.<br /> (Maryani, Sri. 2003)<br /><br />Ensefalopati Hepatik<br />Suatu syndrome Neuropsikiatri yang didapatkan pada penderita penyakit hati menahun, mulai dari gangguan ritme tidur, perubahan kepribadian, gelisah sampai ke pre koma dan koma. Pada umumnya enselopati Hepatik pada sirosis hati disebabkan adanya factor pencetus, antara lain : infeksi, perdarahan gastro intestinal, obat-obat yang Hepatotoxic. Prinsip penggunaan ada 3 sasaran :<br />1. mengenali dan mengobati factor pencetua<br />2. intervensi untuk menurunkan produksi dan absorpsi amoniak serta toxin-toxin<br /> yang berasal dari usus dengan jalan :<br />- Diet rendah protein<br />- Pemberian antibiotik (neomisin)<br />- Pemberian lactulose/ lactikol<br />3. Obat-obat yang memodifikasi Balance Neutronsmiter<br />- Secara langsung (Bromocriptin,Flumazemil)<br />- Tak langsung (Pemberian AARS)<br />(Maryani, Sri. 2003)<br />Laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan amonia. Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil amonia , diet protein dikurangi sampai 0,5 gr/kg berat badan perhari, terutama diberikan yang kaya asam amino rantai cabang.<br /> (Nurdjanah, Siti. 2007)<br />Varises Esofagus<br />Kasus ini merupakan kasus emergensi sehingga penentuan etiologi sering dinomor duakan, namun yang paling penting adalah penanganannya lebih dulu. Prrinsip penanganan yang utama adalah tindakan Resusitasi sampai keadaan pasien stabil, dalam keadaan ini maka dilakukan :<br />- Pasien diistirahatkan dan dipuasakan<br />- Pemasangan IVFD berupa garam fisiologis dan kalau perlu transfusi<br />- Pemasangan Naso Gastric Tube, hal ini mempunyai banyak sekali kegunaannya<br />yaitu : untuk mengetahui perdarahan, cooling dengan es, pemberian obat-obatan, evaluasi darah<br />- Pemberian obat-obatan berupa antasida,ARH2,Antifibrinolitik,Vitamin K,<br />Vasopressin,<br />Octriotide dan Somatostatin<br />- Disamping itu diperlukan tindakan-tindakan lain dalam rangka<br />menghentikan perdarahan misalnya Pemasangan Ballon Tamponade dan Tindakan<br />Skleroterapi / Ligasi aatau Oesophageal Transection.<br />(Maryani, Sri. 2003)<br />Sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan obat penyekat beta (propranolol). Waktu perdarahan akut, bisa diberikan prparat somatostatin atau okreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi.<br />Peritonitis bacterial spontan, diberikan antibiotika seperti seftaksim intravena,amoksilin, atau aminoglikosida. Sindrom hepatorenal, mengatasi perubahan sikulasi darah di hati, mengatur kesimbangan garam dan air.<br />Transplatasi hati, terapi definitive pada pasien irosis deompensata. Namun sebelum dilakukan transplantasi ada beberapa criteria yang harus dipenuhi resipien dahulu.<br /><br /> 2.9 Prognosis<br />Prognosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor, meliputi etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi dan penyakit lain yang menyertai.<br />Klasifikasi Chilld Pugh (tabel 2) juga untuk menilai prognosis pasien sirosis yang akan menjalani operasi, variabelnya meliputi konsentrasi bilirubin, albumin, ada tidaknya asites dan ensefalopati juga status ntrisi. Klasifikasi ini terdiri dair Child A, B dan C. klasifikasi child-Pugh berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan Child A, B dan C berturut-turut 100, 80 dan 45%.<br />Penilaian prognosis yang terbaru adalah Model for End Stage Liver Disease (MELD ) digunakan untuk pasien sirosis yang akan dilakukan transplantasi hati.<br /> (Nurdjanah, Siti. 2007)<br /><br /><br /><br /><br />Tabel 2 Klasifikasi Fungsi Hati<br />Chills Pasien sirosis Hati dalam Terminologi cadangan<br />Derajat kerusakan<br />Minimal<br />Sedang<br />Berat<br />Bil. Serum (mu.mol/dl)<br />Alb serum (gr/dl)<br />Asites<br />PSE/ ensefalopati<br />Nutrisi<br />< 35<br />> 35<br />nihil<br />nihil<br />sempurna<br />5-50<br />30-35<br />mudah dikontrol<br />minimal<br />baik<br />> 50<br />< 30<br />Sukar<br />Berat / koma<br />Kurang / kurus<br /><br />(Nurdjanah, Siti. 2007)<br /><br /><br /><br /> </span></div>ibnu zamsa firmanullahhttp://www.blogger.com/profile/04444679012279299665noreply@blogger.com3